NovelToon NovelToon
Malam Saat Ayahku Mati

Malam Saat Ayahku Mati

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Aulia risti

Di dunia tempat kepercayaan bisa menjadi kutukan, Izara terjebak dalam permainan kelam yang tak pernah ia pilih. Gadis biasa yang tak tahu-menahu tentang urusan gelap ayahnya, mendadak menjadi buruan pria paling berbahaya di dunia bawah tanah—Kael.
Kael bukan sekadar mafia. Ia adalah badai dalam wujud manusia, dingin, bengis, dan nyaris tak punya nurani.

Bagi dunia, dia adalah penguasa bayangan. Namun di balik mata tajamnya, tersembunyi luka yang tak pernah sembuh—dan Izara, tanpa sadar, menyentuh bagian itu.

Ia menculiknya. Menyiksanya. Menggenggam tubuh lemah Izara dalam genggaman kekuasaan dan kemarahan. Tapi setiap jerit dan tatapan melawan dari gadis itu, justru memecah sisi dirinya yang sudah lama terkubur. Izara ingin membenci. Kael ingin menghancurkan. Tapi takdir punya caranya sendiri.

Pertanyaannya bukan lagi siapa yang akan menang.
Melainkan... siapa yang akan bertahan.
Karena terkadang, musuh terbesarmu bukan orang di hadapanmu—melainkan perasaanmu sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia risti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Langkah takdir

Di sisi lain, Kael kembali ke rumahnya. Rumah besar itu tampak kosong dan sunyi, seolah tak ada kehidupan di dalamnya. Sejak Mama meninggal, Kael hidup dalam tekanan yang tak pernah usai. Ia masih ingat jelas bagaimana ayahnya mendidiknya dengan keras—tanpa ruang untuk keluhan, tanpa jeda untuk bernapas.

Meski akhirnya sang ayah menikah lagi dan Kael memiliki seorang kakak tiri, Kai, nyatanya itu tidak pernah benar-benar menghapus rasa sepinya. Ia tetap sendiri.

Terlebih setelah kepergian ayahnya, Kael terpaksa meneruskan bisnis gelap yang ditinggalkan. Hidupnya semakin rumit—hingga ia bertemu Karina. Perempuan pertama yang membuatnya percaya pada cinta. Namun cinta itu... justru menjadi luka paling dalam yang belum pernah sembuh hingga hari ini.

"Tuan, ingin saya buatkan kopi?" suara lembut Bibik Marsha memecah keheningan, menyadarkannya dari lamunan.

"Tidak usah, Bik," jawab Kael pelan.

Bibik Marsha hanya mengangguk, lalu kembali ke dapur tanpa banyak bicara.

Kael menghela napas panjang, lalu memejamkan mata, membiarkan tubuhnya terlelap di tengah rumah yang terasa semakin dingin dan kosong.

Di tempat berbeda, Izara duduk di tepi ranjang. Pikirannya kacau. Perkataan Kael masih bergema di kepalanya, membuat dadanya terasa sesak dan berat.

"Aku harus bisa menyembunyikan kehamilan ini... Biarkan semuanya berjalan, dan aku akan mengurus anak ini sendiri," gumamnya lirih. Suaranya nyaris tenggelam dalam sunyi kamar, dipenuhi oleh tekad yang berselimut ketakutan.

Keesokan harinya.

Cahaya matahari pagi menerobos masuk melalui celah tirai jendela. Kael membuka mata perlahan. Sekelilingnya masih sama—sepi, kosong, dan dingin.

Ia meraih ponsel di meja samping tempat tidur dan membuka pesan dari Martez.

Nona Izara sedang berada di taman. Saya sempat mendengar dia ingin sekali punya toko bunga.

Kael mendecak pelan. “Toko bunga…?”

Ia terdiam sejenak, lalu mengetik balasan singkat sebelum bangkit dari tempat tidur. Sebelum mandi, ia meminta Bibik Marsha menyiapkan makanan seperti yang telah direncanakan.

Kurang lebih dua puluh menit kemudian, Kael sudah bersiap dalam balutan pakaian olahraga santai. Meski tampak kasual, penampilannya tetap rapi dan berwibawa.

"Makanan yang aku minta sudah disiapkan, Bik?" tanyanya.

"Sudah, Tuan. Sudah saya simpan di dalam mobil," jawab Bibik Marsha lembut.

Kael mengangguk. “Terima kasih, Bik.”

Tanpa banyak bicara, ia segera berangkat menuju taman yang disebutkan Martez. Perjalanan hanya memakan waktu lima belas menit. Sesampainya di sana, ia turun dan menyusuri area taman dengan pandangan awas.

Dan akhirnya, dia melihatnya.

Izara sedang berjalan pelan di antara bunga-bunga yang mekar.

Kael mempercepat langkahnya. “Hai,” sapanya ringan, tapi napasnya menahan sesuatu yang lebih dari sekadar sapaan.

Izara terkejut. Tubuhnya nyaris kehilangan keseimbangan jika Kael tidak sigap menangkapnya.

“Kau baik-baik saja?” tanyanya cepat.

Izara segera menjauhkan diri, mengatur napas yang memburu.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya, gugup sekaligus curiga.

Kael tersenyum samar. “Tentu saja olahraga. Kenapa? Ada masalah?”

Izara menahan diri agar tidak menunjukkan kekesalan. “Tidak. Kalau begitu, silakan berolahraga. Saya pergi dulu.”

Namun langkahnya baru beberapa meter, suara Kael menahannya lagi.

"Bibik Marsha membawakan makanan untukmu," ucapnya, tenang. “Setidaknya... cicipi dulu masakannya.”

Izara berhenti. Ia menoleh, menatap Kael dengan tatapan penuh siaga. Ia tahu ini hanya cara halus pria itu untuk membuatnya bertahan lebih lama. Tapi Izara terlalu menghargai kebaikan orang lain—terutama Bibik Marsha.

Dengan enggan, dia pun mengikuti Kael.

Mereka duduk di sebuah kafe kecil tak jauh dari taman. Hening membentang di antara mereka. Hanya denting gelas dan suara samar kendaraan lalu lalang yang terdengar.

Kael tak henti menatap Izara. Pandangannya dalam, seolah mencari sesuatu di balik gadis itu.

Merasa tak nyaman, Izara akhirnya menoleh dan bertanya, "Apa?"

Lalu, dengan nada yang lebih tajam, ia menambahkan,

"Apa kau ingin menyakitiku lagi?"

Kael terdiam sesaat, lalu menjawab dengan suara pelan, nyaris seperti penyesalan yang ditahan.

"Aku tak pernah ingin menyakitimu, Izara. Tapi aku tahu… aku sudah melakukannya."

Tatapan mereka bersirobok. Waktu seakan berhenti sejenak. Ada sesuatu yang tidak mereka ucapkan, tapi hadir di antara napas yang tertahan.

Namun Izara segera memalingkan wajah, menolak tenggelam lebih dalam dalam emosi yang mengguncang.

Kael menghela napas, matanya masih mengikuti setiap gerak Izara.

Dan dari seberang jalan…

Sosok seseorang berdiri diam di balik pohon besar. Jaket hitam panjang membungkus tubuhnya, tudung besar menutupi sebagian wajahnya.

Tatapannya tajam. Penuh perhitungan.

Tangan kirinya perlahan merogoh ke dalam saku jaket. Ia mengeluarkan ponsel, lalu mengangkatnya pelan…

Klik.

Satu foto.

Klik.

Lagi.

Tanpa sepatah kata pun, ia menyimpan kembali ponselnya. Lalu membalikkan badan, melangkah pergi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!