Hati siapa yang tidak hancur saat mengetahui kalau calon suami sahabatnya adalah kekasih yang selalu bicara cinta padanya, apalagi pernikahan mereka karena Dina hamil.
Milea memilih pergi karena Arkan memilih diam, tidak memberikan penjelasan apa-apa.
5 tahun kemudian takdir mempertemukan mereka kembali bahkan Dina yang ternyata sudah tiada meninggalkan wasiat untuk mereka berdua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Emilia Susanto
Gadis kecil itu tampak sumringah memegang seikat bunga dan sesekali menciuminya. Hari ini keputusan pengadilan telah menetapkan Emilia sebagai anak sah Henri dan Arumi.
Sekarang ketiganya mendatangi makam Dina untuk menyampaikan kabar baik ini sekaligus nyekar di makam ibu kandung Emlia itu.
Gadis kecil itu terus tersenyum saat meletakkan ikatan bunga di makam Dina.
“Mama, Mili datang bersama Mommy dan Daddy. Tadi Om Bagus bilang mulai hari ini Mili akan jadi anak Mommy dan Daddy beneran dan akan tinggal sama Mommy dan Daddy. Mili senang karena teman-teman nggak akan meledek Mili lagi karena nggak punya papa dan mama.”
“Dina, meski tidak mudah akhirnya aku memutuskan untuk membiarkan Mas Henri mengakui Emilia sebagai anak kandungnya dan akan membesarkannya sebagai anak kami. Beristirahatlah dengan tenang dan semoga Arkan serta Milea bisa memaafkanmu juga.”
Henri tersenyum tipis di samping Arumi. Ia tidak mau menyalahkan ucapan istrinya yang berkesan tidak rela dan sedikit terpaksa.
“Terima kasih atas maafmu, Sayang,” bisik Henri di telinga Arumi lalu mencium pipi istrinya sambil merangkul bahunya.
Ketiganya berdoa di depan makam Dina sebelum bergandengan menuju parkiran mobil. Emilia yang bergerak lincah sebagai ungkapan rasa bahagianya berdiri di tengah dan menggandeng tangan Arumi dan Henri.
“Mommy, kenapa namaku harus diganti juga menjadi Emilia Susanto ?”
“Karena kamu sekarang anak Mommy dan Daddy. Aturannya setiap anak memiliki nama keluarga Daddy-nya,” sahut Arumi dengan senyuman tipis.
“Keren banget, Dad. Mili suka banget,” gadis kecil itu mendongak ke arah Henri, melepaskan jemarinya dari genggaman Henri lalu mengacungkan jempolnya.
“Aku akan bilang pada teman-temanku kalau aku bukan anak haram lagi.” Wajah Emilia tampak berbinar.
“Siapa yang mengejekmu begitu ?” tanya Arumi sambil mengerutkan dahi.
“Lisa, Mom. Dia memang sombong dan suka mengejek teman-teman,” sahut Emilia dengan bibir mengerucut.
Arumi sempat bertatapan dengan Henri sambil menghela nafas.
“Memangnya anak haram itu apa sih, Mom ?”
“Memangnya Lisa tidak memberitahumu apa artinya ?” tanya Henri. Emilia menggelengkan kepalanya.
“Tidak usah didengar karena kamu punya Mama Dina, Papa Arkan lalu sekarang Mommy dan Daddy,” ujar Arumi dengan wajah kesal.
Dalam hati Arumi mengumpat. Bisa- bisanya bocah 5 tahun yang belum lancar berhitung dan membaca mengejek temannya dengan kata yang belum tentu mereka mengerti artinya.
“Jadi mulai hari Senin Mommy dan Daddy akan mengantarku ke sekolah ?”
Arumi mengangguk sambil tersenyum begitu juga dengan Henri saat Emilia gantian menatapnya.
“Apa Mommy dan Daddy mau mengantarku sampai ke kelas supaya aku bisa pamer pada teman-teman dan Miss Ina, wali kelasku ?”
Henri menatap Arumi karena belum berani mengambil keputusan, takut menyinggung perasaan Arumi yang masih sensitif. Saat ini bagi Henri yang penting adalah Arumi, apapun keputusan istrinya, Henri tidak akan menolaknya.
