Quin didaftarkan ke acara idol oleh musuh bebuyutannya Dima.
Alhasil diam-diam Quin mendaftarkan Dima ikutan acara mendaftarkan puisi Dima ke sayembara menulis puisi, untuk menolong keluarga Dima dari kesulitan keuangan. Sementara Dima, diam-diam mendaftarkan Quin ke sebuah pencarian bakat menyanyi.
Lantas apakah keduanya berhasil saling membantu satu sama lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon imafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34
Entah kenapa, Quin selalu merasa berada di bawah tekanan setiap kali duduk di dalam mobil berdua dengan papanya. Mobil itu selalu terasa terlalu sunyi, terlalu sempit, seperti ruangan tertutup yang memaksa siapa pun di dalamnya untuk mendengarkan. Bahkan suara AC yang berembus pelan dari ventilasi dashboard terdengar seperti dengungan yang menuntut jawaban. Tidak ada radio yang menyala, tidak ada percakapan basa-basi. Hanya ada jalanan yang terus bergerak di luar jendela, dan papanya yang duduk tegap memegang setir, seolah mobil ini adalah ruang interogasi dengan mesin yang melaju.
Papanya Quin tidak seperti mamanya yang sering memberikan nasihat kapan pun dan di mana pun—di dapur sambil memasak, di kamar, atau bahkan saat mereka menonton TV bareng. Papanya Quin selalu memilih waktu berbicara ketika mereka berdua berada di dalam mobil. Mungkin karena saat mobil berjalan, Quin tidak punya peluang untuk menghindari apa pun yang akan dikatakan papanya. Tidak ada alasan untuk kabur, tidak ada kamar mandi untuk bersembunyi, tidak ada kegiatan mendadak yang bisa dijadikan tameng.
“Selesaikan apa yang kamu mulai,” kata papanya dengan tenang namun bertekanan, menembus keheningan yang sejak tadi menggantung di udara. Kata-kata itu jelas merujuk pada cerita mama tentang Quin yang tidak mau melanjutkan YAMI.
Di kepalanya, Quin ingin sekali menjelaskan bahwa semua ini karena Dima. Bahwa dia tidak memulai apa pun. Bahwa Dimalah yang memaksanya ikut acara YAMI, yang menyeretnya ke dunia yang sebenarnya tidak pernah dia inginkan. Tapi suara itu hanya berputar di dalam kepalanya, tidak pernah keluar menjadi kalimat.
Mobil akhirnya berhenti di pelataran studio Image Fiction TV. Lampu-lampu neon di bagian depan gedung memantulkan cahaya ke kap mobil, membuat mobil terlihat lebih dingin dan asing dari biasanya. Papanya mematikan mesin mobil, lalu menoleh ke Quin. Tatapan yang penuh keinginan baik, namun berat bagi Quin untuk ditanggung.
“Kamu masih tidak mau melanjutkan YAMI?” tanya papanya, suaranya datar tapi mengandung sesuatu yang Quin tidak ingin mengecewakan.
Quin terdiam. Dia tahu benar penalti yang harus dibayarkan kalau ada peserta keluar tanpa alasan genting. Tidak hanya uang, tapi juga citra buruk, komentar-komentar pedas di internet, mungkin juga kemarahan para kru. Semuanya menumpuk seperti batu di atas dadanya.
“Ayo. Turun dan selesaikan. Papa tidak akan kecewa kalau kamu kalah, atau minggu ini gagal,” katanya lagi. “Tapi papa akan kecewa kalau kamu mundur sebelum berperang.”
Bayangan kata *berperang* membuat Quin ingin tertawa miris. Ini bukan peperangan. Ini adalah jebakan. Jebakan yang disiapkan oleh Dima—atau mungkin oleh dirinya sendiri yang terlalu mudah terbawa arus.
“Iya. Quin coba dulu,” katanya, suaranya kecil. Ia lalu salim, merasakan tangan papanya yang hangat namun membuat dadanya semakin sesak, dan turun dari mobil.
—
Di dalam studio, suhu AC begitu dingin seperti ingin memaksa peserta tetap sadar dan waspada. Lampu-lampu studio terang sekali, menyilaukan, seolah menuntut setiap orang untuk tampil sempurna. Quin berjalan melewati lorong menuju ruang latihan, kakinya terasa ringan tapi tubuhnya terasa berat—campuran gugup dan enggan yang menyesakkan.
Hari ini dia tidak lagi latihan dengan Arka. Arka kembali berlatih dengan Yura, seperti minggu-minggu awal. Sedangkan Quin mendapat partner baru: Jihan. Jihan yang cantik, berkerudung rapi, selalu tersenyum sopan kepada siapa pun. Ramah, santun, dan suaranya? Lembut tapi kuat, seperti kain sutra yang digenggam.
Jihan selalu mendapat voting tertinggi. Tidak sedikit peserta yang diam-diam iri padanya, tapi tidak ada yang berani membencinya karena... sulit membenci Jihan. Dia terlalu baik.
Ada gosip kalau Sal Priadi, mentor mereka, hendak membuat label rekaman baru dan sudah menandai Jihan sebagai bintang masa depan. Gosip itu membesar seperti bola salju, dan meski belum terbukti, itu sudah cukup membuat Quin hilang rasa percaya diri.
