Di balik gaun pengantin dan senyuman formal, tersembunyi dua jiwa yang sejak lama kehilangan arti cinta.
Andre Suthajningrat—anak dari istri kedua seorang bangsawan modern, selalu dipinggirkan, dibentuk oleh hinaan dan pembuktian yang sunyi. Di balik kesuksesannya sebagai pengusaha real estate, tersimpan luka dalam yang tak pernah sembuh.
Lily Halimansyah—cucu mantan presiden diktator yang namanya masih membayangi sejarah negeri. Dingin, cerdas, dan terlalu terbiasa hidup tanpa kasih sayang. Ia adalah perempuan yang terus dijadikan alat politik, bahkan oleh ayahnya sendiri.
Saat adik tiri Andre menolak perjodohan, Lily dijatuhkan ke pelukan Andre—pernikahan tanpa cinta, tanpa pilihan.
Namun di balik kehampaan itu, keduanya menemukan cermin dari luka masing-masing. Intrik keluarga, kehancuran bisnis, dan bayang-bayang masa lalu menjerat mereka dari segala sisi. Tapi cinta… tumbuh di ruang-ruang yang retak.
Bisakah dua orang yang tak pernah dicintai, akhirnya belajar mencintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Hari ini bukan tentang cinta, bukan tentang perayaan. Tapi tentang kontrak yang dibungkus dengan adat dan harga diri.
Gedung pernikahan itu terletak di kawasan Kebayoran Baru, bangunan tua berarsitektur semi-Eropa yang biasanya digunakan untuk acara kenegaraan kecil atau peluncuran diplomatik. Fasadnya berwarna krem pudar dengan atap mansard abu-abu dan tiang-tiang batu kokoh di beranda.
Halaman depannya lengang. Tak ada karangan bunga, tak ada tenda, tak ada pesta rakyat. Hanya deretan mobil hitam berplat khusus dan penjaga keamanan berseragam batik cokelat berdiri di titik-titik tertentu.
Di dalam aula utama, rangkaian bunga putih dan hijau tua ditata minimalis. Pelaminan hanya berupa kursi emas dengan latar belakang gorden tipis warna ivory. Segalanya formal, steril, dan nyaris tanpa emosi.
...****************...
Andre Suthajningrat berdiri di ruang persiapan pria, mengenakan beskap berwarna abu-biru dengan detail bordir halus di dada, dipadu kain batik parang klasik warna cokelat tua. Blangkon hitam menempel rapi di kepalanya, membuat wajahnya yang sudah tegas terlihat semakin berwibawa.
Wajahnya tak mengenakan banyak riasan, hanya bedak tipis dan sedikit concealer di bawah mata untuk menyamarkan kantuk yang ia rasakan sejak tadi malam.
“Siap, Mas?” tanya Dian, sekretarisnya yang siaga sejak pagi.
Andre mengangguk, menatap bayangannya di cermin. Dalam diam, ia tak bisa menghindari perasaan absurd—ia akan menikah sebentar lagi. Dengan perempuan yang baru dua kali ia temui. Dan semua ini terjadi hanya karena saudaranya menolak.
Bukan cinta. Bukan kemauan sendiri.
Hanya tanggung jawab yang dilemparkan seperti batu ke punggungnya.
...****************...
Di sisi lain gedung, Lily Halimansyah duduk di hadapan meja rias besar yang dipenuhi lampu-lampu kecil. Gaun kebaya putih gading yang ia kenakan sangat sederhana namun elegan, dengan detail renda bordir tangan dan selendang panjang dari tulle yang mengalir di punggung. Kain batiknya bermotif megamendung Cirebon berwarna biru keperakan, mempertegas garis tubuh rampingnya.
Makeup-nya flawless: foundation yang menyatu sempurna, blush tipis di pipi, dan lipstik nude rose yang membuat bibirnya terlihat lembut. Matanya disorot eyeshadow kecokelatan dengan eyeliner tipis yang mengikuti bentuk mata almond-nya.
Rambutnya disanggul rendah, dihias dengan sanggul bunga melati kecil-kecil di sisi kanan, menyisakan beberapa helaian anak rambut yang membingkai wajahnya.
Ia tampak sempurna.
Tapi di dalam, hatinya seperti ruang kosong bergaung.
“Non, ini… untuk masuk sesaat lagi,” kata salah satu panitia pelan.
Lily menarik napas. Ia berdiri.
Di cermin, ia menatap dirinya lama.
Cantik, tapi kosong.
...****************...
