Di Kota Sentral Raya, kejahatan bukan lagi bayangan yang bersembunyi—ia adalah penguasa. Polisi, aparat, hingga pemerintah berlutut pada satu orang: Wali Kota Sentral Raya, dalang di balik bisnis ilegal, korupsi, dan kekacauan yang membelenggu kota ini.
Namun, ada satu sosok yang tidak tunduk. Adharma—pria yang telah kehilangan segalanya. Orang tua, istri, dan anaknya dibantai tanpa belas kasihan oleh rezim korup demi mempertahankan kekuasaan. Dihantui rasa sakit dan dendam, ia kembali bukan sebagai korban, tetapi sebagai algojo.
Dengan dua cerulit berlumuran darah dan shotgun di punggungnya, Adharma tidak mengenal ampun. Setiap luka yang ia terima hanya membuatnya semakin kuat, mengubahnya menjadi monster yang bahkan kriminal pun takut sebut namanya.
Di balik topeng tengkorak yang menyembunyikan wajahnya, ia memiliki satu tujuan: Menumbangkan Damar Kusuma dan membakar sistem busuk yang telah merenggut segalanya darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pemain Baru
Feny menatap layar ponselnya dengan rahang mengeras. Ia segera menyalakan laptopnya dan menjalankan perangkat lunak pelacak untuk mencari tahu lokasi pengirim pesan misterius itu. Namun, seperti yang ia duga, pengirimnya menggunakan metode enkripsi tingkat tinggi—ini bukan orang biasa.
Ia mencoba metode lain, menelusuri server yang digunakan, tetapi jejaknya berputar-putar melalui beberapa jaringan luar negeri sebelum akhirnya menghilang. Seseorang tidak ingin dilacak.
Feny menarik napas panjang dan mengambil ponselnya. Ia menghubungi seseorang yang ia percayai di bagian siber kepolisian.
"Bro, bisa bantuin gue cari sumber pesan anonim?"
"Kirimin datanya, gue coba telusuri. Tapi kalau ini kerjaan orang yang paham dunia gelap, mungkin nggak akan gampang," jawab suara di seberang.
Sambil menunggu hasilnya, Feny mencoba mengingat apakah ada orang dalam yang mungkin mengetahui gerak-geriknya. Hanya ada beberapa orang yang tahu tentang langkahnya sejauh ini:
Rachmat Darmawan – atasannya yang mendukung langkahnya, tetapi tetap ingin bermain aman.
Darma alias Adharma – buronan yang ia bantu di balik layar.
Rini – saksi hidup dari kebrutalan Letnan Hendra.
Rivaldi – pria berbahaya yang jelas berada di sisi lawan.
Jika bukan salah satu dari mereka, berarti ada pihak ketiga yang sedang mengawasinya.
Ponselnya kembali bergetar. Pesan lain masuk.
"Kamu bergerak terlalu cepat. Jika ingin tetap hidup, lebih baik melambat."
Kali ini, Feny merasakan ketegangan yang berbeda. Seseorang benar-benar mengawasi setiap langkahnya.
Feny keluar dari apartemennya dengan langkah cepat. Udara malam masih terasa dingin, tetapi pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Ia menatap layar ponselnya lagi, melihat berita yang kini sudah menyebar luas.
"Kematian Istri Wibawa: Bukti Baru Mengarah ke Pembunuhan Berencana!"
Beberapa media besar mulai berspekulasi, mengaitkan kematian istri Wibawa dengan permainan politik kotor. Persis seperti yang Feny rencanakan—membuka celah dalam sistem tanpa membuatnya terlihat mencurigakan. Sekarang, publik mulai mempertanyakan kebenaran versi polisi.
Namun, satu hal masih mengganggu pikirannya. Siapa orang misterius yang mengiriminya pesan tadi?
Feny berjalan ke tempat parkir, matanya terus waspada. Ia merasa ada yang mengawasi. Perlahan, ia mengeluarkan pistol dari balik jaketnya dan menoleh ke belakang—tidak ada siapa-siapa.
Ponselnya kembali bergetar.
"Kamu masih mencari aku? Jangan terlalu terburu-buru. Kita akan bertemu di waktu yang tepat."
Jantungnya berdetak lebih cepat. Orang ini tidak hanya mengawasinya, tetapi juga bisa menebak langkahnya.
"Siapa kau?" Feny mengetik balasan, tetapi tidak ada jawaban.
Ia menghela napas panjang dan masuk ke mobilnya. Jika ada seseorang yang cukup pintar untuk menyusup ke sistem dan mengawasi pergerakannya, maka ia harus lebih berhati-hati.
Sekarang, hanya ada satu hal yang bisa ia lakukan—menemui Darma dan memperingatkannya bahwa mereka tidak hanya melawan pemerintah korup, tapi juga seseorang yang jauh lebih berbahaya.
Di sebuah ruangan mewah di lantai tertinggi Balai Kota Sentral Raya, Wali Kota Damar Kusuma menatap layar televisi dengan ekspresi gelap. Jemarinya yang berkepala cincin mengetuk-ngetuk meja, menandakan ketidaksabarannya.
Berita terbaru terus diputar di berbagai saluran nasional.
"Kasus Kematian Istri Wibawa Berubah Arah! Apakah Ini Pembunuhan Berencana?"
