Berawal dari ketidaksengajaan lalu berujung pada pernikahan yang tidak direncanakan. Nadia yang mencoba bertahan hidup dengan menggantungkan harapannya pada pernikahan yang hanya dijadikan sebagai hubungan sebatas ranjang saja, tak mengira hidupnya akan berubah setelah ia memberi Yudha seorang anak yang diidam-idamkan.
“Jangan berharap lebih dari pernikahan ini. Aku menikahimu bukan karena cinta, tapi karena kita sama-sama saling membutuhkan,” kata Yudha.
“Tapi bagaimana jika kamu yang lebih dulu jatuh cinta padaku?” tanya Nadia.
“Tidak akan mungkin itu terjadi,” sarkas Yudha.
Lantas bagaimanakah kelanjutan hubungan pernikahan Nadia dan Yudha yang hanya sebatas ranjang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fhatt Trah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. Reaksi Maura
Reaksi Maura
“Kamu tahu dari mama aku bersama Rizal tadi?” Kesadaran Yudha seakan telah kembali ke tempatnya. Ia seperti menyadari sesuatu yang terasa janggal. Bukankah tidak pernah sekalipun ia memberitahu Maura kalau ia bertemu Rizal, bahkan mereka pernah membuat janji untuk bertemu? Lantas dari mana Maura tahu ia baru saja bertemu sahabat mereka itu?
“Rasanya aku tidak pernah memberitahumu kalau aku bertemu Rizal tadi. Hari ini bahkan kamu tidak ada konsultasi dengan dia. Kamu bilang kamu pergi nonton tadi. Terus kamu tahu dari mana, Maura?” cecarnya merasa ada yang aneh.
“Kamu bukan seorang cenayang kan? Mustahil kamu tahu apa yang tidak kamu lihat.”
Maura terkesiap. Seketika tersadar dengan apa yang baru saja ia katakan. Kakinya mundur selangkah demi selangkah bersamaan dengan langkah maju Yudha. Tatapan mata Yudha kepadanya begitu mengintimidasi.
“I-itu ... a-aku cuma menebak saja. Setiap kali kamu pergi minum, selama ini cuma Rizal yang menemani kamu kan? Dari dulu juga begitu. Kebiasaan kalian itu belum berubah.” Sejak dulu memang benar seperti itu adanya. Maura masih ingat betul, setiap kali pergi ke bar, hanya Rizal yang menemani Yudha. Walaupun Rizal tidak ikut minum. Karena hanya Rizal sahabat yang paling dekat dengan Yudha.
Ayunan langkah Yudha langsung terhenti. Jawaban Maura itu tidak keliru. Selama ini memang hanya Rizal yang selalu menemaninya pergi ke bar. Maura sudah berteman dekat dengan Rizal sejak dulu, jadi wajar saja jika Maura tahu tentang hal itu.
“Ternyata kamu masih mengingatnya,” kata Yudha tersenyum kecil. Disertai tatapan yang sulit dijabarkan.
“Tentu saja aku masih ingat. Itu sudah menjadi kebiasaan kalian sejak dulu kan. Memangnya kamu berpikir apa tentang aku?” Maura mencoba bersikap santai sembari berjalan menuju tempat tidur, hendak membaringkan diri di sana. Padahal ia sudah merasa tegang tadi. Jantungnya sampai berdegup kencang lantaran khawatir jangan sampai Yudha tahu ia pergi menemui Rizal. Bahkan sudah berbagi kehangatan dengan Rizal beberapa jam yang lalu.
“Maaf aku sempat berpikir yang bukan-bukan tentangmu. Aku hanya khawatir kamu tidak berkata jujur padaku. Maura, kamu tahu, aku tidak ingin kehilangan kamu.”
“Itu karena kamu mabuk. Makanya pikiran kamu jadi ke mana-mana. Lagian siapa juga yang menyuruh kamu minum?”
“Maafkan aku. Aku sempat berpikir kalau kamu dan Rizal_”
“Punya hubungan di belakang kamu, begitu pikiran kamu?” sela Maura seraya menggeleng tak percaya suaminya sampai punya pikiran seperti itu.
