Ada cowok yang pikirannya masih di zaman batu, yang menganggap seks cuma sekedar kompetisi. Semakin banyak cewek yang ditiduri, maka semakin jantan dia.
Terus ada juga yang menganggap ini cuma sebagai salah satu ajang seleksi. Kalau goyangannya enak, maka mereka bakal jadian.
Ada lagi yang melihat ini cuma buat kesenangan, tanpa perlu ada keterikatan. Ya, melakukannya cuma karena suka. Sudah, begitu saja.
Dan ada juga cowok yang menganggap seks itu sesuatu yang sakral. Sesuatu yang cuma bisa mereka lakukan sama orang yang benar-benar mereka sayangi.
Nah, kalau gue sendiri?
Jujur, gue juga nggak mengerti. Gue bahkan nggak tahu apa arti seks buat gue.
Terus, sekarang gue ada di sini sama Carolline?
Gue baru kenal dia, jadi gue nggak ada niatan buat tidur sama dia. Tapi kalau soal bikin dia puas?
Itu cerita lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamar
...Asta...
...✦•┈๑⋅⋯ ⋯⋅๑┈•✦...
Gue duduk di sofa, Selma lagi membersihkan kuku-kuku jari gue yang babak belur. Sementara itu, Dino membuka sebotol bir, minum dalam tegukan panjang, terus keluarkan napas seperti lega banget.
"Uuuf, gila, gue butuh ini banget." Dino nyender di kursi sebelah. "Lo pada mau?"
Selma geleng-geleng, dan gue?
Gue bahkan nggak merespon. Otak gue masih ngeblank, badan gue masih berusaha mengimbangi adrenalin dan amarah yang tadi meledak. Rasanya gue nggak kenal diri sendiri. Kayaknya orang yang tadi mukulin Melvin itu bukan gue.
Seumur hidup, gue selalu percaya kalau damai itu yang utama. Kekerasan nggak pernah jadi solusi, dan gue bahkan nggak pernah sampai berdebat sama seseorang.
Tapi hari ini?
Gue melanggar semua prinsip yang selalu gue pegang. Masih keingat jelas bagaimana dulu gue sering marahin saudara-saudara gue kalau mereka menyelesaikan masalah pake tinju. Gue selalu merasa lebih dewasa, lebih baik dari mereka karena nggak main fisik.
Tapi sekarang?
Nih, lihat saja, tangan gue penuh darah.
"Lo harus kompres pake es, biar nggak makin bengkak."
Selma melirik gue sebelum jalan ke wastafel buat cuci tangan. Udara di ruangan masih berat gara-gara semua drama yang baru saja terjadi sama Melvin.
"Oke, kita butuh gosip dikit buat angkat mood yang suram ini." Dino buang badannya di sofa. "Hari ini gue ngobrol sama Bessie."
Selma langsung memperhatikan dia dengan ekspresi kaget sambil mengeringkan tangan.
"Serius? Wah, ini sih keajaiban."
Gue angkat alis.
"Lo tahu soal ini?" Gue menatap Selma, nunggu penjelasan.
"Ya jelas lah. Mereka tuh pasangan yang terkenal banget di kampus." Selma nyender di meja dapur. "Lo tahu sendiri, kan? Dino itu dikenal semua orang, dan dia tuh selalu pamerin Bessie ke mana-mana. Aneh sih, soalnya dia nggak pernah gitu sama Vey."
Dino cengengesan, kelihatan agak nggak nyaman. "Dulu sih gue bahagia banget, tapi ya… dia masih benci gue setengah mati, dan jujur, gue ngerti kenapa." Terus dia nyengir tiba-tiba. " Wah, gue emang bakat."
Selma melirik sinis, sementara gue cuma bisa geleng-geleng kepala.
"Selain itu…" Selma melanjutkan, "mereka tuh couple goals banget. Semua orang di kampus suka mereka. seperti raja dan ratu gitu lah."
"Gue pengen bilang kalau Selma ini lebay…" Dino senyum lebar, "tapi nggak bisa. Emang benar, kita nge-hype banget. Gimana dong? kalau dua orang cakep bersatu, ya nggak bisa dihindari."
"Tapi tetep aja lo jadi brengsek, kan?" Nada suara gue lebih pedes dari yang gue maksud, tapi Dino malah menyipitkan mata dengan ekspresi jahil.
"Gausah diingatin soal tragedi hidup gue, ya. Oke, ganti topik." Dia nunjuk Selma. "Nih, si Selma, lo udah cerita belum ke Asta soal para cowok obsesif yang ngejar-ngejar lo?"