"Sumber misterius mengungkap bahwa kematian istri Wibawa bukanlah akibat serangan Adharma, melainkan ada tangan lain yang terlibat!"
Salah satu reporter bahkan berani berkata, "Jika kabar ini benar, maka ada kemungkinan besar pihak dalam kepolisian atau bahkan pemerintahan sendiri yang ingin menghilangkan saksi penting."
Damar meremas gelas wiski di tangannya hingga nyaris pecah. Wajahnya merah padam.
"SIAPA YANG MEMBISIKKAN INFORMASI INI?!" suaranya menggelegar di ruangan, membuat beberapa anak buahnya yang berdiri di dekat meja langsung menundukkan kepala, tak berani menjawab.
Damar menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya. "Rivaldi, kau yang mengeksekusinya, kan?"
Di sisi lain ruangan, Rivaldi yang bersandar di dinding hanya meliriknya dengan tatapan tenang. "Ya, perintahmu, Pak Wali Kota."
"Tapi kenapa sekarang ada informasi bocor ke media?!"
Rivaldi mengangkat bahu. "Mungkin ada tikus di antara kita, atau mungkin ada pihak ketiga yang lebih pintar dari yang kita kira."
Damar menggertakkan giginya. Ia menatap layar lagi, melihat bagaimana publik mulai mempertanyakan seluruh sistem kepolisian dan pemerintahan Sentral Raya.
"Jika ini terus berkembang, aku bisa kehilangan kendali!"
Ia segera mengambil ponselnya dan menelepon seseorang. "Pastikan semua media yang memberitakan ini DIAM! Gunakan tekanan, ancaman, apapun! Aku tak peduli bagaimana caranya!"
Setelah menutup telepon, ia kembali menatap Rivaldi.
"Kita harus selangkah lebih maju. Temukan siapa yang membocorkan informasi ini."
Rivaldi tersenyum tipis. "Aku sudah punya tebakan, tapi aku butuh waktu untuk memastikan."
Damar mengangguk. "Kalau begitu, selesaikan sebelum situasi semakin lepas kendali. Aku tak ingin ada kejutan lagi."
Di balik tatapannya yang penuh amarah, terselip ketakutan—karena ia tahu, Adharma bukan satu-satunya musuh yang harus ia hadapi sekarang. Ada seseorang di balik layar yang mulai mengguncang pemerintahannya.
Lanjutan: Guncangan di Balik Layar
Di sebuah ruangan mewah di lantai tertinggi Balai Kota Sentral Raya, Wali Kota Damar Kusuma menatap layar televisi dengan ekspresi gelap. Jemarinya yang berkepala cincin mengetuk-ngetuk meja, menandakan ketidaksabarannya.
Berita terbaru terus diputar di berbagai saluran nasional.
"Kasus Kematian Istri Wibawa Berubah Arah! Apakah Ini Pembunuhan Berencana?"
"Sumber misterius mengungkap bahwa kematian istri Wibawa bukanlah akibat serangan Adharma, melainkan ada tangan lain yang terlibat!"
Salah satu reporter bahkan berani berkata, "Jika kabar ini benar, maka ada kemungkinan besar pihak dalam kepolisian atau bahkan pemerintahan sendiri yang ingin menghilangkan saksi penting."
Damar meremas gelas wiski di tangannya hingga nyaris pecah. Wajahnya merah padam.
"SIAPA YANG MEMBISIKKAN INFORMASI INI?!" suaranya menggelegar di ruangan, membuat beberapa anak buahnya yang berdiri di dekat meja langsung menundukkan kepala, tak berani menjawab.
Damar menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya. "Rivaldi, kau yang mengeksekusinya, kan?"
Di sisi lain ruangan, Rivaldi yang bersandar di dinding hanya meliriknya dengan tatapan tenang. "Ya, perintahmu, Pak Wali Kota."
"Tapi kenapa sekarang ada informasi bocor ke media?!"
Rivaldi mengangkat bahu. "Mungkin ada tikus di antara kita, atau mungkin ada pihak ketiga yang lebih pintar dari yang kita kira."
Damar menggertakkan giginya. Ia menatap layar lagi, melihat bagaimana publik mulai mempertanyakan seluruh sistem kepolisian dan pemerintahan Sentral Raya.
"Jika ini terus berkembang, aku bisa kehilangan kendali!"
Ia segera mengambil ponselnya dan menelepon seseorang. "Pastikan semua media yang memberitakan ini DIAM! Gunakan tekanan, ancaman, apapun! Aku tak peduli bagaimana caranya!"
Setelah menutup telepon, ia kembali menatap Rivaldi.
"Kita harus selangkah lebih maju. Temukan siapa yang membocorkan informasi ini."
Rivaldi tersenyum tipis. "Aku sudah punya tebakan, tapi aku butuh waktu untuk memastikan."
Damar mengangguk. "Kalau begitu, selesaikan sebelum situasi semakin lepas kendali. Aku tak ingin ada kejutan lagi."
Di balik tatapannya yang penuh amarah, terselip ketakutan—karena ia tahu, Adharma bukan satu-satunya musuh yang harus ia hadapi sekarang. Ada seseorang di balik layar yang mulai mengguncang pemerintahannya.