Di tepi Hutan Perak, pemuda desa bernama Liang Feng tanpa sengaja melepaskan Tianlong Mark yang merupakan tanda darah naga Kuno, ketika ia menyelamatkan roh rubah sakti bernama Bai Xue. Bersama, mereka dihadapkan pada ancaman bangkitnya Gerbang Utama, celah yang menghubungkan dunia manusia dan alam roh.
Dibimbing oleh sang bijak Nenek Li, Liang Feng dan Bai Xue menapaki perjalanan berbahaya seperti menetralkan Cawan Arus Roh di Celah Pertapa, mendaki lereng curam ke reruntuhan Kuil Naga, dan berjuang melawan roh "Koru" yang menghalangi segel suci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hinjeki No Yuri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Celah Pertapa dan Ritual Cawan Arus Roh
Kabut tipis menggantung rendah di antara celah sempit perbukitan, membelai dedaunan lumut dan batu-batu tua dengan kelembutan yang menyerupai mimpi. Liang Feng berdiri di bibir Celah Pertapa bersama Bai Xue, rubah penjaga hutan yang aura peraknya berkilau lembut di tengah udara pagi yang lembab. Di kejauhan, deru air terjun kecil berpadu dengan desir angin yang menyelinap di sela-sela celah batuan curam. Di hadapan mereka terbentang jalan setapak sempit yang diapit dinding batu tinggi, seolah-olah dunia ini menyempit demi menjaga rahasia yang terkubur di dalamnya.
“Tempat ini…” bisik Bai Xue dalam benak Liang Feng, “tidak akan membiarkan sembarang jiwa lewat tanpa izin.”
Liang Feng mengangguk perlahan, menggenggam erat tongkat kayu putihnya yang terasa berdenyut hangat, resonansi dari Tianlong Mark di dadanya bergetar, menandakan bahwa kekuatan rohnya terhubung dengan aura tempat ini.
Mereka melangkah pelan, menyusuri lorong alami yang licin oleh lumut dan embun. Aroma dupa yang samar menguar dari dalam, berpadu dengan bau tanah dan akar yang lembap. Setiap langkah terasa seperti menembus tabir dunia fana menuju tempat di mana roh dan alam berbicara dalam bahasa yang lebih dalam dari kata-kata.
Tak lama, lorong sempit itu terbuka pada sebuah dataran kecil yang tersembunyi, dipagari oleh bebatuan besar yang membentuk lingkaran alami. Di tengahnya, para pertapa berjubah kelabu dan putih duduk membentuk formasi lingkaran, menghadap sebuah altar batu datar. Di atas altar, Cawan Arus Roh berdiri megah, sebuah mangkuk perunggu tua dengan ukiran naga dan phoenix yang saling membelit. Dari dalamnya, kabut biru keperakan mengalir naik, membentuk pusaran lembut seperti napas bumi itu sendiri.
Di hadapan cawan itu, seorang pertapa tua berdiri memimpin ritual. Janggutnya memanjang hingga ke pinggang, matanya tertutup, namun suaranya lantang dan berwibawa saat melantunkan mantra sakral:
“Arus jiwa yang mengalir,
Sejajarkan denyut semesta,
Satukan bumi dan langit,
Netralisasi kegelapan yang tersisa.”
Setiap bait yang terucap seperti mengguncang partikel udara di sekeliling mereka. Kabut dalam Cawan Arus Roh berputar lebih cepat, bergelombang dengan ritme yang selaras dengan denyut jantung alam itu sendiri. Liang Feng merasakan gelombang energi menyusup ke dadanya, hangat dan lembut seperti pelukan angin pegunungan di pagi hari.
Bai Xue melangkah maju, memancarkan cahaya peraknya. Aura spiritual dari tubuhnya menari di atas altar, memperkuat gelombang kesucian yang sedang dibangun oleh para pertapa. Dupa kemenyan biru mulai dinyalakan, asapnya mengepul perlahan, membawa aroma campuran daun pinus, akar astragalus, dan rempah-rempah hutan yang hanya tumbuh di tanah suci ini. Bubuk mantra ditaburkan dalam pola-pola rumit di sekeliling altar, menyusun formasi pelindung untuk menahan ketidakseimbangan.
Namun Liang Feng, dengan kepekaan yang diasah sejak kecil, mulai menyadari sesuatu. Pusaran kabut di dalam cawan itu tampak… tidak stabil. Beberapa bagian berpendar merah gelap, seperti darah kering yang mengambang di air murni. Ada ketidakharmonisan, korupsi halus yang perlahan mencemari inti keseimbangan.
“Guru…” bisik seorang pertapa muda dari barisan belakang, “ada sesuatu yang mengganggu arus cawan. Energinya goyah.”
Tatapannya tertuju pada Liang Feng dan Bai Xue. Keraguan muncul dalam nadanya. “Kalian… bukan dari lingkaran pertapa. Siapa kalian sebenarnya?”