“Ngaco kamu. Ada-ada saja kamu mikirnya. Kamu sendiri kan tahu, aku dan Rizal sudah berteman baik sejak dulu, dan hubungan itu tidak akan berubah sampai kapanpun,” sambungnya mulai menunjukkan kekesalannya alih-alih waspada karena Yudha sudah mulai berpikir yang bukan-bukan tentang hubungannya dengan Rizal.
Bukan tanpa alasan Yudha sampai berpikir seperti itu, sebab pernah Yudha mendapati mereka hanya berdua saja di dalam ruangan Rizal di beberapa kesempatan.
Tidak hanya itu, pernah tanpa sengaja Yudha menemukan foto Maura dalam ponsel Rizal, di dalam apartemen Rizal, bahkan pernah di meja kerja Rizal.
Namun Yudha tidak bertanya. Ia menyimpan saja pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu hati dan pikirannya itu sampai saat ini hanya demi persahabatan mereka agar tidak tercerai berai.
“Iya, aku tahu. Makanya aku minta maaf. Oh ya, apa kamu tahu, Rizal sekarang sudah punya pacar,” kata Yudha.
Maura tertegun seketika.
“Rizal punya pacar? Siapa? Apa dia lebih cantik dariku? Kenapa Rizal tidak pernah memberitahu aku tentang ini? Kalau benar dia punya pacar, terus dia anggap apa aku ini?”
Pertanyaan-pertanyaan itu berdesakan dalam kepala Maura, ingin sekali mendapatkan jawabannya. Seakan ia tak rela jika Rizal berpaling darinya.
“Me-memangnya Rizal bilang begitu? A-apa kamu pernah bertemu dengan pacarnya?” Raut wajah Maura berubah seketika. Terkejut, tak percaya, bahkan seperti tidak menerima kenyataan itu tergambar di wajahnya.
Tanpa Maura sadari, perubahan raut wajahnya itu diperhatikan dengan seksama oleh Yudha. Minuman beralkohol tidak sepenuhnya menghilangkan kesadaran Yudha.
“Memangnya Rizal tidak pernah cerita sama kamu? Kamu kan temannya.” Sorot mata Yudha menyelidik, meneliti dengan seksama ekspresi janggal yang ditampakkan Maura di wajahnya.
“Tidak. Dia tidak pernah cerita kalau dia sudah punya pacar.”
“Pacarnya cantik. Aku akui pacarnya cantik.” Yudha tersenyum miring, sembari tak lepas memperhatikan perubahan di wajah Maura.
“Sangat cantik malah. Bahkan aku dengar mereka akan segera menikah. Mungkin sekarang mereka sedang bersama,” tambah Yudha demi melihat seperti apa reaksi Maura.
Tak disangka, Maura memperlihatkan reaksi yang berbeda. Maura menundukkan wajahnya, kekecewaan tergambar dengan jelas. Bahkan sempat tertangkap penglihatan Yudha, kedua mata Maura berkilatan terkena cahaya lampu sebelum Maura kemudian memutar tubuhnya. Lalu beranjak menjauhi Yudha.
Meskipun Maura kini membelakangi Yudha, namun Yudha bisa menebak dari gerakan tangan Maura yang terangkat menyentuh wajahnya. Apakah Maura sedang menghapus air matanya?
“Maura,” panggil Yudha. Tetapi Maura tidak mengindahkan. Wanita itu seolah terkejut dengan kabar bahwa Rizal sudah punya kekasih.
Maura sudah menyibak selimut, hendak naik ke atas tempat tidur saat Yudha mendekat dan memeluknya dari belakang. Tak hanya memeluk, tangan Yudha kini menyibak rambut Maura ke samping kanan. Lalu kecupan demi kecupan pun dilabuhkan Yudha pada leher Maura.
Maura yang tersentak, berusaha menolak. Ia menghindari sentuhan Yudha dengan berusaha melepaskan diri dari pelukan suaminya itu.
“Sayang, kamu bau alkohol, sayang. Sebaiknya kamu mandi dulu,” kata Maura menarik diri dari pelukan Yudha. Matanya terlihat memerah, seperti baru menangis.
