Karena sebidang tanah, Emilia harus berurusan dengan pemilik salah satu peternakan terbesar di Oxfordshire, yaitu Hardin Rogers. Dia rela melakukan apa pun, agar ibu mertuanya dapat mempertahankan tanah tersebut dari incaran Hardin.
Hardin yang merupakan pengusaha cerdas, menawarkan kesepakatan kepada Emilia, setelah mengetahui sisi kelam wanita itu. Hardin mengambil kesempatan agar bisa menguasai keadaan.
Kesepakatan seperti apakah yang Hardin tawarkan? Apakah itu akan membuat Emilia luluh dan mengalah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 35 : Derap Langkah Kuda dalam Kegelapan
“Apa maksudmu, Bu?” Rasa tak enak menyeruak, menyadari ucapan bernada lain dari Meredith. Emilia sadar betul, sang ibu mertua pernah melihatnya berbicara berdua dengan Hardin. Bukan tak mungkin, itu menimbulkan kecurigaan.
“Aku hanya takut kau bosan menjalani kehidupan seperti ini. Lagi pula, Grayson tidak sebugar dulu. Aku tidak mau kau merasa terbebani.”
Emilia menggeleng kencang, membantah ucapan Meredith. “Kenapa kau berkata begitu, Bu? Aku berusaha memberikan yang terbaik. Kalian adalah keluargaku. Kau tahu aku tidak memiliki siapa pun di dunia ini.”
“Aku tahu, Millie. Aku hanya tidak ingin membuatmu merasa terbebani, meskipun ingin kau selalu ada di sini bersama kami,” ucap Meredith. Membuat Grayson menatap tak mengerti.
Grayson mengarahkan perhatian sepenuhnya kepada sang ibunda. Sorot penuh tanda tanya tergambar jelas dari sepasang mata cokelat terangnya. Namun, dia tak mengatakan apa pun. Grayson hanya mencoba menerka-nerka, bertarung dengan rasa waswas yang tiba-tiba menghinggapi.
Sekian lama Grayson menghilang dari hidup Emilia. Bukan tak mungkin, kekosongan itu telah diisi pria lain. Namun, Grayson tidak berani membahas keraguannya dengan Emilia. Lagi-lagi, dia dikalahkan rasa takut.
Malam itu, Grayson tak dapat memejamkan mata. Meskipun lampu kamar sudah dimatikan, tetapi suasana temaram tersebut tak berhasil membuatnya terlelap.
Grayson menoleh ke sebelah kiri, pada Emilia yang tidur dengan posisi membelakangi. Embusan napas berat meluncur dari bibir putra Meredith tersebut, seraya memperhatikan punggung sang istri dalam keremangan cahaya.
Berhubung tetap tak bisa tidur, Grayson memutuskan turun dari ranjang, lalu keluar kamar. Dia melangkah hati-hati, dengan bantuan tongkat penyangga. Grayson berjalan ke pintu keluar, kemudian duduk sendiri di beranda rumah.
Keadaan di luar begitu gelap, meski telah dipasangi lampu bohlam warna kuning di depan rumah. Namun, itu tidak membuat Grayson takut. Dia terbiasa melaut di malam hari.
Tatapan Grayson menerawang jauh, menembus pekat yang menyelimuti desa. Sayup-sayup, dirinya mendengar derap langkah kuda. Grayson tersentak dari lamunan, kemudian meraih tongkat penyangga. Dia berdiri, lalu mengedarkan pandangan ke sekitar dengan sorot penuh waspada.
Tak berselang lama, suara derap langkah kuda tak lagi terdengar. Namun, Grayson tetap terpaku di tempatnya karena masih penasaran.
“Dari mana suara itu?” gumam Grayson. Akan tetapi, dia tak mau ambil pusing. Suami Emilia tersebut memilih masuk, lalu menutup rapat pintu dan menguncinya.
Sementara itu, dari balik keremangan malam muncul seorang pria dengan kuda tunggangannya. Dia menatap lurus ke pondok kayu. Entah apa yang membawa sang penunggang kuda datang ke sana.
“Selamat malam, Emilia,” ucap seseorang, yang tak lain adalah Hardin. Dia mengarahkan kuda agar berbalik, lalu meninggalkan tempat itu.
Malam gelap telah berlalu, berganti pagi yang cerah. Mentari bersinar hangat, menyambut kicau burung yang berlagu riang di pertengahan musim semi. Semilir angin berembus lembut, mengajak rerumputan serta daun-daun bergoyang bersamanya.
Pagi itu, Emilia bersiap hendak mengirimkan roti ke toko Nyonya Christine McCallister. Dia sudah memasangkan keranjang di sepeda. Namun, perhatian wanita cantik dengan midi dress floral baby pink tersebut teralihkan, ketika mendengar derap langkah kuda yang makin jelas.
