NovelToon NovelToon
Suami Setengah Pakai

Suami Setengah Pakai

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Aluina_

Aku terbiasa diberikan semua yang bekas oleh kakak. Tetapi bagaimana jika suaminya yang diberikan kepadaku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7

Hari pernikahanku tidak diwarnai oleh hujan, seperti dalam film-film sedih. Langit justru cerah, biru tanpa awan, seolah alam semesta sengaja mengejek tragedi pribadiku dengan cuaca yang begitu sempurna.

Aku menatap pantulan diriku di cermin. Kebaya berwarna champagne pilihan Kak Binar menempel pas di tubuhku. Potongannya indah, kain brokatnya dihiasi payet-payet mungil yang berkilauan samar. Riasan tipis di wajahku berhasil menyamarkan lingkaran hitam di bawah mata, tapi tidak mampu menyembunyikan kekosongan di dalam tatapanku. Aku terlihat seperti pengantin. Pengantin yang jiwanya telah direnggut.

"Kamu cantik sekali, Dek."

Suara Kak Binar terdengar dari ambang pintu. Ia berjalan masuk, anggun dalam balutan gamis sutra berwarna pastel. Di wajahnya terlukis kebahagiaan yang tulus sekaligus kepuasan yang tak terucap. Ia merapikan sehelai rambutku yang terlepas dari sanggul sederhana.

"Lihat, kan? Warna ini memang diciptakan untukmu," pujinya.

Aku tidak menjawab. Tangannya terasa dingin di bahuku. Aku ingin menepisnya, tapi tubuhku tak mau bergerak.

"Jangan tegang begitu," bisiknya lagi, seolah ia benar-benar peduli. "Semua akan baik-baik saja. Ini demi kebaikan kita semua."

Kebaikanmu, ralatku dalam hati.

Ruang tamu telah diubah menjadi tempat akad nikah dadakan. Sebuah meja kecil ditutupi kain putih, dengan dua bantal duduk di atas karpet. Hanya ada kami sekeluarga, seorang paman sebagai saksi, dan Pak Ustadz. Suasananya begitu sunyi, sakral, dan mencekam.

Aku duduk di sebelah Ayah, waliku. Di seberang meja, Mas Danu duduk menghadap kami. Ia mengenakan kemeja batik lengan panjang yang serasi dengan pakaian Ayah. Wajahnya tampak kaku. Ia tidak berani menatapku. Pandangannya terpaku pada tangan Pak Ustadz yang menjabat tangannya.

"Sudah siap, Ananda Danu?" tanya Pak Ustadz lembut.

Mas Danu mengangguk, menelan ludah dengan susah payah.

Aku memfokuskan pandanganku pada pola rumit di karpet di bawahku. Aku menghitung setiap lengkungan dan garis, melakukan apa saja untuk mengalihkan pikiran dari apa yang akan terjadi. Ini tidak nyata. Ini hanya mimpi buruk.

"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau, Danu Wijoyo bin Hermawan Wijoyo, dengan putri kandung saya, Arini Larasati binti Surya Prawira, dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai."

Suara Ayah terdengar berat dan bergetar. Aku merasakan tangannya yang menggenggam tanganku sedikit gemetar. Ayahku, pria terkuat yang kukenal, sedang menyerahkan putrinya ke dalam sebuah kesepakatan yang ia tahu akan menghancurkannya.

"Saya terima nikah dan kawinnya Arini Larasati binti Surya Prawira dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai."

Suara Mas Danu terdengar mantap, meski sedikit serak. Nama lengkapku disebut. Kata-kata itu terdengar seperti cap besi panas yang dicapkan ke kulitku, menandai diriku sebagai miliknya. Sah. Terdengar doa dan ucapan "Alhamdulillah" yang lirih.

Sudah selesai. Secepat itu. Hidupku berubah dalam satu tarikan napas.

