Zara adalah gambaran istri idaman. Ia menghadapi keseharian dengan sikap tenang, mengurus rumah, dan menunggu kepulangan suaminya, Erick, yang dikenal sibuk dan sangat jarang berada di rumah.
Orang-orang di sekitar Zara kasihan dan menghujat Erick sebagai suami buruk yang tidak berperasaan karena perlakuannya terhadap Zara. Mereka heran mengapa Zara tidak pernah marah atau menuntut perhatian, seakan-akan ia menikmati ketidakpedulian suaminya.
Bahkan, Zara hanya tersenyum menanggapi gosip jika suaminya selingkuh. Ia tetap baik, tenang, dan tidak terusik. Karena dibalik itu, sesungguhnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Petuah Hartono Ke Emily
Hantaman kekecewaan datang dari berbagai arah menghantam Emily tanpa ampun. Rasanya seperti badai yang menerjang tanpa henti, membuat dirinya runtuh berkeping-keping. Akhirnya Emily butuh sandaran yang paling kuat, maka ia pun pergi ke rumah orangtua. Dikala kita saat terpuruk, rumah orangtua lah yang kita tuju pertama kali.
Di tengah malam yang larut, Emily tiba. Wajahnya sembap, dan matanya masih memerah. Begitu melihat pintu terbuka dan menemukan wajah sang Ibu, bendungan air mata Emily jebol. Ia meraung, menangis sejadi-jadinya, melepaskan semua kekecewaan dan rasa sakit atas pengkhianatan dan penghinaan yang dilakukan Darren.
Sang Ibu menyambut Emily dengan dekapan erat, mengusap punggung putrinya dengan penuh kasih sayang. Ia mendengarkan dengan hati yang hancur, membiarkan Emily menumpahkan semua perihal perbuatan keji Darren.
"Mama tidak menyangka, Darren yang selama ini terlihat begitu baik di mata Mama, yang begitu sempurna, tega menyakiti dan mempermalukan kamu seperti ini," ujar sang ibu.
Sang Ibu memberikan dukungan penuh, mengutuk perbuatan Darren, dan memeluk Emily ingin memindahkan separuh rasa sakit putrinya ke pundaknya sendiri. Bagi Sang Ibu, Emily adalah korban, dan sudah sepatutnya ia mendapatkan belas kasih dan pembelaan.
Namun suasana berubah ketika Hartono, Sang Ayah, angkat bicara.
Alih-alih mendapatkan dukungan yang sama hangatnya, Emily malah diceramahi panjang lebar.
"Dengar, Nak. Orang tua ini bicara, dengarkan baik-baik. Sejak awal Papa sudah bilang, jauhi Darren. Dia tidak baik. Kamu terlalu dibutakan oleh perasaanmu sendiri," ucap Hartono. Seketika raungan tangis Emily mereda, berganti dengan rasa merana yang baru. Ia merasa seolah-olah Ayahnya tidak berada di pihaknya. Di saat ia hancur, mengapa ia malah disalahkan?
Hartono memang sengaja tidak memberikan celah sedikit pun bagi Emily untuk merasa selalu dibela dan dijadikan korban. Ia tahu, pembelaan terus-menerus hanya akan membuat putrinya semena-mena dalam mengambil keputusan dan tidak pernah mau bercermin pada kesalahannya sendiri. Emily perlu belajar.
Meskipun begitu, sebagai seorang ayah, pikiran Hartono tidak pernah lepas dari anaknya semata wayang. Diam-diam tanpa sepengetahuan Emily, Hartono telah bergerak. Ia telah mulai menyusun langkah perlindungan, berjaga-jaga dari segala kemungkinan buruk yang mungkin terjadi setelah insiden pertunangan Darren yang memalukan itu tersebar luas.
Hartono memandang Emily dengan serius.
"Baiklah. Setelah semua kekacauan ini, Papa ingin tahu. Apa yang akan kamu lakukan, sebagai problem solving dari masalahmu ini?" tanya Hartono. "Lalu, apa rencanamu dalam waktu dekat ini? Membalas rasa sakit? Basi kalau itu yang mau kamu lakukan, Nak."
Sang Ibu yang tadinya diam, langsung menyela pakai nada protes.