“Tentu saja sekalian Mommy mau bertemu dengan Lisa dan menitip pesan pada Miss Ina supaya tidak ada lagi yang bicara sembarangan.”l
Emilia langsung bersorak dan memeluk Arumi dengan batas kepalanya baru sampai sepinggang Arumi. Ada rasa haru menyeruak dalam hati Arumi saat melihat kebahagiaan Emilia hanya karena bisa punya orangtua padahal kedua opa dan omanya selalu melimpahkan cinta untuknya.
Meski di sudut hatinya Arumi belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan kalau Emilia adalah anak kandung Henri, tapi membiarkan bocah itu tersakiti karena sikap keras Arkan, hati keibuan Arumi memilih merawat dan membesarkannya.
*****
“Jadi hari ini pengadilan sudah memutuskan menerima permohonan Kak Arumi dan Kak Henri ?” tanya Milea saat Arkan menjemputnya di kantor.
“Yups !” Arkan mengangguk dengan senyuman lebar.
“Kamu pasti bahagia karena akhirnya bisa melepas tanggungjawab pada Kak Arumi ?” cibir Milea.
“Hei, siapa yang melepas tanggungjawab ? 5 tahun yang lalu aku berniat baik menyelamatkan pernikahan mereka,” protes Arkan dengan wajah kesal.
Milea kembali mencibir dan tertawa. Ia pun masuk ke dalam mobil dan Arkan langsung menuju pintu kemudi.
Milea sengaja mendiamkan Arkan yang masih memasang wajah cemberut. Ia mengambil handphone dan memeriksa akun media sosialnya.
Dalam hati, Milea sempat bertanya-tanya karena saat ini Arkan tidak bertanya mau makan apa atau dimana pada Milea. Ia melirik Arkan yang fokus menatap ke depan tanpa bicara apa-apa.
“Jangan ngambek dong, Sayang,” Milea menyentuh lengan Arkan yang memegang kemudi, namun pria itu tampak acuh dan memasang wajah dingin.
“Beneran nih nggak mau dipanggil sayang ?”
Arkan diam saja dan memasang wajah datar sambil tetap melajukan mobilnya hingga masuk ke area parkiran satu restorannyanh cukup ternama.
“Kok tumben makan di sini ? Ada perayaan apakah ?”
“Memangnya harus ada alasan khusus untuk mengajak pacar ke restoran bagus ?” tanya Arkan sambil melirik Milea.
“Tentu saja harus spesial karena tempat ini cukup mahal. Kalau terlalu sering maka tidak akan jadi spesial lagi,” gerutu Milea.
Arkan hanya tersenyum mengejek lalu turun dari mobil dengan sikap acuh membuat Milea menghela nafas lalu menggerutu sambil turun dari mobil.
”Arkan, aku nggak mau masuk kalau kamu masih ngambek,” ujar Milea bergegas menyusul Arkan dan menggandeng lengan pria itu.
“Coba kalau bisa !” Arkan melepaskan tangan Milea dan menggenggamnya lalu menariknya masuk.
Mata Milea membola karena terkejut. Tidak ingin mempermalukan dirinya dan Arkan, Milea hanya menurut dan alisnya menaut saat Arkan membawanya masuk ke dalam satu ruangan VIP.
”Jangan bilang kamu mau ajak aku menemui klien ?” tanya Milea sambil menahan tangan Arkan.
“Kenapa mendadak jadi bawel dan tukang protes ?” tanya Arkan dengan dahi berkerut.
Milea menghela nafas dan sebelum berbicara, Arkan sudah membuka pintu ruangan.
“Uncle ! Auntie !”
Pekikkan Emilia membuat mata Milea kembali membola, apalagi di dalam ruangan itu tidak hanya ada Henri dan Arumi tapi kedua orangtua Arkan dan Dina.
Emilia turun dari bangkunya dan berlari ke arah Milea, memeluknya, lalu gadis kecil itu melirik ke arah Arkan, menganggukan kepala sambil tersenyum kaku.
Arkan hanya melirik tanpa membalas senyuman Emilia bahkan wajahnya terlihat datar. Milea langsung menyenggol bahu Arkan dan melotot saat pria itu menoleh.
Arumi dan Mami Mira langsung tersenyum saat melihat Milea memberi isyarat namun diabaikan oleh Arkan dengan wajah juteknya.
Emilia menarik Milea untuk duduk di sampingnya dekat dengan Mami Mira. Tidak lupa Milea menyapa kedua orangtua Arkan dan Dina.
Sepanjang acara makan malam, Arkan lebih banyak diam dan jarang tersenyum. Ia hanya menjawab seperlunya dan lebih banyak membicarakan masalah pekerjaan dengan Henri.