Aku diminta mencium tangannya. Tanganku terasa seperti balok es saat aku meraih tangannya yang hangat. Aku menunduk, menyentuhkan punggung tangannya ke keningku dalam sepersekian detik. Tidak ada getaran, tidak ada perasaan. Hanya formalitas yang hampa.

Kemudian, semua orang memberikan selamat. Ibu memelukku erat sambil menangis haru. "Sekarang kamu punya tanggung jawab baru, Nak. Jaga nama baik suamimu dan keluargamu."

Kak Binar juga memelukku. "Selamat datang di keluarga kami ... lagi," bisiknya di telingaku, dengan sedikit tawa kecil di akhir kalimatnya. Tawa kemenangan.

Setelah doa penutup dan Pak Ustadz serta paman berpamitan, kami berlima kembali duduk dalam keheningan yang canggung. Kak Binar adalah yang pertama memecahkannya.

"Nah, karena sekarang semuanya sudah resmi, kita harus atur semuanya biar jelas," katanya dengan nada seorang manajer proyek. Ia meraih lengan Mas Danu—suamiku juga—dan menggenggamnya erat. Sebuah penegasan kepemilikan.

"Malam ini dan seterusnya, Mas Danu tetap tidur di kamar kita, ya, Mas," katanya sambil menatap suaminya dengan tatapan manja. "Kamar kita kan lebih besar. Biar Mas tetap nyaman."

Lalu ia menoleh padaku. "Nanti kalau ... dibutuhkan, Mas Danu baru akan ke kamarmu, Arin. Oke? Biar adil dan tidak ada yang cemburu."

Adil? Kata itu terdengar begitu absurd di telingaku. Aku hampir tertawa. Tapi aku hanya mengangguk. Sejujurnya, aku lega. Semakin sedikit aku berinteraksi dengannya, semakin baik. Keputusan Kak Binar ini justru mengukuhkan statusku: aku bukan istri, aku hanyalah fasilitas reproduksi yang akan digunakan sesuai jadwal.

"Ya sudah kalau begitu," kata Ibu, menepuk tangannya sekali. "Mari kita makan siang. Ibu sudah masak spesial hari ini."

Spesial. Mereka merayakan hari kehancuranku dengan makanan spesial.

Malam pertama pernikahanku kuhabiskan sendirian. Aku duduk di depan laptop, mencoba fokus pada desain logo untuk klien, tapi mataku hanya menatap kosong ke layar yang berpendar. Pikiranku melayang.

Di seberang lorong, di kamar utama yang mewah itu, ada suamiku. Tidur di ranjang yang sama dengan istri pertamanya, kakakku. Apa yang sedang mereka lakukan? Apa mereka membicarakanku? Atau mereka sama sekali tidak memikirkanku, larut dalam dunia mereka sendiri seolah tidak ada yang berubah?

Rasa sakit yang aneh menyelinap di hatiku. Ini bukan cemburu. Ini penghinaan. Aku merasa seperti barang yang baru dibeli, tapi langsung disimpan di gudang karena pemiliknya belum membutuhkannya.

Pukul sebelas malam, ada ketukan pelan di pintuku. Jantungku berhenti berdetak sesaat. Untuk apa dia ke sini? Bukankah Kak Binar sudah menetapkan aturannya?

Aku membuka pintu dengan ragu. Mas Danu berdiri di sana, masih mengenakan kemeja yang sama seperti tadi siang, tapi lengannya sudah digulung. Ia tampak lelah dan canggung.

"Boleh aku masuk?" tanyanya pelan.

Aku tidak menjawab, hanya menyingkir dari pintu.

Dia masuk dan menutup pintu di belakangnya. Suara klik dari kunci itu terdengar begitu keras di keheningan kamarku.

"Aku tahu apa yang kamu pikirkan," katanya cepat, seolah membaca pikiranku. "Binar sudah tidur. Aku ... aku ke sini bukan untuk itu."

Aku hanya menatapnya, menunggu.

"Tadi siang ... aku tidak sempat bicara," lanjutnya, menghindari tatapanku. "Aku hanya ingin menepati janjiku. Aku tidak akan memaksamu. Aku akan memberimu waktu."

