Berawal dari ketidaksengajaan lalu berujung pada pernikahan yang tidak direncanakan. Nadia yang mencoba bertahan hidup dengan menggantungkan harapannya pada pernikahan yang hanya dijadikan sebagai hubungan sebatas ranjang saja, tak mengira hidupnya akan berubah setelah ia memberi Yudha seorang anak yang diidam-idamkan.
“Jangan pernah berharap lebih dari pernikahan ini. Aku menikahimu bukan karena cinta, tapi karena kita sama-sama saling membutuhkan, Nadia,” kata Yudha.
“Tapi bagaimana jika suatu hari nanti kamu yang lebih dulu jatuh cinta padaku?”
“Tidak akan mungkin itu terjadi.”
Lantas bagaimanakah kelanjutan hubungan pernikahan Nadia dan Yudha yang hanya berdasarkan pada kebutuhan ranjang semata? Akankah cinta bersemi diantara mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fhatt Trah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34. Rudal Panjang
Rudal Panjang
Sejak menandatangani berkas yang tidak diinginkan, sejak saat itu pula Maura didera gelisah yang tak berkesudahan. Tiada angin tiada hujan tiba-tiba saja Yudha menarik kembali saham yang pernah diberikan pria itu sebagai hadiah pernikahan untuknya. Serta membatalkan kerjasama dengan keluarganya.
Yang membuat Maura semakin didera gelisah adalah mengapa ia juga diminta menandatangani selembar kertas kosong. Untuk apakah selembar kertas kosong itu? Apa yang sedang direncanakan Yudha sebenarnya? Apakah Yudha marah besar karena ia selalu menolak ajakannya berhubungan?
Jika alasannya karena itu, mulai sekarang Maura akan menuruti permintaan Yudha demi meredam amarah suaminya itu. Semalam ia diomeli orangtuanya karena sudah membuat Yudha marah, sehingga Yudha membatalkan kerjasama. Jika kerjasama itu batal, maka pemasukan terbesar keluarganya akan terhenti.
“Tidak bisa, Yud. Kamu tidak boleh memperlakukan aku seperti ini,” gumamnya.
Semalam Maura tidak bisa tidur. Hatinya diliputi keresahan. Berulang kali ia mencoba menghubungi Yudha, berulang kali pula ia harus kecewa karen ponsel Yudha masih tidak aktif. Bahkan sampai pagi ini.
Maura duduk termenung seorang diri di meja makan. Sarapan yang tersaji di depannya hanya dipandanginya saja tanpa ada keinginan untuk menyentuhnya.
“Bi, tolong bereskan mejanya,” titahnya pada Bi Ratmi. Kemudian ia bergegas naik ke lantai dua menuju kamar tidurnya.
Dari laci meja nakas di sisi tempat tidur, Maura mengambil sebungkus rokok dan korek api. Lantas ia mengambil duduk pada sofa di sudut ruangan. Kebiasaan buruknya ini masih ia lakukan secara diam-diam tanpa sepengetahuan Yudha. Padahal Yudha sudah memperingatkannya berkali-kali.
Baru juga menyalakan sebatang rokok, pintu kamarnya tiba-tiba dibuka dan menampakkan sosok Yudha di sana.
“Sayang, kamu dari mana saja?” Mematikan rokok, lalu menyembunyikannya dibalik bantal kursi, Maura kemudian menghambur memeluk Yudha. Tidak ada lain yang bisa ia lakukan untuk meredam amarah suaminya selain merayu dan bermanja padanya.
Yudha tidak menggubris. Ia justru menurunkan tangan Maura yang melingkari pinggangnya, lantas menjauh menuju kamar mandi untuk segera membersihkan diri, sebab ia harus pergi ke kantor sekarang juga.
Sempat Yudha mencium asap rokok begitu ia membuka pintu kamar. Sempat juga ia melihat Maura menyembunyikan rokok itu dibalik bantal. Jika biasanya ia akan marah melihat Maura melakukan kebiasaan buruknya itu, namun kali ini ia tidak peduli.
Kebiasaan buruk Maura itulah yang membuat orangtua Yudha sempat tidak memberi restu. Tidak hanya merokok, bahkan Maura sering mabuk-mabukan. Dan yang lebih parahnya lagi, mungkin juga dulu Maura pernah terlibat pergaulan bebas. Sampai-sampai Maura terkena kanker serviks.
