Prita dihantui mimpi-mimpi samar tentang sosok misterius dan sosok asing bernama Tana' Bulan. Di tengah kesehariannya yang tenang di Loka Pralaya bersama sahabat-sahabatnya, Wulan dan Reida, serta bimbingan bijak dari Nyi Lirah, mimpi-mimpi itu terasa lebih dari sekadar bunga tidur.
Sebuah buku kuno berkulit, Bajareng Naso, menjadi kunci misteri ini. Ditulis oleh Antaboga, legenda di dalamnya menyimpan jejak masa lalu Prita yang hilang—ingatan yang terkubur akibat pengembaraannya melintasi berbagai dunia. Nyi Lirah yakin, memahami legenda Bajareng Naso adalah satu-satunya cara untuk memulihkan kepingan-kepingan memori Prita yang berserakan.
Namun, pencarian kebenaran ini tidaklah mudah.
Akankah Prita berhasil memecahkan misteri mimpinya dan memulihkan ingatannya yang hilang? Siapakah tamu tak diundang itu, dan apa hubungannya dengan rahasia yang dijaga oleh Luh Gandaru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Margiyono, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tahun Roda
Dengan bergegas, Reida melangkah menuju pintu masuk perpustakaan. Dari kejauhan, dilihatnya ada tiga orang berjalan mendekat ke ruangan ini.
Mereka adalah Arka, Carla, dan Vyn. Ketiganya tampak berjalan agak cepat, sepertinya ada hal penting yang ingin mereka sampaikan. Setelah sampai di depan pintu ruang perpustakaan, mereka segera disambut oleh Reida.
Dengan sikap penuh hormat, mereka menyapa Reida dengan sopan.
“Selamat pagi, Reida,” kata mereka hampir bersamaan.
“Pagi, Arka, Carla, Vyn,” jawab Reida dengan senyum khasnya yang hangat.
“Apa Nyi Lirah ada di dalam, Reida?” tanya Carla dengan nada ingin tahu.
“Oh,... iya, Nyi Lirah ada di dalam, mari silakan masuk,” kata Reida mempersilakan mereka.
Ketiganya kemudian memasuki ruang perpustakaan itu.
Di sana, aku dan Wulan sedang duduk bersama dengan Nyi Lirah. Saat Arka dan kawan-kawannya masuk, aku tersenyum ke arah mereka. Kulihat Wulan juga bersikap sama sepertiku, dia tersenyum ramah kepada tiga orang teman masa kecilnya itu.
Dari pancaran wajah mereka, aku dapat merasakan kehangatan dan keakraban yang sudah terjalin sejak lama.
“Hai, Carla, Arka, Vyn,” sapa Wulan ceria.
Aku hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalaku kepada mereka bertiga, merasa sedikit canggung namun senang dengan kedatangan mereka. Terhadap Vyn mungkin aku biasa saja, namun ketika melihat Arka dan Carla hatiku merasakan ada sesuatu, entah apa itu aku sendiri tak tahu.
Kemudian ketiganya segera mendekati Nyi Lirah yang masih duduk di bangku panjang itu. “Selamat pagi, Nyi Lirah,” sapa mereka bertiga dengan sopan.
Nyi Lirah tersenyum ramah kepada mereka bertiga. “Selamat pagi, Arka, Carla, Vyn,” ucap Nyi Lirah lembut. “Ada apa?” tanya beliau dengan nada penuh perhatian.
“Maaf, Nyi Lirah,” kata Arka, matanya melirik ke arah Carla dan Vyn. Mereka bertiga saling pandang sejenak sebelum akhirnya Carla berjalan lebih dekat ke arah Nyi Lirah.
“Kami bertiga sudah mempunyai rencana untuk menyambut datangnya tahun baru Roda,” kata Carla dengan antusias.
“Oh .... iya, hmmm... tak terasa ya, waktu cepat sekali berlalu,” kata Nyi Lirah sambil tersenyum, tampak sedikit menerawang.
“Iya, Nyi Lirah,.. tujuh hari lagi kita akan memasuki tahun yang baru, dan kami sudah merencanakan sebuah perayaan untuk menyambutnya,” sela Vyn dengan senyumnya yang renyah dan penuh semangat.
Aku baru tahu kalau di dunia Loka Pralaya ini ada kalendernya sendiri.
Kalender di Loka Pralaya adalah kalender Zokin, yang mempunyai makna suci.
1 tahun = 260 hari, 1 tahun = 13 bulan.
Nama bulannya: Esnab (rasi Simorang), Kawak (rasi Siganon), Ajaw (rasi Nasolup), Muwan (rasi Nidalihan), Kankin (rasi Nihuta), Kayab (rasi Mardo), Kumku (rasi Niadat), Wayeb (rasi Niuhum), Lonkon (rasi Niholon), Kaan (rasi Niraja), Saban (rasi Nitano), Kaban (rasi Niaek), Aaban (rasi Nitao).