Para tamu sudah duduk di kursi berlapis kain putih dengan pita emas. Hanya sekitar 40 orang yang hadir, semuanya dari kalangan inti keluarga dan rekan bisnis pilihan. Tak ada kerabat jauh. Tak ada teman sekolah. Bahkan sahabat Andre maupun Lily tak ada yang diundang.
Yang duduk di barisan depan, keluarga Andre. Sultan Munier, mengenakan baju adat Jawa lengkap dengan keris.R. Bambang Sudiro Wulansyah dan Nyi Roro Anjani, yang tak berhenti menatap Lily seperti sedang menilai barang lelang.Tante Laksmi Wulandari, berbisik-bisik sambil mengomentari siapa yang seharusnya menikah dengan siapa.Andrea, duduk di samping Bowo dan Heru, tampak gelisah.Bowo, dengan wajah datar, menunduk nyaris sepanjang acara.Herianto Halimansyah, berdiri angkuh dengan jas hitam mengilap dan dasi merah darah.
Suasana aula makin sesak bukan oleh jumlah undangan, tapi oleh reputasi dan sejarah yang menyertai setiap tamu yang hadir. Dan di sudut kiri aula, rombongan keluarga besar Halimansyah. Tidak membawa hangatnya keluarga, melainkan label-label yang melekat di punggung mereka seperti warisan tak kasatmata.
Herianto Halimansyah, ayah Lily, tiba dengan istri barunya yang kedelapan, Diana, seorang mantan pramugari yang masih terlihat muda dengan gaun merah menyala dan heels tinggi yang tidak cocok untuk acara adat. Senyumnya dipasang lebar, namun tatapannya tajam saat duduk di samping Herianto.
Dari pernikahan ini, dua adik tiri Lily yang masih kecil, usia sekitar 5 dan 7 tahun, ikut hadir. Mereka berlarian di sekitar kursi, diawasi setengah hati oleh babysitter yang tampak lebih tertarik dengan layar ponselnya. Lily hanya melirik sekilas, lalu mengalihkan pandangannya.
Tidak jauh dari mereka, dua adik tiri lain dari istri keempat Herianto, datang dari Singapura. Keyla, 20 tahun, mahasiswi jurusan Desain Komunikasi Visual di NTU, duduk dengan earphone di telinga dan wajah datar. Di sampingnya, Rafi, 17 tahun, siswa SMA International School yang lebih sibuk merekam suasana pakai ponsel dan sesekali mengeluh pelan.
“Aku bisa di rumah aja streaming drakor,” gumam Rafi, yang langsung ditegur pelan oleh tantenya.
Tantenya, salah satu dari keluarga besar garis keturunan Presiden Sondarto, datang berombongan. Pakde Mahfud, kakak tertua mendiang Presiden, duduk paling depan dengan jas tua dan tongkat kayu di tangan. Matanya yang redup tampak tajam saat memandangi prosesi.
“Lily mirip ibunya…” bisiknya pelan ke istrinya, Bu Hajjah Yuyun, wanita berkerudung tua dengan gelang emas menggelantung di pergelangan tangan.
“Iya. Tapi ibunya lebih bersinar. Dulu layar lebar selalu penuh kalau bintang utamanya Alia Ratnasari,” jawab Bu Hajjah sambil menyesap teh.
Alia Ratnasari, ibu Lily, dulu adalah bintang film populer era 90-an. Wajahnya pernah menghiasi layar bioskop se-Indonesia. Tapi hidupnya meredup setelah pernikahannya dengan Herianto berantakan. Alia meninggal lima tahun lalu karena komplikasi jantung, dengan luka yang tak pernah benar-benar sembuh.
Lily tidak banyak bicara selama acara. Tapi dalam hatinya, ia merasa jauh dari siapa pun. Di sekelilingnya ada darah yang sama, nama keluarga yang sama, tapi tidak satu pun membuatnya merasa seperti bagian dari mereka.
Lily melangkah masuk ke aula dengan kepala tegak, langkah pelan tapi penuh kendali. Andre berdiri di sisi penghulu, menatap Lily mendekat.
Dan untuk pertama kalinya hari itu, Andre merasakan jantungnya berubah ritme.
Lily… lebih cantik dari ingatannya.
Kebaya itu, cara dia berjalan, dan ekspresi tenangnya—seakan menolak tunduk pada siapa pun. Andre mengaguminya dalam diam. Bukan karena cinta, tapi karena kekuatan. Karena keberanian untuk berdiri dengan wajah datar di atas panggung yang dibangun oleh keputusan orang lain.