Ketika sesi latihan Quin tiba, Sal menatapnya dengan alis sedikit terangkat. “Kamu dari kemarin pilihan lagunya lagu lama terus. Kenapa?”
“Hmm…” Quin ragu menjawab. Dia tidak mungkin bilang semuanya adalah karena Dima—mulai dari pendaftaran sampai pemilihan lagu.
“Karena orang tua kamu suka muter lagu lama?” tebak Sal.
Quin mengangguk. Jawaban itu tidak sepenuhnya bohong. Neneknya memang suka memutar lagu lama, terutama saat mereka naik angkot bersama dulu.
“Oke.” Sal tersenyum tipis. “Kalau begitu, minggu ini mau nyanyi lagu apa?”
“Belum kepikiran, Kak.”
“Loh?” Sal terlihat terkejut tapi tetap berusaha tenang. Waktu latihan sempit. Besok live. Tidak ada ruang untuk drama emosional peserta.
“Coba lihat apa yang ada di buku katalog,” kata Sal sambil membukakan halaman lagu-lagu awal tahun 2000-an.
Buku katalog itu terasa berat di tangan Quin. Ia membalik halamannya perlahan, membaca judul-judul yang berusaha mengingatkan dia pada masa kecil—lagu-lagu yang pernah ia dengar tapi tidak benar-benar ia cintai. Ia mencari lagu yang mungkin dia sukai, atau mungkin... Dima akan pilihkan.
Namun Quin menggeleng. Tidak. Dia tidak mau memilih apa pun yang mungkin Dima pilih.
Di tempat lain, di kamarnya yang penuh buku-buku dan poster penyair, Dima sedang mendengarkan Kahitna sambil membaca *Laut Bercerita*—untuk ketiga kalinya. Dima tenggelam dalam ceritanya, tapi bagian hatinya mengikuti Quin. Dan itu menyiksanya.
—
Malam ketika live, panggung YAMI terlihat megah seperti biasa. Lampu sorot menari di udara, kamera bergerak mengelilingi peserta, dan penonton berteriak seolah mendorong peserta agar bisa terbang. Quin berdiri di panggung dengan tangan bergetar, jantung berdegup tak beraturan.
Ia menyanyikan *Andai Dia Tahu*—lagu Kahitna yang lembut dan penuh perasaan—dengan aransemen baru yang lebih pelan. Aransemen itu seharusnya membuat lagu lebih emosional, tetapi untuk Quin, justru membuat lagunya terasa kosong. Hatinya tidak berada di lagu itu. Pikirannya tidak berada di panggung itu.
Ia kehilangan tempo. Pitchnya meleset. Beberapa nada turun terlalu jauh, beberapa naik terlalu cepat. Ia bisa merasakan wajah para juri menegang, meski mereka berusaha tetap tersenyum profesional. Ia bisa merasakan riuh penonton yang berubah dari sorakan menjadi bisikan.
Begitu turun panggung, Quin tidak tahan lagi. Ia berlari masuk ke kamar mandi backstage, menutup pintu kubikel, dan menangis. Tangisannya bukan pelan—tapi tersengal, pecah, memenuhi ruangan sempit yang berbau sabun pencuci tangan.
Mamanya, yang sejak awal menunggu di luar kubikel, mengetuk pintu pelan. “Quin… Nak… buka pintunya.”
Quin keluar dengan mata sembab. Mamanya langsung memeluknya. “Aku nggak mau lanjut lagi,” kata Quin dengan suara pecah.
Mamanya membelai punggungnya. “Tenang. Apa pun yang terjadi, berarti itu memang yang seharusnya terjadi.”
—
Di rumah Dima, suasana jauh berbeda. Ibu dan kakaknya—Lala—sibuk menyiapkan baju terbaik untuk Dima pakai besok, untuk acara pemberian hadiah lomba puisi. Mereka mengobrol dengan riang, mencocokkan kemeja dengan celana, menertawakan gaya rambut yang mungkin cocok untuk acara formal.
Tapi Dima hanya duduk di pinggir kasurnya, memandangi layar ponsel.
Ia menonton penampilan Quin.
Senyumnya hilang. Wajahnya mengeras.
Ia membuka media sosial. Komentar-komentar bermunculan.
*“Kalau besok dia masuk 4 besar, fix dia pilihan produser.”*
*“Aneh banget, YAMI dari dulu nggak pernah settingan.”*
*“Kayanya sekarang ditambahin drama biar rating naik.”*
Dima merasa mual. Merasa bersalah. Merasa kalau semua ini adalah ulahnya.
Ia membuka chat WhatsApp, mengetik:
*Quin… kamu hebat kok. Kita bisa—*
Lalu ia hapus.
Ia mengetik lagi:
*Maaf. Aku—*
Ia hapus lagi.
Pada akhirnya, ia hanya menatap kolom chat kosong. Kata-kata terasa tidak cukup. Tidak ada kalimat yang tepat. Tidak ada kalimat yang pantas.
Dan malam itu berakhir dengan dua orang yang saling memikirkan satu sama lain, tetapi tidak satu pun berani bicara.
queen Bima
mantep sih