Blurb:
Mia meyakini bahwa pernikahan mereka dilandasi karena cinta, bukan sekadar perjodohan. Christopher mencintainya, dan ia pun menyerahkan segalanya demi pria itu.
Namun setelah mereka menikah, sikap Chris telah berubah. Kata-katanya begitu menyakitkan, tangannya meninggalkan luka, dan hatinya... bukan lagi milik Mia.
Christopher membawa orang ketiga ke dalam pernikahan mereka.
Meski terasa hancur, Mia tetap terus bertahan di sisinya. Ia percaya cinta mereka masih bisa diselamatkan.
Tapi, sampai kapan ia harus memperjuangkan seseorang yang terus memilih untuk menghancurkanmu?
Note: Remake dari salah satu karya milik @thatstalkergurl
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Di kantor, lebih tepatnya diruang Presiden Direktur masih diselimuti oleh tekanan yang pekat. Christopher duduk di balik mejanya, membiarkan jari-jarinya memijat pelipisnya yang terasa berdenyut hebat. Udara dingin dari pendingin ruangan pun seolah tak mampu mengusir hawa panas dan emosi yang bergemuruh di dalam kepalanya.
Namun ketenangan itu pecah disaat pintu ruangannya terbuka sedikit keras, bahkan sebelum pintu itu terbuka, tidak ada suara ketukan terlebih dahulu.
Tanpa menoleh, Christopher mengira yang datang adalah sekretarisnya.
"Kau datang terlalu cepat. Bawa dokumen—"
Langkah kaki berat dan penuh amarah terdengar mendekat. Christopher menyadari itu dan akhirnya mendongak.
"Jaeha?" ucapnya disertai mengernyitkan kening.
Lelaki bertubuh tegap itu berdiri di ambang pintu dengan rahang mengeras dan mata membara. Tanpa bicara, ia melangkah cepat ke arah meja Christopher, lalu menghantam permukaan meja itu dengan keras.
"Apa kau sudah benar-benar kehilangan akal sehat, Lee Christopher?!" bentaknya tajam.
Christopher tetap duduk tenang, namun sorot matanya menyiratkan keheranan.
Jaeha menarik napas panjang guna mencoba menenangkan dirinya, lalu bersandar di kursi seberang dengan tatapan menusuk.
"Kau yang menyebarkan video itu, kan? Jangan pura-pura tidak tahu," desisnya. "Kau pikir itu cara yang cerdas untuk menekan ibumu agar menyetujui perceraian kalian?" ucapnya dingin.
Christopher mengalihkan pandangannya acuh, ia menatap ke arah jendela, dia sudah mengerti arah pembicaraan Jaeha saat ini.
"Aku hanya menunjukkan sebuah kenyataan," ucapnya dengan tenang. "Aku tidak menambahkan apa pun di dalamnya." kemudian dia melirik Jaeha dan tersenyum miring.
"Chris..." Jaeha menahan diri agar tidak emosi. "Kau tahu konsekuensinya. Ini bukan cuma tentang reputasimu saja. Ini juga menyangkut nama besar ibumu, seluruh jajaran direksi, dan saham perusahaan. Jika dia tahu tentang video itu—"
"Aku tidak peduli!" potong Christopher tajam. Ia menatap Jaeha lurus. Matanya dipenuhi oleh rasa kekecewaan yang mengakar sangat dalam. "Pernikahan itu dipaksakan padaku. Aku tidak pernah menyetujuinya. Dan aku tidak pernah mencintai wanita itu."
Jaeha seketika terdiam. Bahkan suara pendingin ruangan didalam ruangan itu terdengar lebih nyaring di sela keheningan yang menegangkan itu.
"Kau benar-benar ingin menghancurkan segalanya?" tanyanya akhirnya.
Christopher tersenyum sinis.
"Anak itu selalu berpura-pura menjadi suci dan lemah. Tapi semua orang memujanya. Ibu memujanya. Seolah dia tak pernah melakukan kesalahan sedikitpun."
Jaeha menatapnya dengan pandangan bingung.
"Kau bicara soal Mia?"
Christopher kembali mengalihkan pandangannya ke jendela. “Tentu saja. Siapa lagi memangnya?” ucapnya dengan tajam.
Jaeha yang masih berdiri di hadapannya kini menatap lekat wajah sahabat lamanya itu.
“Chris…” ujarnya dengan penuh tekanan. “Mia tidak seperti itu. Dia memang polos, mudah dipengaruhi… Tapi dia bukan orang yang jahat.”