“Tolong pahami aku, Ra. Aku merindukanmu. Aku sangat menginginkanmu malam ini,” pinta Yudha dengan mata menatap sayu. Berdirinya juga sudah sempoyongan.
“Tapi kamu bau alkohol, sayang. Kamu sendiri sudah tahu kalau aku paling tidak tahan dengan bau alkohol. Sebaiknya kamu mandi dulu, ya? Bersihkan dirimu.”
“Kamu tidak mencintaiku, Ra?” Wajah Yudha terlihat sangat sendu, ada kesedihan mendalam yang ia rasakan. Terlalu mencintai Maura membuat kesabarannya begitu luas. Sehingga terkadang ia menjadi buta dan bodoh.
“Kenapa kamu berpikir seperti itu? Kamu suamiku, aku mencintaimu dengan segenap jiwaku.”
“Buktinya, kamu tidak mau melayaniku.”
“Bukannya aku tidak mau, sayang. Masalahnya kamu bau alkohol.”
Yudha menghela napas. Lalu ia memijit pangkal hidungnya, mencoba meredam sesuatu yang sudah bergejolak dalam jiwanya. Jujur ia sangat kecewa malam ini. Sama seperti malam-malam sebelumnya. Ingin rasanya ia berteriak, memaki keadaan. Namun ia tidak ingin menggagalkan apa yang sudah ia rencanakan sejak awal hanya karena emosi sesaat.
“Sebaiknya kamu bersih-bersih dulu. Setelah itu aku_”
“Tidak perlu. Aku pusing. Kepalaku rasanya berat sekali,” tolak Yudha. Ia sudah sempoyongan, kemudian menjatuhkan dirinya ke atas tempat tidur tanpa mempedulikan Maura lagi.
“Sayang, maafkan aku. Tapi sebaiknya kamu bersih-bersih du_” Sekali lagi kalimat Maura menggantung, sebab dengkuran halus Yudha sudah terdengar.
Maura menghela napasnya panjang. “Sudah kuduga, kamu mabuk berat.”
Maura tak beranjak dari tempatnya. Diperhatikannya Yudha yang sudah terlelap itu beberapa saat. Sebelum kemudian ia bergegas mengganti pakaian. Lalu menyambar tas dan kunci mobil. Langkah kakinya ia buat seringan mungkin agar tidak menimbulkan suara berisik yang bisa membangunkan Yudha.
Maura tahu, sejak dulu setiap kali Yudha mabuk, pria itu akan tertidur pulas sampai pagi. Dia tidak akan terganggu oleh suara berisik apapun. Dan kesempatan itu pun ia gunakan untuk pergi menemui Rizal di apartemennya.
Maura ingin mempertanyakan apakah benar Rizal mempunyai wanita lain selain dirinya.
“Siapa perempuan itu? Perempuan yang kamu pacari sekarang?” tanya Maura dengan wajah marah setibanya di apartemen Rizal. Mereka bahkan masih berdiri di ambang pintu, saking Maura tak bisa lagi menahan rasa ingin tahunya.
“Perempuan yang mana, Ra?” Rizal terlihat kebingungan. Dahinya sampai berkerut dalam karena tidak mengerti maksud pertanyaan Maura.
“Perempuan yang kamu pacari selain aku, Zal. Kenapa kamu mempermainkan aku seperti ini? Kamu bilang kamu mencintaiku. Tapi kenapa kamu malah membawa perempuan lain ke dalam hubungan kita?”
“Maura, sayang, kamu salah paham. Perempuan yang mana? Aku tidak punya siapa-siapa selain kamu yang aku cintai. Sejak dulu sampai saat ini hanya kamu yang ada di hati aku, Ra.”
Kalimat panjang Rizal itu menjadi satu pukulan yang paling menyakitkan buat seseorang yang saat ini sedang menguping pembicaraan mereka dari balik dinding yang tak jauh. Seseorang itu bahkan mulai menitikkan air mata, sembari kedua tangannya terkepal erat sampai buku-buku jarinya memutih.
-To Be Continued-
tapi kenapa jadi tadi/Facepalm//Facepalm/