Dari jarak beberapa meter, Emilia melihat Ethan mendekat ke arahnya. Dia menautkan alis, lalu berdecak pelan.
“Selamat pagi, Nyonya Olsen,” sapa Ethan, setelah turun dari kuda. Dia melangkah ke hadapan Emilia, yang berdiri sambil memegangi stang sepeda.
“Selamat pagi, Tuan Bailey. Ada yang bisa kubantu?” Emilia menatap penuh selidik, mencoba menerka tujuan ajudan Hardin tersebut datang ke sana sepagi itu.
“Ya, Nyonya.” Ethan tersenyum kalem. Pembawaannya sangat tenang, hampir serupa dengan Hardin. Namun, tentu saja dalam pandangan Emilia, Ethan tak segagah majikannya.
“Aku ingin bertemu dengan suamimu, Nyonya. Apakah dia ada di rumah?” tanya Ethan sopan.
“Ah, ya. Dia ada di dalam,” jawab Emilia, diiringi ekspresi keheranan. “Boleh kutahu kenapa Anda menanyakan Grayson?” tanyanya penasaran.
“Ada sedikit urusan yang harus kubahas secara langsung dengan suamimu, Nyonya.” jawab Ethan kalem. Sekilas, pandangannya tertuju pada keranjang rotan yang sudah terpasang di bagian belakang sepeda. “Apa kau akan pergi?” tanyanya basa-basi.
Emilia mengangguk. “Aku akan ke toko Nyonya McCallister.”
“Baiklah. Kalau begitu, hati-hati di jalan. Aku harus menemui suamimu dulu.” Ethan mengangguk sopan, kemudian berlalu dari hadapan Emilia, yang masih terpaku sambil memegangi stang sepeda.
“Apakah kau datang kemari atas perintah Tuan Rogers?” tanya Emilia, seraya menoleh.
Ethan yang sudah menjauh beberapa langkah, langsung tertegun. Dia menoleh, lalu mengangguk pelan. “Aku tidak akan melakukan apa pun tanpa perintah dari Tuan Rogers, berhubung dia adalah majikanku.” Selesai menjawab pertanyaan Emilia, pria tampan berambut gelap itu melanjutkan langkah hingga tiba di beranda depan.
Sebenarnya, Emilia teramat penasaran akan maksud dari kedatangan Ethan. Namun, dia harus mengantarkan roti sebelum terlambat. Mau tak mau, Emilia pergi dengan membawa tanda tanya besar dalam hati.
Ethan yang sudah naik ke beranda, segera mengetuk pintu. Dia menunggu sesaat, hingga seseorang membukanya.
“Kau siapa, Paman?” tanya Blossom, seraya menyembulkan kepala dari balik pintu. Gadis kecil itu menatap penuh selidik.
"Namaku Ethan. Aku ingin bertemu dengan ayahmu, Gadis kecil,” jawab Ethan hangat, sambil setengah membungkuk.
“Ayah yang mana, Paman? Aku tidak punya ayah. Kau pasti salah alamat,” ujar Blossom polos.
Ethan langsung menegakkan tubuh, seraya menautkan alis. “Um ... maksudku ….” Belum sempat melanjutkan kalimatnya, Ethan mendengar suara Grayson menegur Blossom.
"Kenapa kau berdiri di situ, Bee?"
“Ada yang datang menanyakan ayahku, Paman bertongkat,” jawab Blossom cukup nyaring.
“Paman bertongkat?” gumam Ethan teramat pelan. Namun, dia tak sempat berpikir banyak, berhubung Grayson lebih dulu membuka pintu cukup lebar.
Ethan berdehem pelan, lalu tersenyum kalem. “Selamat pagi,” sapanya. “Apa kau masih ingat padaku? Kita bertemu di Rogers Farm. Aku Ethan Bailey, asisten pribadi Tuan Hardin Rogers.” Ethan mengulurkan tangan, mengajak Grayson bersalaman.
“Oh, tentu, Tuan Bailey. Selamat pagi. Ada yang bisa kubantu?” tanya Grayson.
“Aku ingin bicara sebentar denganmu. Apa kau punya waktu?”
“Aku punya banyak waktu, Tuan Bailey. Kau lihat sendiri, aku tidak punya pekerjaan.” Grayson tersenyum cukup lebar setelah berkata demikian. “Silakan duduk.” Dia mengarahkan tangan ke sepasang kursi kayu, yang ada di beranda.
“Terima kasih.” Ethan mengangguk, lalu duduk di salah satu kursi kayu itu. Dia memperhatikan Grayson, hingga suami Emilia tersebut duduk di kursi satu lagi.
“Jadi, apa yang bisa kubantu, Tuan Bailey?” tanya Grayson.
“Aku kemari atas perintah dari Tuan Rogers. Dia menawarkanmu bekerja di Rogers Farm. Bagaimana? Apakah kau bersedia?"