"Waktu untuk apa?" sahutku dingin. "Waktu untuk menerima bahwa hidup saya sudah hancur?"

Ia meringis. "Waktu untuk ... terbiasa dengan semua ini. Sampai kamu siap, Arini. Aku tidak akan menyentuhmu."

Aku menatapnya lama. Mencari kebohongan di matanya. Tapi yang kutemukan hanyalah kesungguhan dan rasa bersalah yang mendalam.

"Kenapa?" tanyaku akhirnya. "Bukankah tujuan pernikahan ini adalah untuk mendapatkan anak secepatnya? Kak Binar pasti tidak akan senang dengan penundaan ini."

"Ini bukan hanya tentang Binar," jawabnya tegas. "Ini juga tentangmu. Aku mungkin sudah gagal melindungimu dari situasi ini, tapi setidaknya, aku tidak akan menjadi monster yang memaksakan kehendaknya padamu. Itu janjiku."

Setelah mengatakan itu, dia berbalik. "Selamat malam, Arini."

Dia membuka pintu dan pergi, meninggalkanku yang berdiri mematung. Aku bingung. Sikapnya sama sekali tidak sesuai dengan skenario yang sudah kubangun di kepala. Aku sudah mempersiapkan diri untuk dibenci, untuk diperlakukan sebagai objek. Tapi ini, ini sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih rumit.

Hari-hari berikutnya berlalu dalam rutinitas yang aneh dan sunyi. Aku menjadi hantu di rumahku sendiri. Pagi-pagi sekali aku sudah berangkat kerja, dan pulang larut malam saat semua orang mungkin sudah tidur. Aku makan di kamarku. Aku menghindari ruang keluarga. Aku meminimalkan setiap kemungkinan untuk bertemu dengan siapa pun, terutama dengan Mas Danu dan Kak Binar.

Anehnya, tidak ada yang memprotes. Mereka seolah memberiku ruang yang kuminta. Atau mungkin mereka hanya senang karena tidak harus berurusan dengan wajah muramku setiap saat.

Suatu malam, aku terpaksa lembur di kantor karena ada revisi mendadak dari klien besar. Aku baru tiba di rumah lewat tengah malam. Seluruh rumah sudah gelap dan sunyi. Perutku keroncongan karena aku melewatkan makan malam. Kepalaku juga berdenyut sakit.

Aku berjalan pelan menuju dapur, berharap masih ada sisa makanan. Saat aku menyalakan lampu, aku terkejut melihat Mas Danu duduk sendirian di meja makan, hanya ditemani cahaya dari laptopnya. Dia juga sedang bekerja.

Dia sama terkejutnya denganku. "Arini? Kamu baru pulang?"

"Iya, Mas. Ada lembur," jawabku singkat, langsung menuju lemari es. Kosong. Tentu saja. Bibi asisten rumah tangga kami hanya memasak untuk makan malam.

Aku menghela napas kecewa dan hanya mengambil sebotol air dingin. Saat aku hendak kembali ke kamar, ia memanggilku.

"Kamu belum makan, kan?"

Aku tidak menjawab, tapi keheninganku sudah menjadi jawaban.

"Tunggu sebentar," katanya. Ia menutup laptopnya dan beranjak ke dapur. Aku hanya memperhatikannya dengan bingung.

Dia membuka lemari kabinet, mengeluarkan sebungkus mi instan. Lalu dia merebus air, memecahkan sebutir telur, dan mengiris beberapa batang sawi hijau yang ia temukan di kulkas. Semua dilakukannya dengan gerakan yang tenang dan efisien.

Aku hanya berdiri canggung di ambang pintu dapur, tidak tahu harus berbuat apa.

"Duduklah," katanya tanpa menoleh. "Sebentar lagi matang."

Aku menurut, duduk di kursi terjauh darinya. Lima menit kemudian, ia meletakkan semangkuk mi instan panas di hadapanku. Asapnya mengepul, membawa aroma yang menggugah selera. Ada telur setengah matang dan sawi di atasnya. Makanan paling sederhana di dunia.