Christopher mendengus dengan kasar, suara tawanya pun terdengar hambar. “Kau juga rupanya termakan oleh penampilannya.”
Jaeha mengepalkan tangannya menahan rasa kesal. Ia menarik napas panjang sebelum berbicara lagi. “Aku tahu kau jeli dalam menilai orang. Di perusahaan, setiap analisismu memang selalu tepat. Tapi kenapa sekarang kau justru buta, Chris?”
Perkataan Jaeha itu seketika menyulut emosi Christopher. Kemudian dia bangkit dari kursinya dengan gerakan cepat, hingga kursinya bergeser ke belakang. Mata Christopher kini menyala marah.
“Jangan berani-beraninya kau membelanya di hadapanku!” serunya dengan lantang, hingga menggema ke seluruh ruangan.
Jaeha sontak tertegun. Christopher menatapnya dengan tatapan yang penuh amarah.
“Kau tahu apa, hah?!” bentaknya, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Semua orang terpesona oleh wajah manis Mia, lalu kalian berlomba-lomba ingin melindunginya! Tapi tidak satu pun dari kalian yang tahu kenyataannya!”
“Kalau begitu,” Jaeha maju selangkah, matanya menantang, “Apa kau punya bukti atas semua tuduhanmu itu, Chris?”
Christopher tidak langsung menjawabnya. Matanya mulai memerah, tidak hanya karena amarahnya, tapi karena perasaan yang sudah terlalu dalam untuk diucapkan.
“Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri,” gumamnya rendah, yang hampir seperti bisikan menyakitkan. “Dia… dia menyakiti orang yang paling berarti dalam hidupku.”
Keheningan yang terasa menyesakkan menyelimuti ruangan. Jaeha tidak lagi bicara, diaa hanya berdiri diam dengan memandangi sahabatnya yang tampak rumit.
“Aku tahu,” katanya perlahan, “semua ini karena kejadian di pesta itu, bukan?”
Christopher tidak menjawab, tetapi pandangan matanya mengeras.
Jaeha menghela napas panjang. “Dengar baik-baik. Video itu belum sampai ke ibumu. Dia masih berada di luar negeri. Tapi jika kau tidak segera menyelesaikan semuanya…”
Jaeha menatap Christopher tajam, dan kali ini tanpa belas kasihan.
“…bahkan aku tidak akan bisa menolongmu lagi.”
Tanpa menunggu jawaban dari Christopher, Jaeha berbalik dan melangkah pergi. Pintu ruangan itu dibanting dengan keras saat dia keluar meninggalkan ruangan dengan dentuman yang menghantam udara seperti gema dari pertengkaran mereka.
Christopher menunduk dalam-dalam. Tangannya mengepal erat di atas meja, hingga buku-bukunya memutih. Lalu, dalam satu hentakan, ia mengangkat tinjunya dan menghantam meja dengan sekuat tenaga.
“Mia…” suaranya serak, penuh kemarahan dan rasa sakit. “Sialan kau!”
***
Suasana di ruang konsultasi terasa tenang, namun terasa sesak bagi Mia. Mia duduk di sofa dengan tubuh yang sedikit membungkuk, jemarinya saling menggenggam erat di atas pangkuannya. Di hadapannya, Dr. Jaesuk memandang dengan sorot mata yang lembut dan penuh perhatian.
“Mia,” ucapnya dengan tenang. “bagaimana perasaanmu akhir-akhir ini? Ceritakan semuanya padaku. Kamu tidak perlu menyembunyikan apa pun di sini.”
Mia tak langsung menjawab, dia masih diam. Tatapannya tertunduk dalam, seperti sedang mencari keberanian di antara serpihan pikirannya yang kacau saat ini.
“...Aku…” suaranya nyaris tak terdengar, “…aku tidak tahu harus mulai dari mana.”
Ia menarik napas sejenak, lalu menghembuskannya dengan perlahan.
“Yang pasti… insomnia-ku semakin parah,” lanjutnya. “Aku tahu seharusnya aku tidak membaca komentar-komentar itu. Tapi aku tidak bisa menahan diriku.”
Dr. Jaesuk mengangguk kecil, lalu menghela napasnya pelan. “Mia, kamu terlalu keras pada dirimu sendiri. Orang-orang itu tidak tahu apa-apa tentang hidupmu. Mereka hanya memuaskan ego mereka dari balik layar, tanpa memikirkan siapa yang mereka lukai. Dan karena mereka tidak bisa menjangkau suamimu secara langsung, kamu yang menjadi sasaran mereka.”