Selma langsung manyun dan menyipitkan mata kesal.
"Gue yakin banget Phyton udah nge-update lo soal ini, soalnya dia sering banget ngeluh kalau ada cowok-cowok yang menjajah kafe cuma buat lihat gue."
"Wah, populer juga, ya?" goda gue. "Beruntung banget kita bisa dapet waktu lo malam ini."
"Jangan ketipu sama tampangnya yang seperti malaikat itu. Nih anak sebenarnya bahaya. Mata hangat sama senyum manisnya itu jebakan." Dino nyindir sambil melirik ke arah Selma.
"Santai aja, sih. Jadi itu alasan lo nggak bales chat gue, Selma? Sibuk, ya?"
Dan begitu aja, moodnya langsung ambyar.
Hening.
Suasana jadi canggung banget.
Selma kelihatan ragu-ragu, dan gue?
Gue juga nggak tahu kenapa tadi gue mesti ngomong begitu. Sepertinya gue masih kesal. Gue sempat tukeran pandang sama Dino, dan dia langsung ngerti situasinya.
"Gue..." Dia habisin sisa birnya, terus bangkit buat taruh botol kosongnya di meja samping sofa. "Gue ke kamar mandi dulu."
Dia ninggalin kita berdua di dapur. Selma masih nyender di meja dapur dengan tangan menyilang di dada. Dia nggak melihat ke arah gue. Gue masih keingat ciuman itu, sama semua yang terjadi di lorong. Ini mungkin bukan momen yang pas, tapi udah berhari-hari dia nggak bales chat gue.
Gue harus tahu, dia mikirin apa?
Apa gue ngelakuin sesuatu yang salah?
"Selma."
"Iya?" Dia senyum, tapi gue nggak yakin itu senyum yang sebenarnya.
"Maaf soal ini semua. Gue biasanya nggak... seperti ini."
"Kasar?"
Gue tersentak. dengar kata-kata itu bikin gue malu, karena ya... benar juga. Itu semua emang menggambarkan gue malam ini.
"Kayaknya sih... iya."
Selma keluarkan napas panjang terus duduk di sofa, pas di tempat yang tadi diduduki Dino. Dia kelihatan lebih santai sekarang. Sweater merah yang dia pake kelihatan pas banget di dia. Terus, dengan gerakan yang pelan tapi pasti, dia nyelip rambutnya ke belakang kuping. Seolah-olah dia lagi ngumpulin keberanian buat ngomong sesuatu.
"Asta, soal yang terjadi malam itu..."
"Itu kesalahan?" Gue motong omongannya sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya.
Sisi pesimis gue langsung keluar. Gue emang nggak pernah beruntung soal orang yang gue suka. Selma diam saja, dan itu udah cukup jadi jawaban.
Soalnya, kalau itu bukan kesalahan, dia pasti bakal bilang sesuatu, kan?
Tapi dia malah diam dan ngeremas jemarinya di pangkuan.
"Selma, gue nggak mau ngomongin ini sekarang." Gue menatap langsung ke matanya.
Gue udah cukup capek buat malem ini. Gue juga nggak siap dengar penolakan, yang kemungkinan besar bakal keluar dari mulutnya. Dari cara dia tadi diam saja, sepertinya udah jelas ke mana arahnya.
"Lo mau gue pergi?" Suara Selma makin pelan.
Dia berdiri, dan entah kenapa gue juga ikut bangun. Tanpa sadar, gue melangkah maju sampai jarak di antara kita tinggal beberapa sentimeter.
Tatapan kita bertemu, dan gue angkat tangan buat menyentuh pipinya pelan. Gue pengen ngomong sesuatu, tapi gue juga tahu, kalau gue mulai ngobrol, semuanya bisa berubah. Dia bisa pergi, dan gue nggak mau itu terjadi.
Jadi gue ambil risiko. Gue maju sedikit, bibir gue menyentuh bibirnya sekilas, terus gue berhenti. Nunggu reaksinya.
Dia nggak mundur. Malah tangannya naik, merengkuh leher gue, terus dia nyium gue balik. Lembut, tapi penuh rasa. Sama seperti pertama kali kita ciuman.
Pas kita akhirnya lepas, napasnya udah lebih berat.
"Asta, gue..."
"Shhh."
Gue cium dia lagi.
