NovelToon NovelToon
Nabil Cahaya Hidupku

Nabil Cahaya Hidupku

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / Anak Genius / Anak Yatim Piatu
Popularitas:5.1k
Nilai: 5
Nama Author: SOPYAN KAMALGrab

Nabil seorang anak berkepala besar
bayu ayahnya menyebutnya anak buto ijo
Sinta ibu bayu menyebuutnya anak pembawa sial
semua jijik pada nabil
kepala besar
tangan kecil
kaki kecil
jalan bungkuk
belum lagi iler suka mengalir di bibirnya
hanya santi yang menyayanginya
suatu ketika nabil kena DBD
bukannya di obati malah di usir dari rumah oleh bayu
saat itulah santi memutsukan untuk meninggalkan bayu
demi nabil
dia bertekad memebesarkan nabil seorang diri
ikuti cerita perjuangn seorang ibu membesarkan anak jenius namun dianggap idiot

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

pindah rumah

Selepas membeli ponsel, Santi, Nabil, dan Heru pulang ke rumah. Matahari sudah tinggi, tapi angin pagi masih terasa sejuk. Di dalam angkot, Nabil tertidur pulas di pangkuan ibunya. Mungkin kelelahan setelah membantu membongkar kasus pencurian di konter ponsel. Wajah kecilnya terlihat tenang, damai sekali.

Sampai di rumah, Heru membukakan pintu, dan Santi segera membawa Nabil ke kamar. Ia meletakkan anak itu perlahan di kasur lusuh yang tak pernah mengeluh. Dipandangi wajah mungil anaknya dengan penuh cinta. Tak terasa empat bulan sudah mereka bertahan dalam badai hidup ini. Dari berjualan gorengan di pinggir jalan, ditolak sekolah, hingga kini… anak itu tumbuh jadi sosok kecil yang luar biasa.

Santi keluar dari kamar, berdiri di tengah halaman rumah peninggalan orang tuanya. Rumah kecil itu tampak usang, tapi setiap sudutnya menyimpan kenangan. Ia mengedarkan pandangan. Pagar bambu yang mulai lapuk, pohon jambu di sudut kanan, dan teras depan tempat ia biasa menata gorengan. Semuanya terasa berat untuk ditinggalkan.

Heru keluar menyusul, membawa dua gelas air putih. “Berat sekali aku meninggalkan rumah ini, Kak,” ucapnya sambil menatap rumah itu.

Santi menarik napas panjang. “Kakak juga berat, Ru… Tapi bagaimana lagi? Kita tidak punya bukti apa-apa. Sertifikat rumah ini nggak pernah diurus.”

“Iya. Mang Herman tega sekali ya. Cuma karena dia ipar, dia bisa seenaknya ngusir kita.”

Santi hanya diam. Matanya menerawang. “Yah… Biarlah. Mungkin ini memang jalan kita. Kita bukan pewaris, Ru. Tapi kita bisa jadi perintis.”

Heru tersenyum kecil. “Wah, keren itu Kak kata-katanya.”

Malam menjelang. Mereka tak banyak bicara lagi. Udara malam makin dingin. Mereka tidur di ruang depan, beralas tikar, berpeluk harapan.

Menjelang dini hari, suara merdu shalawat tahrim membangunkan Santi. Ia terjaga, lalu berwudu. Hari ini ia tak akan berjualan, ia ingin menyiapkan kepindahan mereka. Tapi sebelum itu, ada yang lebih penting—berbicara dengan Sang Pencipta.

Santi menggelar sajadah di ruang tengah. Di tengah gelap dan sepinya malam, ia bersimpuh. Air matanya mengalir pelan. Ia tak meminta banyak, hanya kekuatan untuk terus bertahan.

“Ya Allah… hidup ini tidak mudah. Tapi hamba tahu, Engkau tidak pernah meninggalkan hamba. Terima kasih untuk anak seperti Nabil… Terima kasih untuk Heru yang selalu mendukung…”

Setelah shalat tahajud, Santi masuk dapur. Ia mulai memasak sarapan. Jualan atau tidak, bangun pagi tetap jadi kebiasaannya.

Tak lama kemudian, Heru bangun, diikuti Nabil. Seperti biasa, Heru mengimami salat subuh. Nabil sudah mulai bisa meniru gerakan salat, meski masih kaku. Tapi Santi tersenyum. Perkembangan anak itu luar biasa.

Selesai salat, Santi kembali ke dapur. Heru membantu menyapu halaman. Sementara itu, Nabil duduk di ruang tengah, sibuk memainkan ponsel barunya.

