Hail Abizar, laki-laki mapan berusia 31 tahun. Belum menikah dan belum punya pacar. Tapi tiba-tiba saja ada anak yang memanggilnya Papa?
"Papa... papa...!" rengek gadis itu sambil mendongak dengan senyum lebar.
Binar penuh rindu dan bahagia menyeruak dari sorot mata kecilnya. Pria itu menatap ke bawah, terpaku.
Siapa gadis ini? pikirnya panik.
Kenapa dia memanggilku, Papa? Aku bahkan belum menikah... kenapa ada anak kecil manggil aku papa?! apa jangan- jangan dia anak dari wanita itu ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perlahan
Hail mengendong Cala dan Evelyn bergantian, kini tubuh lemah itu sudah terbaring di kasur kapuk keras yang ada di kamarnya.
"Cala tunggu di sini dulu ya, Papa ambil barang sebentar," ucap Hail sambi memberikan ponsel milik Evelyn pada Cala, sebagai penerang
Tanpa menunggu lama Hail pun keluar, berjalan menuju ruang tamu untuk mengambil barang yang ia bawa tadi. Saat mengambil kardus milknya, langkah Hail terhenti. Perhatiannya terarah ada laptop yang masih menyala di atas meja, pria yang masih mengenakan helm itu sedikit menunduk. Melihat data yang ditampilkan di layar.
"Apa yang Evelyn kerjakan?" gumamnya penuh tanya.
Tapi sekarang bukan saat yang tepat untuk penasaran, ada hal yang lebih penting yang harus ia lakukan. Dalam kegelapan langkah Hail mengayun cepat, tergesa dan cemas. Pria itu meletakkan kardusnya di samping ranjang, lalu mengambil satu plester penurun panas. Dengan pelan dan hati-hati Hail mendekat, menyibakan rambut yang menutupi kening Evelyn dengann lembut, lalu menempelkan plester di sana.
Ia lalu mengambil satu botol minyak kayu putih. Menuang di telapak tangan, lalu mengusapkannya ke leher, tangan dan kaki Evelyn.
"Eve .... hei cepat bangun," ucap Hail, dengan pelan mendekatkan botol minyak kayu putih ke hidungnya.
Hail terdiam menatap sesaat wajah cantik yang hanya berjarak satu ruas jari dengannya. Wajah yang tak pernah kehilangan pesonanya meski sedang sakit seperti ini.
"Mama cakit ya, Papa?" tanya Cala yang sejak tadi diam memperhatikan di samping sang Mama.
Hail tersentak dari lamunannya, ia menoleh pada Cala lalu tersenyum tipis.
"Mama cuma capek, Cala tidak perlu takut. Kan udah ada Papa," ujar Hail menenangkan, meski dia sendiri juga panik. Cala mengangguk memeluk erat dua boneka kesayangannya.
Evelyn mengerutkan keningnya, lenguhan kecil keluar dari bibir pucatnya.
"Eve..." panggil Hail penuh kelegaaan.
"Mama!" seru Cala, mendekat.
"Ssh .... kamu, kamu kenapa ada di sini?" Evelyn memegangi kepalanya yang masih sangat pening.
Evelyn terkejut saat melihat wajah Hail yang begitu dekat dengannya. Dan kenapa pria ini bisa ada di sini? Bagaimana dia masuk? Seingat Evelyn dia sudah mengunci pintu sejak sore tadi.
"Apa yang sakit? Kenapa bisa sampai seperti ini? Kita ke rumah sakit ya?" cerca Hail alih-alih menjawab.
"Saya tidak apa-apa," jawab Evelyn lirih, dia bahakan berusaha mendorong Hail agar menjauh. Dia merasa tidak nyaman jika Hail terlalu dekat dengannya.
"Kalau kau tidak apa-apa, tidak mungkin kau pingsan, Eve. Apa kau tidak tahu, betapa takutnya Cala melihatmu seperti ini?" kali ini Hail bicara dengan nada sedikit tinggi, tapi tidak membentak.
Evelyn mengalihkan pandanganya pada Cala, gadis kecil yang tengah memeluk paus dan kuda poninya. Matanya basah, bibirnya melengkung ke bawah saling mengigit. Evelyn tersenyum, tangannya terulur lemah pada Cala.
"Mama ..." Cala meringsek masuk dalam pelukan Evelyn.
"Maafin mama ya sayang, Cala jangan takut. Mama nggak apa-apa."
Cala tidak menjawab, hanya memeluk Evelyn dengan semakin erat.
Hail menghea nafas, ia yang tadinya duduk di tepi ranjang Evelyn perlahan bangkit. Pandangannya menyapu sekitar, meski gelap dan hanya mengandalkan cahaya ponsel. Tapi Hail bisa melihat betapa sederhananya kamar ini, seharusnya dia tidak kagetkan. Karena ruangan lain juga sama sederhananya.
"Aku periksa meteran listiknya dulu, mungkin turun."
"Tidak usah," cegah Evelyn.
Hai yang tadinya akan beranjak terhenti, lalu menoleh.
"Kenapa? Aku lihat rumah lainnya nyala, hanya rumahmu saja yang gelap."
"Aku belum beli token,'' lirih Evelyn hampir berbisik, jangankan token. Makan saja ia beli seporsi berdua dengan Cala.