Bodohnya, cinta membuat mata Yudha tertutup untuk semua itu. Maura pernah berjanji padanya, setelah mereka menikah, wanita itu akan merubah dirinya menjadi lebih baik lagi. Namun kenyataannya, Maura malah melakukan hal yang lebih gila lagi di belakangnya.
“Sayang, kita harus bicara,” pinta Maura begitu Yudha keluar dari kamar mandi. Ia mengekor di belakang suaminya itu yang berjalan menuju lemari pakaian.
“Nanti saja. Sekarang aku tidak punya waktu,” tolak Yudha sembari mengenakan pakaian. Tak ia pedulikan keberadaan Maura. Hatinya masih sakit mengingat pengkhianatan yang dilakukan istrinya itu.
“Aku butuh penjelasan dari kamu, sayang. Kenapa kamu melakukan ini padaku. Apa salahku sama kamu?”
“Terlalu banyak, Maura. Kamu pikirkan saja sendiri. Kenapa harus aku jelaskan satu per satu?” Mengambil dasi dari laci, Yudha hendak memasangnya. Namun tangan Maura sigap merebut dasi itu dan berinisiatif memasangkannya di leher suaminya.
“Sayang, sebenarnya aku tidak marah kamu menarik kembali saham atas namaku yang kamu berikan sebagai hadiah pernikahan kita. Tapi tolong, tarik kembali keputusan kamu atas pembatalan kerjasama dengan orangtuaku,” pinta Maura sambil memasangkan dasi.
Yudha menghela napas, menatap wajah Maura dengan dada bergemuruh hebat. Ingin rasanya ia lampiaskan saja amarahnya ini sekarang juga jika ia tidak teringat akan rencananya yang ingin membuat Maura hancur sehancur-hancurnya.
“Hotel itu terus merugi. Biaya operasional yang keluar tidak sebanding dengan pemasukan yang didapat. Jadi keputusan yang tepat adalah menghentikan hotel itu beroperasi.”
Maura diam sejenak. Ia tahu ia tidak punya hak mengatur hotel itu.“Sayang, kamu marah padaku kan?” tanyanya lagi, menatap mata Yudha dengan penuh harap.
“Tolong katakan apa salahku agar aku bisa memperbaikinya. Kalau kamu marah karena aku sering menolak ajakan kamu, kalau begitu mulai sekarang, aku akan berusaha melayani kamu sebaik mungkin. Semoga saja rasa nyeri itu tidak datang lagi,” tambahnya merayu.
“Tidak perlu menyusahkan dirimu sendiri, Ra. Aku mungkin tidak membutuhkan itu lagi darimu.” Mengabaikan Maura, Yudha kemudian mengambil jas, mengenakannya lalu beranjak meninggalkan kamar.
Maura tidak menyerah. Ia terus mengekori suaminya, berusaha merayu agar kesalahannya yang sering menolak melayani suaminya dengan alasan penyakit itu bisa dimaafkan.
“Maksud kamu apa, Yud? Kamu tidak membutuhkan itu lagi dariku? Apa kamu sekarang punya wanita lain?” cecar Maura sembari terus mengekor di belakang Yudha.
“Bukankah kamu pernah menyarankan itu padaku?” Yudha mempercepat langkahnya menuruni tangga. Di depan rumah, Jerry sudah menunggu di dalam mobil. Sore nanti ia harus pergi mengecek apartemen yang akan ditinggali Nadia. Apartemen itu ia beli untuk Nadia, agar Nadia nyaman berada di tempat tinggal yang lebih baik.
“Lalu sekarang kamu menanggapinya dengan serius?”
“Kalau kamu serius kenapa aku tidak?”
“Aku hanya bercanda, sayang. Aku mengatakan itu karena aku kecewa sama diri aku sendiri yang tidak pernah bisa melayani kamu dengan baik. Seharusnya kamu bisa mengerti itu.” Maura kalang kabut. Ia tak menyangka sekarang Yudha malah menyambut baik sarannya itu. Padahal dulu Yudha selalu saja menolak, bahkan terkadang mereka sampai bertengkar hebat karena Yudha yang tidak ingin melakukan saran gilanya itu.
Langkah Yudha terhenti di depan pintu. Jerry lekas turun dari mobil, membukakan pintu mobil untuk atasannya itu.
“Aku mengerti. Sangat mengerti, Maura. Dan aku tidak mau menyusahkan kamu. Itulah sebabnya kenapa aku akan mempertimbangkan saran kamu itu. Wanita lain mungkin bisa melayaniku.” Rahang Yudha mengetat, menahan amarah yang mulai membakar jiwanya. Tak pernah sekalipun ia menyangka, istrinya bermain gila dengan sahabatnya sendiri. Jika Maura saja sanggup membagi hatinya untuk pria lain, mengapa ia tidak bisa?