Setiap bulan = 20 hari.
Nama harinya: Lika, Akebal, Cikan, Kimi, Muluk, Been, Meen, Kiib, Kibin, Sibin.
Siklus tahunan Loka Pralaya ada 16: Roda, Koda, Hoda, Tunida, Soma, Koma, Poma, Wima, Bimim, Kimim, Timim, Tiamim, Tier, Mier, Kier, Damamimer.
Dengan penuh semangat, Arka menoleh ke arahku. Aku merasa pipiku memanas saat menyadari tatapannya. Aku hanya tertunduk malu sambil memberikan senyum kecilku. Sepertinya Arka adalah orang yang baik.
“Nyi Lirah,” kata Arka dengan nada ceria, “sepertinya kami juga butuh tambahan orang agar perayaan Tahun Roda kali ini akan lebih meriah, ....”
Dia berhenti sejenak, menatapku lagi dengan senyum ramahnya. “Apalagi sekarang ada Prita, saya pikir kita bisa menunjukkan perayaan yang akan membuatnya senang.”
Nyi Lirah hanya tersenyum melihat perhatian Arka padaku. Namun di sampingnya, Carla tampak memasang wajah yang sedikit berbeda, seperti ada rasa tidak suka melihat Arka begitu memperhatikanku. Tapi ia tidak berani menampakkan perasaannya itu. Dengan senyum yang terasa dipaksakan, Carla menimpali ucapan Arka.
“Benar, Prita, kamu harus ikut acara itu,” kata Carla, meskipun nadanya terdengar kurang antusias.
Aku hanya tersenyum dan menoleh ke arah Wulan, seolah meminta pertimbangannya.
Dengan cepat Wulan menanggapi tatapan temanku itu. “Betul kata Carla, Prita,” kata Wulan dengan senyum lebar.
“Sebab, Tahun Roda itu adalah tahunnya klan Lontara.”
“Maksudmu?” tanyaku bingung.
“Iya, Tahun Roda itu mempunyai arti jiwa atau nyawa, jadi pas sekali dengan kampung kita,” jawab Wulan dengan semangat,
“apalagi Tahun Roda kali ini bertepatan dengan hari Cikan, yang mempunyai arti bulan.”
Ia berhenti sejenak, berpikir. “Jadi pas kan, kalau kita gabung akan menjadi Jiwa Bulan,...hmmmm indah sekali, seperti Tana’ Bulan,” ucap Wulan sambil tertawa kecil.
Melihat keseruan mereka dalam bercanda, Nyi Lirah tampak bahagia. Beliau pasti bangga melihat generasi muda klan Lontara begitu akrab dan penuh semangat.
“Nyi Lirah,” kata Carla kembali fokus pada tujuan mereka datang, “tujuan kami ke sini adalah untuk meminta izin dari Tetua.”
“Iya, Nyi Lirah,” sela Vyn dengan nada sedikit khawatir, “supaya tidak repot.”
“Repot?” kata Carla mengerutkan dahinya. “Repot apanya, Vyn?”
Vyn hanya cengingisan mendengar pertanyaan Carla. “Yah ... repot dong .. repot aja, habis setiap ada acara, pasti aku dan Gendhis yang selalu dapat job numpuk…” jawab Vyn sambil cemberut, membuatku tertawa kecil melihat ekspresinya.
“Oh, tenang saja, kali ini kan ada Prita..., iya kan, Prita?” kata Carla sambil tersenyum, seolah ingin menggoda sekaligus melibatkanku dalam percakapan mereka.
Aku hanya tersenyum dan menganggukkan kepalaku. Aku tahu bahwa seusia Vyn, tingkah lakunya memang masih seperti itu, penuh canda dan kadang sedikit mengeluh tapi tetap bertanggung jawab.
Tak lama kemudian, Nyi Lirah berdiri dari tempat duduknya. Matanya mencari-cari sesuatu di sekitar meja. “Reida, tolong ambilkan kertas izin yang ada di ruang kerjaku ya...?” pinta Nyi Lirah dengan nada lembut, “bilang saja aku yang menyuruh,” kata Nyi Lirah lagi.
“Baik, Nyi…” jawab Reida singkat. Tak lama kemudian, Reida segera meninggalkan ruangan itu menuju ruang kerja tetua klan. Sementara Arka dan teman-temannya kembali asyik terlibat perdebatan ringan mengenai siapa yang akan bertanggung jawab menangani pengadaan acara perayaan Tahun Roda itu.
Nyi Lirah dengan tenang duduk kembali menunggu Reida. Beliau kembali membuka buku tua di pangkuannya, berharap mendapat petunjuk lebih lanjut tentang legenda Bajareng Naso dari halaman-halaman yang penuh misteri itu…