Tangannya lincah sekali, seolah sudah lama biasa menggunakan ponsel. Ia membuka peta, menelusuri lokasi-lokasi yang ada.

“Mam, aku nemu tempat bagus buat kita pindah nanti,” ucap Nabil tiba-tiba.

“Dimana, Nak?”

“Di Kebon Melati. Di sana ada pabrik baru buka, terus belum banyak pedagang. Ada rumah kontrakan juga yang bisa dibayar bulanan.”

“Berapa sewanya?”

“Satu juta, Mam.”

Santi terdiam. “Kenapa mahal sekali, Nak? Nggak ada yang 300 ribuan aja?”

Nabil mengangguk pelan. “Ada sih, tapi rumahnya jelek. Nggak cocok buat mamah jualan. Kalau yang ini, lumayan bagus. Bisa jadi tempat tinggal, bisa juga buat usaha kecil.”

Santi mengangguk. Anak ini memang tahu caranya berpikir. “Baiklah. Ambil yang itu, Nak.”

“Ini, Mam. Telepon aja pemilik rumahnya. Siapa tahu mamah bisa nawar.”

Santi tersenyum menerima ponsel dari Nabil. Ia menelepon, dan berbicara dengan sopan, penuh keyakinan. Tak lama kemudian, Santi menutup telepon dengan senyum tipis.

“Berhasil, Nak. Dia mau nurunin jadi delapan ratus ribu sebulan.”

Nabil tertawa kecil. “Mamah memang hebat.”

Santi mengusap kepala Nabil lembut. “Kita harus segera beres-beres. Pindah dalam dua hari ini.”

Heru muncul dari luar, membawa beberapa kardus bekas.

“Ayo kita mulai packing sekarang aja. Biar nggak dadakan nanti,” ujarnya semangat.

Hari itu, mereka tidak berjualan. Mereka menghabiskan waktu bersama, membereskan rumah kecil yang telah menjadi saksi jatuh bangun hidup mereka. Santi menyimpan barang-barang dengan hati-hati. Sesekali ia terdiam memandangi dinding tua itu. Rasanya tak siap melepas semua ini, tapi ia tahu, rumah bukan hanya soal tembok dan atap. Rumah sejati adalah tempat di mana cinta dan harapan tumbuh—dan itu ada di mana pun mereka bersama.

Malamnya, sebelum tidur, Santi menatap Nabil yang sibuk menulis sesuatu di buku bekasnya.

“Kamu nulis apa, Nak?” tanya Santi.

Nabil mengangkat wajahnya dan tersenyum. “Aku nulis mimpi-mimpiku, Mam. Biar nggak lupa.”

Santi tertegun. Ia tahu, selama masih ada mimpi, hidup akan terus berjalan.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Santi tidur dengan senyum yang tulus.

Pagi itu, matahari baru saja mengintip dari balik langit jingga ketika suara motor tua terdengar berhenti di depan rumah. Santi yang sedang menyiapkan sarapan untuk Heru dan Nabil hanya melirik sekilas dari balik jendela. Wajah yang muncul dari balik pagar itu adalah wajah yang tak asing—Mang Herman. Ia datang dengan wajah datar, tanpa senyum, dan tatapan yang sulit ditebak.

Tanpa basa-basi, Santi langsung membuka pintu dan menghadapi pamannya.

“Tenang saja, Mang. Aku akan segera pergi. Bukankah perjanjiannya seminggu? Hari ini aku memang sudah berencana pindah,” ucap Santi tegas, berusaha tidak menunjukkan gejolak yang bergemuruh di dalam dadanya.

Herman tersenyum tipis, lalu bersandar di tiang teras. “Aku sebenarnya datang bukan untuk mengusirmu, Sant. Tapi ada tawaran kerja sama yang mungkin bisa kamu pertimbangkan. Nanti si Heru dan Nabil masih bisa tinggal di sini asal kamu ikut saranku.”

Santi mengerutkan dahi. “Apa itu syaratnya, Mang?”

Herman mengeluarkan selembar brosur dari saku kemejanya dan menyodorkannya pada Santi. “Ada tawaran kerja di Saudi. Kamu tinggal berangkat, kerja sebagai TKW. Nanti, Heru dan Nabil tetap di sini. Gajimu kamu kirim ke aku buat bayar cicilan rumah ini. Rumah ini bisa kamu miliki perlahan, kan daripada kamu sekarang nggak jelas mau tinggal di mana.”

Santi terkekeh pelan. Matanya menatap lekat wajah Herman yang dulu pernah ia hormati sebagai adik dari ayahnya. Kini, hormat itu sudah lama terkubur.