“Sayang maafkan aku. Aku tidak pernah serius dengan omonganku itu. Harusnya kamu mengerti, aku hanya sangat marah dan kecewa pada diriku sendiri sampai-sampai aku berkata seperti itu. Aku mencintaimu, mana mungkin aku rela suamiku memiliki wanita lain.”
Yudha menarik sudut bibirnya dengan sinis. Sudah ia duga Maura akan berubah pikiran suatu hari nanti. Beruntungnya ia sudah mempersiapkan segala sesuatunya sejak awal demi mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan terjadi nanti.
****
Pagi ini rasanya bukan pagi yang indah untuk Nadia. Pasalnya, pagi ini ia dibuat kesal ketika ia terbangun dan malah menemukan dirinya berada dalam pelukan Yudha.
Setahunya, semalam ia sudah menaruh guling sebagai pembatas diantara mereka agar Yudha tidak sampai melewati batas. Lalu bagaimana bisa ketika pagi ia terbangun, ia malah berada di dalam pelukan pria itu.
“Bodohnya kamu, Nad. Seharusnya kamu tidur saja di lantai. Kenapa mudah sekali kamu percaya laki-laki itu. Gimana kalau semalam dia macam-macamin kamu?” keluh Nadia hanya bisa merutuki dirinya sendiri. Seharusnya ia tidak mempercayai begitu saja omongan Yudha yang berjanji tidak akan menyentuhnya sebelum diijinkan. Nyatanya semalam tanpa ijin darinya pria itu justru memeluknya erat.
“Bodoh, bodoh. Si Mas-Mas mesum itu sepertinya harus diberi pelajaran. Berani-beraninya dia melanggar janji.” Saking kesalnya, Nadia sampai tidak menyadari tingkahnya itu tengah diperhatikan oleh Yudha yang baru saja tiba di hotel.
Tingkah polahnya itu menerbitkan senyuman di wajah Yudha.
“Gimana kalau nanti badanku gatal-gatal karena dipeluk-peluk si mesum itu. Memangnya dia mau tanggung jawab?” kesal Nadia lagi berbicara pada dirinya sendiri.
“Tentu saja aku mau tanggung jawab. Kalau badanmu gatal, tinggal dipeluk lagi. Beres kan?” Suara Yudha itu pun mengagetkan Nadia seketika.
Gadis itu tersentak, spontan langsung berdiri dari duduknya. Wajahnya tertunduk malu, enggan menatap langsung wajah Yudha. Sebab sebelum berangkat bekerja, mereka sudah membuat perjanjian bahwa tidak boleh ada satu orang pun yang tahu tentang status mereka saat ini selain Jerry.
“Selamat pagi, Pak,” sapa Nadia dengan hormat sembari sedikit membungkukkan badannya.
“Kamu bilang badanmu gatal-gatal karena aku peluk? Asal kamu tahu, semalam kamu yang lebih dulu memelukku. Tanganmu itu bahkan tidak bisa diam. Bisa-bisanya kamu malah memegang rudalku tanpa permisi,” usil Yudha sambil menahan senyuman.
Nadia tersentak lagi, sontak mengangkat wajahnya. Menatap Yudha dengan mata melotot.
“Ap-apa? Ru-rudal apa maksudnya?”
Tidak memberi jawaban dengan kata-kata, Yudha cukup melirik ke bagian bawah, ke sebuah benda keramat yang terletak diantara dua pahanya.
Nadia pun terperangah, baru mengerti apa maksud pria itu dari lirikan matanya. Mulutnya sudah terbuka, hendak melayangkan pembelaan diri, namun Yudha sudah beranjak pergi.
“Pak, jangan sembarangan memfitnah ya, Pak. Mana mungkin tangan saya lancang memegang rudal Bapak!” seru Nadia.
Yudha yang tengah berjalan menjauh itu, menoleh sejenak ke belakang. “Kalau kamu mau, bisa aku berikan padamu. Tidak perlu gengsi, kamu berhak kok dengan rudal panjangku ini,” usilnya kemudian berlalu pergi sambil tertawa-tawa, merasa lucu dengan reaksi Nadia.
-To Be Continued-
cepat ceraikan tuh si Maura
oke Thor tetap semangat up nya 💪💪💪
cepat dong yud ceraikan si maura