Karena walaupun malam ini berantakan, ini terasa benar. Ciuman ini bisa ngelupain semua hal yang tadi numpuk di kepala gue sejak perkelahian. Kita terus ciuman sampai bibir kita berdenyut dan kita jadi berantakan dengan napas yang putus-putus.
Akhirnya gue tarik diri buat mencari udara, tapi tiba-tiba dia megang wajah gue, matanya dalam banget mengunci tatapan gue.
"Cuma semalem ini aja."
"Apa?"
"Ayo, ke kamar lo?"
Gue kaget mendengar itu, tapi tetap saja gue angguk dan genggam tangan Selma buat nuntun dia ke kamar.
Begitu sampai kamar, Selma langsung nyium gue lagi. Tangannya masuk ke dalam kemeja gue, bikin gue merinding. Tapi di tengah semua ini, ada satu hal yang nyangkut di kepala, "Cuma semalem ini aja."
Maksudnya bagaimana?
Cuma itu yang dia mau?
Satu malam terus selesai?
Kita jalan ke arah tempat tidur. Begitu kita jatuh di atas kasur, gue mendarat di atas Selma. Dia ketawa kecil pas gue ada di atasnya, dan ekspresinya penuh kebahagiaan.
Gue menyangga badan pakai kedua tangan supaya nggak membebani dia, terus gue cuma bisa memperhatikan dia. Terpana.
"Selma."
"Hmm?" Dia menyapu rambut gue yang jatuh di dahi.
"Cuma semalam?"
Senyumnya perlahan memudar.
"Iya... kita… bisa jadi cuma untuk satu malam."
"Lo pikir itu yang gue mau?"
"Nggak sih, gue kira… ya lo bakal setuju. Tanpa ribet, gitu."
Gue langsung geser, duduk di pinggir kasur sambil menatap kosong ke dinding. Selma duduk di sebelah gue, tapi diam aja.
"Gue nggak tidur sama seseorang cuma buat iseng, Selma. Gue bisa flirting, bisa main tangan, tapi kalau udah nyampe ke titik itu, itu berarti sesuatu buat gue. Gue suka lo. Gue pengen banget sama lo. Tapi gue nggak mau ini cuma buat satu malam. Gue tipe orang yang kalau cinta, gue kasih semuanya, dan gue juga pengen semuanya."
Selma melirik ke arah lain, seperti menghindari tatapan gue.
"Gue tahu."
"Jadi kenapa…?" Akhirnya gue nanya sesuatu yang udah gue pendam selama berhari-hari. "Kenapa lo nggak bales chat gue? Kenapa lo ngehindarin gue? Apa karena lo cuma mau sesuatu yang gampang, yang nggak ribet?"
Selma buka mulutnya seperti mau ngomong, tapi terus dia malah buang tatapan ke samping, diam selama beberapa detik. Jadi gue ngomong lagi, "Selma, lo bisa jujur sama gue. Gue nggak bakal hancur cuma karena lo ngomong terus terang soal apa yang lo mau."
Bohong.
Gue suka banget sama dia.
Mungkin gue bakal hancur kalau dia bilang dia nggak mau apa-apa sama gue. Tapi itu bukan berarti gue udah kebawa perasaan sampai nggak bisa melihat yang jelas-jelas ada di depan mata.
Kita ngalamin momen yang dalem banget waktu itu. Chemistry-nya nyata, semuanya penuh keinginan. Dan setelah semua itu, yang gue dapet malah dia menghindari gue?
"Itu masalahnya, Asta."
Gue kerutkan alis, bingung.
"Gue… nggak jujur sama lo. Gue nggak mau terus-terusan ketemu lo dan biarin semua ini berkembang."
Ada yang benar-benar salah. Dari cara dia meremas tangannya di pangkuan, dari bibirnya yang dia gigit seperti nahan sesuatu, dari ketegangannya yang makin jelas, gue bisa tahu.
Apa pun yang bakal dia bilang, pasti bakal nyakitin.
Dan gue nggak bakal suka.
Jadi gue tarik napas dalam-dalam, siap buat mendengarkannya.
cobalah utk hidup normal phyton
𝚜𝚊𝚕𝚞𝚝 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊,𝚠𝚊𝚕𝚊𝚞𝚙𝚞𝚗 𝚖𝚊𝚕𝚟𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚙𝚒 𝚍𝚒𝚊 𝚝𝚍𝚔 𝚋𝚎𝚕𝚊𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊,𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚖𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚗𝚐𝚎𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐 𝚙𝚑𝚢𝚝𝚘𝚗