Lily pun tak bisa tidak menatap Andre dengan rasa penasaran yang tertahan. Di balik beskap dan blangkon, pria itu berdiri seperti tembok: kokoh, dingin, dan tak tergoyahkan. Tapi justru itu yang membuatnya… menarik. Karena di balik semua kontrol itu, Lily tahu ada luka lama yang serupa dengannya.
Saat ijab kabul dibacakan, Andre mengucap dengan suara rendah namun mantap. Suasana hening.
“Saya terima nikahnya Lily Halimansyah binti Herianto Halimansyah dengan mas kawin tersebut, tunai.”
Tepuk tangan pelan menyusul. Doa dibacakan. Wajah-wajah tersenyum tipis. Tapi tidak ada mata yang benar-benar bersinar bahagia.
Andre dan Lily duduk berdampingan di pelaminan kecil. Tak ada sesi resepsi. Hanya foto bersama keluarga yang terlihat lebih seperti sesi dokumentasi politik daripada perayaan cinta.
Ketika Andre dan Lily duduk di pelaminan untuk sesi foto formal, suasana makin jelas terasa tidak hangat.
Andrea, yang mengenakan kebaya biru pastel dan konde sederhana, berdiri mendekati Andre setelah sesi keluarga inti. “Selamat, Dre,” ucapnya pelan. Ia menatap Lily sejenak, lalu menambahkan, “Kamu beruntung menikahi perempuan seperti dia.”
Andre hanya mengangguk. “Aku tidak yakin siapa yang lebih beruntung. Atau lebih terjebak.”
Andrea tersenyum tipis. “Mungkin keduanya.”
Tak lama kemudian, Heru datang menyodorkan tangan. “Selamat datang di dunia orang menikah, Bro. Kalau butuh tips soal perempuan, bilang saja. Aku udah pengalaman… banget.” Ia terkekeh.
Andrea melotot padanya, tapi Heru sudah berjalan pergi seperti biasa—tanpa rasa bersalah.
...****************...
Setelah acara selesai, Andre dan Lily diantar ke Hotel Raffles oleh rombongan kecil. Tak ada sorak-sorai, tak ada riuh perayaan. Hanya suara kendaraan dan lampu jalan Jakarta yang menyinari diam mereka.
Di dalam mobil, mereka hanya duduk diam.
Lily membuka jendela sedikit, membiarkan angin malam masuk.
“Keluargamu… warna-warni,” ujar Andre akhirnya, setengah bercanda.
Lily menghela napas. “Dan keluarga besar kamu… penuh senjata tajam tak terlihat.”
Mereka tertawa kecil—tawa pertama sejak pagi. Hanya sedetik. Tapi itu cukup untuk menciptakan ruang tipis antara mereka. Ruang yang belum ada cinta, tapi sudah ada pengertian.
“Kadang kita tidak bisa memilih keluarga, tapi kita bisa memilih bagaimana kita bertahan.”
— Kalimat ini melintas di benak Andre, saat mobil mereka berhenti di depan hotel.
......................
Mereka dibawa ke Hotel Raffles Jakarta, menginap di presidential suite lantai 21. Kamar luas, berlapis marmer dan karpet wol Persia, dengan dua kamar tidur berbeda yang dipisahkan ruang tengah bergaya kontemporer.
Lily berjalan lebih dulu ke sisi kamarnya. Gaun pengantin sudah diganti dengan piyama sutra putih yang longgar. Rambutnya diurai, wajahnya sudah dibersihkan dari makeup. Tapi matanya… tetap menyimpan pantulan kosong.
Andre membuka jasnya, menyampirkannya di sofa. Ia hanya mengenakan kaus abu dan celana panjang gelap, berdiri di balkon sambil menatap kota yang bersinar dari jauh.
“Kamu tidak perlu pura-pura nyaman,” ujar Lily dari ambang pintu kamarnya. Suaranya tenang.
Andre menoleh. “Aku juga tak berharap kamu berpura-pura bahagia.”
Mereka saling memandang dalam diam.
Lily bersandar di kusen pintu. “Kita tidur di kamar terpisah, kan?”
“Tentu. Aku tidak akan menyentuhmu tanpa izinmu. Atau tanpa alasan yang masuk akal,” kata Andre, pelan.
Lily tersenyum tipis. “Bagus.”
Ia menutup pintu.
Dan malam itu, mereka berdua tidur… dalam keheningan masing-masing.
Di dua kamar berbeda, di dua kasur besar yang terlalu dingin.
Tapi di dalam hati mereka, satu hal tumbuh pelan: rasa saling menghargai.
Dan kadang, itu lebih berbahaya daripada jatuh cinta.
...----------------...