Karena kejadian di malam itu, Malika Zahra terpaksa harus menikah dengan pria yang tidak dicintainya.
"Argh! kenapa aku harus menikah dengan bocah bau kencur!" gerutu seorang pria.
"Argh! kenapa aku harus menikah dengan pak tua!" Lika membalas gerutuan pria itu. "Sudah tua, duda, bau tanah, hidup lagi!"
"Malik! mulutmu itu!"
"Namaku Lika, bukan Malik!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aylop, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mempertahankan
"Akhhh! Akhhh! Akhhh!" Lika berteriak ketika menyadari maksud ucapan Evan. Pak tua itu ingin menyentuhnya.
"Om, jangan mesum ya!" ia langsung menyilangkan tangan di tubuh. Melihat Evan dengan wajah marah.
"Kenapa kamu berekspresi seperti itu? Apa aku salah?" tanya Evan jadi kesal. Ia merasa tidak ada yang salah dengan apa yang dikatakannya.
"Salah lah, om! om tidak boleh menyetuhku!" tegas Lika.
"Kenapa tidak boleh? Aku suamimu, hal wajar aku menyentuhmu. Aku meminta hak ku!" balas Evan. Mereka suami istri, melakukan hal seperti itu bukanlah dosa.
"Tapi aku bukan istrimu!" sanggah Lika tidak terima.
"Malik, apa kamu lupa kita sudah menikah?!" Evan mengingatkan. Sepertinya wanita labil ini mulai amnesia.
"Kita sepakat akan bercerai setelah resepsi pernikahan!" balas Lika.
"Itu mau kamu, aku tidak mau!" Evan tidak pernah mengiyakan hal tersebut.
Lika menatap Evan dengan aura permusuhan. Pak tua itu tidak mau menceraikannya. Jika begini ia tidak bisa bersama Boni.
"Kita tetap akan bercerai titik!" Lika tetap bersikeras.
Evan membuang napasnya perlahan, lagi-lagi mereka berdebat.
"Malik, kamu lupakan pacarmu yang jelek itu!" pinta Evan.
"Enak saja! Lagian om Evan itu yang jelek, Boniku itu paling tampan sejagat raya!" bela Lika. Tidak terima sang pacar dikatakan jelek.
Evan mendengus. "Malik, dengar! mari kita menerima pernikahan ini dan jalani pernikahan sebagaimana yang seharusnya."
Evan akan mencoba menerima dan menjalani pernikahan ini. Meskipun ia tidak memiliki perasaan pada Lika, tapi mungkin rasa itu akan hadir seiring berjalannya waktu.
Lika menggelengkan kepala, ia tidak setuju dengan rencana pak tua itu untuk mempertahankan pernikahan ini.
"Aku tidak mau, om Evan!" tolak Lika.
"Malik!" Evan kesal terus ditolak. Ia ingin memulai hubungan baik, malah tanggapannya begitu.
"Kamu tidak akan rugi bersamaku. Aku tampan dan kaya." Pria tampan itu mulai membanggakan dirinya.
"Hidupmu akan terjamin jika bersamaku!" sambungnya kembali. Walaupun sekarang jabatannya hanya manajer, tapi manajer di perusahaan papanya sendiri.
Perusahaan papanya itu besar dan ia anak semata wayang. Otomatis ia adalah pewaris tunggal. Dan juga suatu saat nanti, ia yang akan memimpin perusahaan itu.
Apalagi yang dicari wanita dari pria?
Tajir? iya.
Tampan? jangan ditanya.
Baik hati? pasti.
Tanggung jawab? wajib.
Cinta? akan muncul seiring berjalannya waktu.
Apalagi yang kurang dari dirinya. Evan tidak mengerti si Malik menolak pria seperti dirinya.
"Tapi om itu sudah tua!" jelas Lika.
Evan terdiam sesaat. Untuk usia memang terpaut jauh sekali jarak mereka. "Bukan tua, tapi matang!"
"Sayur kali matang!" Lika malah meledek. Lucu sekali pak tua itu membanggakan diri.
"Malik, aku janji akan membahagiakanmu! Mari kita memulai awal yang baik!" ucap Evan. Masih mencoba menyakinkan si bocah kematian yang keras kepalanya minta ampun.
"Aku mau bercerai, aku tidak mau bersamamu, om!" Lika menolak. Ia sedikit pun tidak mau bersama Evan.
Evan yang geram dan kesal menggendong Lika dan membawa masuk ke kamar.
"Om Evan, lepaskan aku! Lepaskan aku!" Lika menggeliat. Pak tua itu main angkat-angkat saja.
"Lepaskan aku!" Lika berusaha mendorong tubuh Evan yang kini sudah menindihnya.
"Aku tidak mau!" tolak Evan. Ia makin memegang tangan Lika.
"Lepaskan aku!" Lika menggeliat tapi pegangan tangan itu begitu kuat.
"Aku suamimu dan aku minta hak ku!" ucap Evan. Lika menolaknya terus, jadi harus dipaksa.