Mata Hail melebar mendengar ucapan Evelyn. Pria itu tidak mengatakan apapun, dan melangkah keluar begitu saja. Evelyn hanya diam, menatap nanar langit-langit yang kusam yang tak terlihat karena gelap. Tangannya tak berhenti mengusap punggung kecil Cala yang meringkuk di sampingnya.
'Seharusnya gue nggak tumbang, kenapa pake sakit segala sih,' marah Evelyn pada dirinya sendiri.
Malam ini ia waktu liburnya, dia tidak perlu ke hotel untuk cuci piring. Seharusnya dia bisa memanfaatkan waktunya untuk mengerjakan revisi skripsi-skripsi itu. Tapi raganya seolah menyerah, dia meminta haknya untuk istirahat. Evelyn sadar dia sudah terlalu abai pada dirinya sediri, tapi dia bisa apa. Keadaan ini memaksanya. Mata sipit Evelyn terpejam pelan, seiring air asin yang turun dari sudut matanya.
Tap
Lampu seketika menyala terang. Mata Evelyn masih terpejam, dia tahu Hail mungkin sudah mengisi token listriknya. Pria itu tidak pernah berubah, dia suka sekali ikut campur urusan Evelyn. Langkah berat mendekat, Evelyn merasa sisi kiri ranjangnya begerak. Hail duduk di sana, dia bisa mencium aroma parfum laki-laki itu, wangi yang masih sama seperti empat tahun yang lalu.
"Buka matamu sebentar Eve," suara berat Hail memaksa Evelyn membuka mata.
Laki-laki yang masih mengenakan helm itu duduk di tepi ranjangnya, dengan sebungkus nasi goreng di pangkuannya.Kebetulan sekali saat Hail memeriksa meteran listrik Evelyn di luar, ada tukang nasi goreng keliling yang lewat. Jadi Hail sekalian beli untuk istrinya makan, OTW istri maksudnya.
"Makan, lalu minum obat." Hail membuka nasi goreng yang ia bawa.
Namun, gerakan Hail terhenti. Ia meletakan nasi gorengnya di meja, mengambil dua boneka milik tuan putri kecil yang sudah tertidur di pelukan sang Mama.
"Maaf ya," izin Hail sebelum menyentuh kepala Evelyn, sedikit mengangkatnya. Lalu menopang dengan dua boneka besar itu, agar posisi Evelyn lebih mudah untuk makan.
Hail tersenyum, kembali duduk dan mulai menyuapi Evelyn.
"Aku bisa sendiri," tolak Evelyn saat sendok penuh nasi goreng sudah ada di depan mulutnya.
"Bisa nggak, nggak usah bantah sehari saja. Buka mulutnya cepat." Alis Hail menukik tajam menakuti.
Evelyn mendesah pasrah, mau melawan dia juga tidak ada tenaga. Akhirnya wanita itu membuka mulut, membiarkan Hail menyuapinya. Hail tersenyum lebar, penuh kemenangan. Untuk beberapa saat, hanya ada suara sendok dan kunyahan Evelyn yang terselip dalam hening. Sebelum gemericih air hujan turut menyumbang datang.
'Semesta mendukung gue nginep sini rupanya,' monolog Hail, diam-diam dia mengulum senyum kegirangan.
"Sudah." Evelyn menggeleng disuapan ke lima.
"Lagi ya, satu lagi," bujuk Hail dengan lembut.
Evelyn menggeleng cepat, perutnya sangat tidak nyaman. Ia merasa mual, dan mungkin bisa muntah jika terus di paksakan makan. Dia tidak ingin merepotkan Hail lebih dari ini. Hail menyerah, ia meletakkan nasi goreng yang masih tersisa banyak. Mengambil obat dan air, lalu membantu Evelyn meminumnya.
"Tidurlah. Aku akan tidur di sana." Hai menujuk kursi kayu yang ada di samping lemari.
"Kamu nggak pulang?" Evelyn mengerutkan keningnya.
"Apa kau tidak dengar suara hujan itu Nyonya? Apa Anda tega membiarkan saya pulang dan kebasahan di tengah lebatnya hujan? Bagaimana kalau saya sakit? Siapa yang akan menjaga Anda dan Tuan putri, Nyonya?" cerca Hail dramatis.
Evelyn memutar matanya jengah.
"Terserah," ucapnya.
Hail tersenyum tipis menatap wajah pasrah Evelyn. Tangan Hail terulur boneka-boneka yang menganjal kepala Evelyn. Agar wanitanya itu bisa berbaring dengan lebih nyaman. Posisi Hail yang duduk di tepi ranjang dengan tubuh sedikit membungkuk, membuat wajahnya berada sangat dekat dengan Evelyn.
"Selama malam Eve," bisik Hail tepat di telinga Evelyn.
"Hem, terima kasih," lirih Evelyn sebelum memalingkan wajahnya.
Kali ini Hail tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Pelan-pelan, mereka akan lebih dekat. Hail pastikan itu.
jangan sampai ada cakra ke dua lagi yaa pakk...
kamu pasti bisa membuktikan kalau papa nya evelyn gak bersalah. dia hanya di fitnah seseorang.
aduduh untung bgt ya ada ob lewat bawa mie goreng jadi hail gak lama² deh di luar nya
eh kebetulan yg disengaja nih, ada OB bawa makanan. jadi alasan hail tepat
sudah saatnya hail berjuang untuk mencari kebenaran untuk ayahnya Eve