Mia menunduk lebih dalam. Suaranya mulai bergetar saat ia berbicara lagi.
“Tapi… dia tidak menghapus videonya, Dokter. Dia membiarkan semuanya tersebar di internet. Aku tidak mengerti… apakah dia benar-benar ingin menyingkirkanku?”
Dr. Jaesuk memiringkan kepalanya sedikit, dia bertanya dengan nada yang tetap tenang. “Kamu merasa dikhianati?”
Mia tak menjawabnya. Tetapi matanya mulai berkaca-kaca, lalu perlahan air mata itu menetes, membasahi pipinya yang pucat.
“Aku merasa tidak berharga,” bisiknya. “Aku hampir tidak bisa bertahan sekarang. Aku bahkan mulai mempertanyakan… apa semua ini memang salahku sejak awal?”
Melihatnya seperti itu, Dr. Jaesuk segera berdiri. Kemudian dia menuangkan air ke dalam gelas, lalu menyodorkannya dengan lembut ke Mia.
“Jangan berpikir seperti itu, Mia,” ujarnya dengan nada menenangkan. “Kamu hanyalah manusia. Semua orang punya batasnya. Dan kamu… kamu sudah terlalu lama menahan semuanya sendirian.”
Mia menerima gelas itu dengan tangan gemetar. Air matanya masih mengalir saat ia menggenggam benda bening itu seolah nyawanya tergantung di sana.
“Aku hanya ingin dicintai, Dokter… Hanya itu,” lirihnya. “Kenapa itu terasa begitu sulit untukku?”
Dr. Jaesuk menatap Mia dengan mata yang sarat penuh empati. Lalu dia mencondongkan tubuhnya sedikit, bersandar pada meja kecil di hadapannya.
“Mia, kamu harus mulai hidup untuk dirimu sendiri. Ikuti kata hatimu. Jika kamu yakin ingin memperjuangkan hubungan ini, maka perjuangkanlah. Tapi jangan memikul semuanya sendirian. Jangan malu menjadi dirimu yang sebenarnya. Jangan biarkan siapa pun menghentikanmu dari mengejar apa yang kamu impikan.”
Mia mengangkat wajahnya perlahan. Matanya masih sembab, namun kini ada seberkas keteguhan yang mulai muncul di sana.
“Paman Jack… Bibi Im… dan Ibu mertuaku… mereka semua bilang hal yang sama. Bahwa selama aku tetap di sisi Christopher, semuanya pasti akan baik-baik saja…”
Dr. Jaesuk menatapnya penuh pertimbangan. “Dan… apakah kamu percaya itu?”
Mia terdiam sejenak. Lalu, dengan suara pelan namun terdengar mantap, ia menjawab, “Aku ingin mempercayainya. Aku tidak mau kalah dari Ahn Lusy. Aku tidak ingin menyerah pada cinta ini…”
Lalu kemudian dia menoleh ke arah jendela, menatap langit yang mulai berubah warna. Meski air matanya masih membasahi wajahnya, ada semacam kekuatan baru yang meresap dalam tatapannya itu.
“Bahkan jika aku harus terluka di sepanjang jalan ini… aku akan mencobanya sekali lagi…”
Tiba-tiba, terdengar dering ponsel yang memecah keheningan.
Mia menoleh pelan. Mengambil ponsel yang berada di dalam tasnya. Ketika melihat nama di layar, wajahnya seketika memucat.
“Tidak mungkin…” gumamnya.
Dr. Jaesuk yang memperhatikan perubahan ekspresi itu segera bertanya, “Siapa yang meneleponmu, Mia? Ada masalah?”
Mia menatap ponsel itu seolah sedang melihat sesuatu yang mengancam.
“Ini… Christopher…” suaranya terdengar gemetar.
“Suamimu?” tanya Dr. Jaesuk pelan, penuh perhatian.
Mia mengangguk perlahan, jantungnya mulai berdegup tak beraturan. Di dalam hatinya, ribuan pertanyaan mulai bermunculan. Tatapannya masih buram oleh air matanya, namun ada keterkejutan yang mencuat dalam sorot matanya.
"Dia... dia tidak pernah meneleponku lebih dulu sebelumnya..." gumamnya yang hampir tak terdengar.