Emilia dengan wajah sumringah tidak berhenti berceloteh, menceritakan tentang namanya yang sudah berubah menjadi Emilia Susanto dan kebahagiaannya karena memiliki sepasang orangtua yang lengkap.
“Semoga Mili segera dikasih adik,” ujarnya disela celotehnya pada Milea.
“Rajin-rajin berdoa supaya mommy dan daddy bisa segera memberi Mili adik,” sahut Milea sambil tersenyum.
Henri menggenggam jemari istrinya sambil menatap wanita yang dicintainya itu dengan senyuman penuh kasih. Arumi pun balas tersenyum.
Sesekali Mami dan Tante Heni ikut menanggapi bahkan beberapa kali Mami minta Milea untuk datang ke rumah atau ikut pergi dengannya dan Arumi.
Sekitar jam 21.30 acara makan malam untuk merayakan Emilia yang sudah resmi menjadi anak Henri dan Arumi berakhir.
“Terima kasih karena kamu sudah mau kembali lagi dengan Arkan,” ujar Tante Heni sambil memegang kedua bahu Milea saat mereka sudah berdiri di luar restoran.
“Sama-sama Tante. Terima kasih juga atas restunya.”
Tante Heni langsung memeluk Milea dengan wajah penuh haru.
“Kamu adalah sahabat terbaik yang pernah Dina miliki. Saat kamu menolak menemui Dina, Tante sempat bilang kalau kamu tidak pantas lagi disebut sahabat dan rasanya malu kalau mengingat hal itu saat tahu bagaimana Dina sudah menyakitimu dan Arkan selama ini. Maafkan Tante dan juga Dina,
semoga dia tenang dan bahagia karena Arkan bisa mendapatkan cintanya.”
Milea hanya tersenyum dan mengangguk lalu mengantar Tante Heni dan Mami Mira yang pulang bersama.
Di belakangnya, Henri pun sudah menunggu Arumi dan Emilia yang akan pulang ke apartemen. Ketiganya pamitan pada Arkan dan Milea yang masih berdiri di depan pintu masuk.
Setelah keluarganya pulang, Arkan pun berjalan ke arah parkiran tanpa menggandeng Milea. Gadis itu langsung menghela nafas dan bergegas menyusul Arkan.
“Sayang, kok ngambeknya jadi lanjut ke part 2 ?” Milea bergelayut manja saat berhasil menyusul pria itu.
Arkan diam saja namun tidak menolak saat Milea masih bergelayut manja di lengannya.
“Kalau masih nggak mau ngomong, aku pulang naik taksi aja !” Milea menarik nafas dan melepaskan tangannya dengan sedikit menghentak.
“Awas aja kalau berani !”
Dengan sigap Arkan menarik tangan Milea dan begitu sampai di samping mobil, dikukungnya tubuh gadis itu yang bersandar pada mobil.
“Restu dari Mami dan Papi sudah di tangan, masalah Emilia juga sudah diselesaikan, jadi tidak ada alasan lagi untuk menunda pernikahan kita !” tegas Arkan tanpa senyuman.
”Kita baru mulai pacaran, kenapa buru-buru menikah ?”
“Kenapa sekarang kamu jadi begitu bawel dan suka protes ?” Arkan menyipitkan matanya dan dahinya berkerut.
“Kamu sendiri sudah berubah jadi pria pemaksa !” sahut Milea dengan nada ketus.
Arkan masih mengukung Milea dan menatapnya dengan wajah tegas dan rahang mengeras, namun itu semua tidak membuat Milea gentar. Gadis itu malah mengerjap dan membalas tatapan Arkan dengan puppy eyesnya.
“Nggak mempan,” tegas Arkan.
Milea mengerucutkan bibirnya, menatap Arkan dengan sebal.
“Kalau yang ini nggak mempan juga lebih baik kita nggak usah lanjut.”
Milea menarik kemeja Arkan dan langsung mengecup bibir pria itu. Perlahan bibir Arkan mulai menunjukkan senyuman tipisnya.
“Berani minta putus aku buat kamu hamil biar terikat padaku seumur hidup,” bisik Arkan lalu meniup telinga Milea.
Milea mengusap-usap telinganya yang geli karena tiupan Arkan namun pria itu malah tertawa dan berjalan menuju pintu kursi pengemudi, membiarkan Milea menggerutu kesal dan masuk ke dalam mobil lalu menutup pintu dengan suara keras.