Liang Feng maju selangkah, membungkuk sopan. “Namaku Liang Feng. Bersama Bai Xue, kami datang atas permintaan Nenek Li. Kami diutus untuk menjaga keseimbangan Celah Pertapa.”
Nama itu Nenek Li membuat para pertapa saling berpandangan. Sang pertapa tua membuka matanya, sorotnya dalam dan tajam seperti bisa menembus lapisan jiwa.
“Nenek Li Qiu Ling?” gumamnya. “Murid dari Xu Shan yang menghilang dua puluh tahun lalu…”
Ia mengangguk perlahan, lalu tersenyum tipis. “Kalau begitu, kau telah ditakdirkan datang. Kami memang tengah menantikan seseorang yang mampu menstabilkan arus ini.”
Liang Feng menarik napas lega. “Apa yang terjadi dengan cawan itu?” tanyanya.
Sang pertapa tua mendekat, menatap pusaran kabut yang bergolak di dalam mangkuk perunggu. “Baru semalam, kami merasakan gelombang roh gelap dari perut bumi. Kekuatan itu mencoba menembus ritual suci. Arus dalam Cawan mulai tercemar, sebagian energinya berubah menjadi racun roh yang berbahaya.”
Liang Feng mengamati lebih saksama. Kabut biru dalam cawan telah ternoda oleh guratan merah kehitaman, seperti retakan halus di permukaan es murni. “Jika dibiarkan, arus yang tercemar ini bisa menyebar ke seluruh wilayah hutan dan membangkitkan roh-roh gelap yang telah tersegel.”
Sang pertapa tua mengangguk serius. “Benar. Dan kami membutuhkan bantuanmu. Bai Xue telah membuktikan dirinya sebagai roh penjaga. Kini, mari kita bekerja bersama.”
Bai Xue mendekat ke altar, menempelkan hidungnya di sisi Cawan, menyelami aliran kabutnya. “Arusnya lumpuh di sisi barat cawan. Titik korupsi berada di sana.”
Sang pertapa tua terlihat terkesan. “Hebat. Roh penjaga ini memang luar biasa. Bai Xue, gunakan kekuatanmu untuk menjaga stabilitas arus. Liang Feng, ikut denganku. Kita akan menyiapkan ramuan penyeimbang.”
Di tengah persiapan yang penuh ketegangan, para pertapa mengambil botol kecil berisi sari akar tomada, bubuk kristal surga, dan cairan merah keperakan—darah naga putih suci, ramuan yang hanya digunakan dalam keadaan darurat.
Liang Feng menerima botol itu dengan penuh kehati-hatian. Cairan di dalamnya memancarkan sinar lembut, seakan hidup dan sadar akan tanggung jawabnya. “Ramuan ini… sangat suci,” bisiknya.
Sang pertapa tua menepuk bahunya. “Lakukan perlahan. Hanya jiwa murni yang bisa menyeimbangkan arus ini.”
Bai Xue berdiri mengelilingi altar, memancarkan aura perak pelindung yang membentuk kubah lembut di atas kepala mereka. Liang Feng membuka tutup botol, tangan gemetar saat menuangkan sari akar tomada tetes demi tetes ke dalam Cawan. Kabut dalam cawan berdesis lembut, menyambut elemen murni yang disiramkan. Disusul bubuk kristal surga yang berpendar seperti debu bintang, lalu tetes darah naga putih jatuh perlahan, menyatu dan berputar dengan energi spiritual.
Sang pertapa tua kembali melantunkan mantra:
“Satu arus suci, satukan harmoni,
Segel noda hitam, pulihkan sakral diri,
Dari hulu ke hilir, alam terjaga kembali,
Dalam Cawan Arus Roh, cahaya menari.”
Kilauan lembut muncul dari permukaan cawan, lalu menari ke segala arah, menyusup ke celah-celah batu, akar pohon, dan dedaunan di sekitarnya. Aura gelap yang semula mengintip dari kejauhan menjerit tanpa suara, tercerai-berai oleh cahaya pemurni. Kabut merah kehitaman memudar, berganti dengan kilau biru terang yang stabil dan tenang.
Liang Feng menunduk, napasnya tersengal. Botol itu kini kosong. Tubuhnya lelah, tapi matanya bersinar. Bai Xue menyentuh pundaknya dengan moncongnya, mengirimkan semangat hangat melalui sentuhan roh.
Sang pertapa tua tersenyum penuh rasa hormat. “Kalian telah menyelamatkan Cawan Arus Roh, dan dengan itu, menjaga keseimbangan hutan ini.”
Liang Feng membungkuk dalam. “Kami hanya menjalankan tugas yang dipercayakan.”
Namun saat ia menoleh, kabut di mulut celah bergulung lebih tebal, lebih berat dari sebelumnya. Bai Xue mengeram pelan. “Ancaman yang sebenarnya… baru saja dimulai.”
Celah Pertapa kembali senyap. Hanya suara air terjun dan desiran angin yang menemani. Di altar, Cawan Arus Roh kini bersinar lembut, menyimpan cahaya harapan untuk hari-hari yang masih akan diuji.