Dr. Jaesuk menatapnya tenang, namun nada suaranya mengandung kewaspadaan. "Kalau begitu, bisa jadi ini sangat penting. Tapi tolong, jangan langsung panik, Mia."
Mia menarik napas dalam sejenak, berusaha mengumpulkan kekuatannya. Dengan gerakan hati-hati, ia menyeka air matanya yang belum sempat mengering. Lalu, dengan jari yang bergetar, ia menekan tombol hijau di layar ponsel.
"Halo, Kak?" panggilnya, suara masih bergetar.
Sebuah suara meledak dari seberang sambungan, mengiris udara ruang konsultasi seperti petir di siang bolong.
"LEE MIA KEPARAT! KE MANA KAU PERGI?!"
Tubuh Mia menegang seketika.
"SIALAN KAU! CEPAT KEMBALI DAN LIHAT APA YANG SUDAH KAU LAKUKAN!"
"A-apa? Aku tidak mengerti… Apa maksudmu, Kak?" tanyanya pelan dengan kebingungan.
"JANGAN BERPURA-PURA BODOH! KEMBALI SEKARANG ATAU AKU AKAN MENCARIMU DAN MENYERETMU SENDIRI!"
Tut.
Sambungan terputus.
Mia menatap layar ponsel kosong itu dengan tangan masih tergenggam erat, napasnya memburu dan wajahnya memucat drastis.
Dr. Jaesuk berdiri dari kursinya, lalu mendekat cepat. "Mia, apa yang dia katakan? Ada apa?"
Mia tampak berusaha tetap tegar, tapi suara dan tubuhnya sudah tidak bisa menyembunyikan guncangan besar di dalam dirinya. "Aku… aku harus kembali sekarang. Dia sudah pulang dari kantor…"
Dr. Jaesuk segera menahan lengannya saat ia hendak bangkit. "Tunggu sebentar. Kamu sedang tidak dalam kondisi stabil saat ini. Apa kamu yakin ingin pulang dalam keadaan seperti ini?"
Mia menggeleng dengan cepat, air matanya kembali mengalir begitu saja. "Aku tidak punya pilihan, Dokter… Kalau aku tidak kembali, dia akan mencariku. Dan aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan padaku nanti…"
"Kamu tidak sendirian, Mia. Kalau kamu mau, aku bisa mengantarmu. Atau—"
"Jangan!" Mia langsung memotong ucapannya dengan suara panik. "Dia akan semakin marah kalau tahu aku bersama orang lain. Apalagi dengan laki-laki..."
Dr. Jaesuk terdiam. Ia menatap Mia dalam-dalam, membaca ketakutan yang begitu nyata terpampang di wajahnya. Setelah beberapa detik, ia bicara dengan pelan.
"Kalau begitu, berhati-hatilah di jalan. Tapi janji padaku, kalau ada apa-apa… sekecil apa pun itu, segera hubungi aku. Jangan diam sendiri lagi, Mia."
Gadis itu hanya mengangguk pelan, lalu mengambil mantelnya. Tanpa banyak kata, dia melangkah keluar ruangan dengan langkah yang terburu-buru.
"Aku akan baik-baik saja..." bisiknya, meski wajah dan tubuhnya menunjukkan sebaliknya.
.
Mia duduk di balik kemudi, memandangi jalanan kosong dengan tatapan kosong pula. Tangannya yang menggenggam setir terasa bergetar, dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya.
Jantungnya berdegup tak menentu. Di dalam hati, dia terus mengulang pertanyaan yang tidak mendapat jawabannya.
"Kenapa kamu marah seperti itu, Kak Chris… Apa yang sebenarnya terjadi?"
Tidak ada yang menjawab pertanyaan itu. Hanya denting hujan kecil yang mulai menari di kaca depan mobil.
"Tolong… jangan lakukan ini lagi padaku…"
Ia mempercepat laju mobilnya. Entah ke mana arah pasti yang sedang dituju hatinya, tapi tubuhnya tahu bahwa ia harus pulang. Ia harus menghadapi badai yang menantinya di sana.
Dan di dalam dada yang terasa sesak, Mia hanya bisa berdoa semoga dirinya masih cukup kuat untuk bertahan satu malam lagi.
.
.
.
.
.
.
.
- 𝐓𝐁𝐂 -
Mia Mia cinta butamu membuat dirimu terluka kamu jg sangat goblok ,, wanita kaya kamu tuh ga bisa move on ga bisa sukses terlalu myek2 kamu ,,so enjoy lah