"Aku tidak mau! Lepaskan aku! Lepaskan aku, om!" ucap Lika. Ia tidak mau menuruti pak tua itu.
Evan kesulitan untuk mencium bibir itu, Lika menggeleng-gelengkan kepala.
Pria itu pun menahan wajah Lika dan mulai mendekatkan wajahnya.
"Om, lepaskan aku! Aku tidak mau!" ucap Lika. Air mata mulai berlinang dan tubuhnya gemetaran. Ia tidak ingin disentuh Evan.
Evan menatap wajah sedih berlinang air mata. Ekspresi Lika begitu tertekan dan ia tidak suka itu.
Kesannya sekarang seperti ia akan memper kosa anak orang. Padahal ia hanya ingin meminta hak nya sebagai seorang suami.
Evan pun melepaskan pegangannya pada Lika dan memilih duduk. Ia membuang napas berat melihat si Malik meringkuk sambil menangis.
"Malik," panggil Evan.
Lika tidak menjawab dan masih menangis tersedu-sedu. Ia takut sekali dengan perlakuan Evan tadi.
"Maaf." ucap Evan kemudian. Ia jadi membuat si Malik ketakutan dan menangis sesedih itu.
"Kamu tidurlah, aku akan keluar." Evan akan mengalah. Ia memang tidak bisa menang melawan bocah.
Sebelum keluar kamar, Evan menyelimuti tubuh Lika yang gemetaran.
Kini Evan duduk di ruang tv sambil matanya sesekali menatap pintu kamar. Menebak jika mungkin Lika sudah tidur.
Ponsel berdering dan Evan mencari ke arah suara. Bukan suara ponselnya, sepertinya ponsel si Malik.
Dari dalam tas suara ponsel berasal. Evan melihat nama penelepon.
Bunda menelepon,
"Halo, selamat malam Bun." ucap Evan saat menjawab panggilan.
"Evan?" Bunda kaget menantunya yang menjawab. "Selamat malam juga." membalas ucapannya.
"Evan, Lika bersamamu?" tanya Bunda. Tadi Lika izin pergi keluar dan hari sudah malam belum pulang juga.
"Lika sedang tidur, Bun." jawabnya.
Bunda tersenyum. "Kamu bukannya sedang dinas luar?"
"Sebenarnya tidak sedang dinas, Bun."
"Oh iya-iya, Bunda mengerti." ucap wanita paruh baya itu langsung paham.
Lika bilang Evan sedang dinas luar dan memilih menginap di rumah, itu hanya alasan saja. Pasti keduanya saat itu sedang bertengkar dan kini sudah berbaikan lagi.
"Evan, titip Lika ya. Tolong jaga dia baik-baik. Putri Bunda masih labil, kamu sabar-sabar dengannya ya." pesan Bunda. Ia paham sifat anaknya itu.
Evan tersenyum. Memang Lika sangat labil dan juga menyebalkan. Ditambah lagi keras kepala dan susah diatur. "Baik, Bun. Saya akan menjaga Malika, Bunda tidak perlu khawatir."
"Terima kasih ya, Evan." Bunda bernapas lega. Evan wajar dengan sifat anaknya.
Tak lama panggilan pun berakhir. Evan menatap layar ponsel yang terkunci.
Ting, bunyi pesan masuk.
Boni: Lika, besok kita bertemu di kafe Bintang jam 5 sore. Uangnya cash saja, jangan ditransfer
Evan membaca dari notifikasi karena tidak bisa membuka ponsel itu. Ponsel Lika menggunakan password.
Napasnya bergemuruh, ia marah dan tidak suka membaca pesan tersebut. Beraninya pria lain memanfaatkan istrinya.
Ponsel disimpan kembali ke dalam tas sambil berpikir. Ia tidak akan memberikan Lika uang untuk pacarnya itu.
Evan berjalan kembali masuk kamar dan melihat si Malik tidur. Ia pun naik ke tempat tidur dan memeluknya.
Pagi menjelang, Evan menahan senyum melihat wajah yang tidur dengan mulut menganga. Lucu sekali istri kecilnya itu.
Evan pelan-pelan bangun. Ia tidak mau mendengar teriakan lagi. Yakin sekali jika Lika terbangun dan melihat mereka bersama di tempat tidur, pasti akan berteriak lalu menangis.
Pria itu membenarkan selimut dan mendaratkan satu kecupan di keningnya.
Cup,
'Masa cuma kening?' pikir Evan.
Pria itu akan mendaratkan bibirnya di bibir merah muda itu dan tiba-tiba wajahnya didorong.
"Akhhh!!!"
.
.
.
gmn hayo Lika, jadi gak minjem uang ke Evan untuk transfer Boni? 😁
Van, tolong selidiki tuh Boni, kalau ada bukti yg akurat kan Lika biar sadar tuh Boni hanya memanfaatkan dan membodohi nya doang
makanya jangan perang dunia trs, romantis dikit kek sebagai pasutri 😁