“Hahaha... aku nggak nyangka, Bapakku yang baik hati punya adik sepicik dan seserakah Mamang. Mamang, kalau Mamang masih punya hati, Mamang akan memberikan hak Bapak. Jangan mentang-mentang Bapakku nggak sekolah tinggi dan terlalu baik, Mamang seenaknya mengambil hak orang lain!”

Nada suara Santi mulai bergetar, tapi matanya tetap tegas. “Aku memang nggak punya sertifikat atau bukti kepemilikan rumah ini. Tapi Mamang coba tanya ke dalam hati, benar nggak apa yang Mamang lakukan? Apa itu adil?”

Herman mendengus. “Ah, ngerti apa kamu, Santi? Hidup itu butuh cerdik, bukan cuma baik. Ya sudah, kalau kamu milih pergi, silakan. Tapi setelah ini kamu bukan lagi saudaraku. Kalau ada kesusahan, jangan harap kamu bisa menghubungi aku!”

Santi tersenyum, tenang dan penuh percaya diri. “Aku senang sekali, Mang. Senang bisa memutus hubungan dengan orang yang licik dan dzalim seperti Mamang.”

“Sombong kamu, Santi!”

“Ya, aku memang sombong. Tapi aku tidak pernah mengambil hak orang lain. Aku tidak dzalim.”

Percakapan mereka terputus oleh suara mobil pick up yang berhenti tepat di depan rumah. Heru keluar dari dalam rumah, membopong tas besar milik Santi. Nabil berdiri di sampingnya, memegang boneka lusuhnya, memandang ke arah ibunya dengan mata yang penuh harapan.

“Mobil sudah datang, Mang. Aku akan meninggalkan rumah ini, bukan karena aku kalah, tapi karena aku tidak ingin tinggal di tempat yang sudah dicemari oleh keserakahan. Selamat menikmati harta haram, Paman,” ucap Santi mantap, sebelum melangkah ke pick up bersama dua orang yang paling ia cintai di dunia ini.

1
Tata Hayuningtyas
suka dengan cerita nya
Tata Hayuningtyas
up nya lama sekali Thor...tiap hari nunggu notif dari novel ini...kalo bisa jgn lama2 up nya Thor biar ga lupa SM ceritanya
Wanita Aries
Nah yg bertamu ibu2 yg merasa trsaingi jualannya
Wanita Aries: Bner bgt ka sllu nungguin update
Vina Nuranisa: nagih bgt ceritanya wkwk
total 2 replies
Wanita Aries
Mantap santi mnjauhlah dari org2 dzolim
Vina Nuranisa
kapan up lagii dah nungguin bgt😁
Wanita Aries
MasyaAllah nabil hebat pinter
Wanita Aries
MasyaAllah nabil
Yurnalis
cerita yang bagus semangat terus di tunggu lanjitannya
Wanita Aries
Menguras emosi karyamu thor
Devika Adinda Putri
terima kasih atas cerita yang bagus ini, semoga bermanfaat untuk para pejuang di luar sana, untuk penulis tetap semangat, mungkin tulisan ini belum banyak peminatnya, tapi aku yakin akan banyak yang suka, dengan cerita yg mevotivasi untuk semua orang
Devika Adinda Putri
selalu di tunggu lanjutannya
Wanita Aries
Sama kyk kluarga arman ya ceritanya
Wanita Aries
Sukaaa
Lestari Setiasih
bagus ceritanya
Arlis Wahyuningsih
mantap shanti....maju terus...👍👍👍😘😘
Arlis Wahyuningsih
cerita yg menarik..perjuangan seorang ibu demi putranya ygtak sempurna fidiknys tp luar biasa kemampuanya...mantap thor..💪💪🙏🙏
Farldetenc: Ada karya menarik nih, IT’S MY DEVIAN, sudah End 😵 by farldetenc
SOPYAN KAMALGrab: makasih ka doakan lulus kontrak..kalau lulus lanjut
total 2 replies
ARIES ♈
jangan lupa mampir ya Kakak ke ceritaku. ☺️☺️☺️
.•♫•♬•LUO YI•♬•♫•.
hih geram banget ma bayu.. kalau gua mah dah gua racun satu kluarga 🙄🙄
.•♫•♬•LUO YI•♬•♫•.: iyaa sama"
SOPYAN KAMALGrab: terimakasih KA udah komen k
total 2 replies
.•♫•♬•LUO YI•♬•♫•.
ceritanya bagus, juga gak bertele-tele... semangat trus ya thor..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!