"Makanlah," katanya. Dia kemudian mengambilkan segelas air hangat dan meletakkan dua tablet obat pereda sakit di samping mangkukku. "Kepalamu kelihatan pusing."

Aku menatap obat itu, lalu menatapnya. Bagaimana dia tahu?

Seolah bisa membaca pertanyaanku, dia berkata, "Kamu selalu memijat pelipismu kalau sedang stres atau pusing. Dari dulu."

Aku tertegun. Dia memperhatikanku. Selama ini, aku selalu merasa tak terlihat di samping Kak Binar yang begitu bersinar. Tapi ternyata, dia melihatku. Dia memperhatikan kebiasaan kecilku.

Aku tidak mengucapkan terima kasih. Mulutku terasa kaku. Aku hanya mulai makan dalam diam. Mi instan itu terasa luar biasa lezat, mungkin karena aku sangat lapar, atau mungkin karena alasan lain.

Dia tidak kembali ke laptopnya. Dia hanya duduk di seberangku, meminum kopinya, menemaniku makan dalam keheningan yang nyaman. Tidak ada pertanyaan tentang pekerjaanku, tidak ada basa-basi canggung. Dia hanya... di sana. Hadir.

Setelah aku selesai, aku membawa mangkukku ke tempat cuci piring. "Biar aku saja," katanya, mengambil alih mangkuk itu dari tanganku.

Saat itulah, tanpa sengaja, ujung jemari kami bersentuhan. Hanya sesaat. Tapi ada sengatan aneh yang menjalar di lenganku. Aku cepat-cepat menarik tanganku seolah tersengat listrik.

"Maaf," gumamnya.

"Tidak apa-apa," jawabku lirih.

Aku bergegas kembali ke kamar, jantungku berdebar tanpa alasan yang jelas. Aku mengunci pintu dan bersandar di baliknya.

Aku membenci pria itu. Aku membenci situasiku. Tapi malam ini... untuk pertama kalinya, aku melihatnya bukan sebagai suami kakakku, atau sebagai suamiku karena terpaksa. Aku melihatnya sebagai Danu. Seorang pria yang membuatkanku mi instan di tengah malam dan tahu kapan kepalaku pusing.

Sebuah benih kecil yang aneh telah ditanam di dalam hatiku yang beku malam itu. Benih yang membingungkan. Aku tidak tahu benih apa itu, tapi rasanya tidak seperti kebencian. Dan entah kenapa, hal itu membuatku jauh lebih takut daripada kebencian itu sendiri.

1
Ma Em
Akhirnya Arini sdh bisa menerima Danu dan sekarang sdh bahagia bersama putra putrinya begitu juga dgn Binar sdh menyadari semua kesalahannya dan sdh berbaikan , semoga tdk ada lagi konflik diantara Arini dan Binar dan selalu rukun 🤲🤲.
Ma Em
Arini keluargamu emang sinting tdk ada yg normal otaknya dari ayahmu ibumu juga kakakmu yg merasa paling benar .
Sri Wahyuni Abuzar
ini maksud nya gimana yaa..sebelumnya arini sudah mengelus perutnya yg makin membuncit ketika danu merakit ayunan kayu..kemudian chatingan sm binar di paris (jaga keponakan aku) ... lhaa tetiba baru mau ngabarin ke ortu nya arini bahwa arini hamil...dan janjian ketemu sama binar di cafe buat kasih tau arini hamil..
kan jadi bingung baca nya..
Sri Wahyuni Abuzar
danu yg nyetir mobil ke rumkit..ayah duduk di kursi samping danu..lalu binar dan ibu nya duduk di kursi belakang..pantas kalau arini bilang dia seperti g keliatan karena duduk di depan..di kursi depan bagian mana lagi yaa bingung aku tuuh 🤔
Noivella: makasih kak. astaga aku baru sadar typo maksudnya kursi paling belakang😭😭
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!