"Basi bagaimana, Pa? Anak kita semata wayang yang cantik jelita, cerdas, dan mandiri ini harus membalas perbuatan orang yang telah mempermalukannya!" seru Sang Ibu, bersungut-sungut membela mati-matian.
Hartono menggelengkan kepala. "Balas dendam terus kalau merasa tersakiti, tanpa pernah mau bercermin? Apa-apa balas dendam, tidak kelar-kelar masalah. Itu hanya akan membuat lingkaran kebencian baru, yang berujung jadi penyakit hati yang mengakar." balasnya tegas.
Kini, Hartono beralih sepenuhnya ke Emily, "Emily, jawab Papa. Apa yang akan kamu lakukan?"
Emily menjawab dengan satu kata yang cukup membuat heran.
"Erick."
Satu kata yang cukup untuk membangkitkan berbagai reaksi.
Hartono menaikkan sudut bibirnya, sebuah senyum tipis yang sulit diartikan. Ia seolah-olah telah menduga jawaban itu.
Kalau sang Ibu sebaliknya, langsung terperanjat. "Erick? Kenapa jawabanmu Erick? Dia bisa apa memangnya buat bantu kamu? Hidupnya saja sama berantakan. Tukang selingkuh pula!"
Emily belum sempat mengeluarkan pendapatnya, namun Hartono menyela dengan keputusan yang mengejutkan, mengambil alih kendali sepenuhnya.
"Baiklah, kita akhiri drama ini. Dengarkan Papa baik-baik. Mulai detik ini, Mama akan Papa kirim ke luar negeri. Mau tidak mau, harus mau."
Keputusan itu bagai petir di siang bolong bagi sang istri. Hartono kemudian menjelaskan alasannya.
"Sedangkan Emily, kamu akan Papa biarkan di sini, bersama Papa. Papa akan mendidik anak ini tanpa ada campur tanganmu, Ma. Sikapmu yang selalu membela dan menganggap Emily sebagai korban itu masih negatif dan hanya akan merusak proses pendewasaan dirinya," jelas Hartono tanpa kompromi.
Bagi Hartono, memisahkan mereka berdua sementara waktu, itu adalah pilihan yang baik. Barulah kalau Emily sudah sadar dan kembali ke jalannya, Hartono akan mendidik istrinya.
"Kenapa jadi begitu, Pa? Kenapa malah memisahkan aku dari anakku sendiri? Kenapa kamu malah mau belain Erick ketimbang anakmu sendiri?" Tanyanya frustasi, merasa tak dihargai.
Baik Hartono maupun Emily, tidak ada yang menggubris protes itu. Mereka telah terfokus pada topik utama, yaitu Erick.
Hartono kembali pada Emily, mengabaikan istrinya yang kini merajuk.
"Kenapa jawabanmu Erick, Emily? Kenapa memangnya dengan dia? Papa cuma mau ingatkan kalau kalian telah selesai. Kalian sudah tidak ada hubungan," ucap Hartono.
"Aku tahu kami sudah selesai, Pa. Tapi aku masih punya urusan yang belum selesai dengannya. Papa cuma perlu kasih tahu di mana Erick berada? Mengapa sulit untuk menemuinya di kantor maupun di luar?"
"Ia sudah Papa pindahkan. Kamu jangan mengganggunya lagi, Emily. Papa yang akan melindunginya dari gangguanmu."
Pernyataan ini semakin menguatkan kecurigaan Anggraini bahwa suaminya sedang membela orang lain ketimbang anaknya sendiri, semakin membuat ibunya Emily merasa terasingkan dan marah.
"Papa tenang saja, aku hanya ada urusan sebentar dengannya. Setelah ini, aku janji tidak akan mengganggunya lagi."
Mungkin karena melihat tatapan serius di mata putrinya, atau karena percaya Emily tidak akan berbuat nekat, atau juga bisa penasaran dengan apa yang mau diperbuat Emily, akhirnya Hartono mengalah sedikit.
"Baiklah, kalau kamu mau bertemu, dia ada di kantor cabang yang baru di..."
Hartono memberi tahu informasi keberadaan Erick jika di kantor secara spesifik. Namun untuk tempat tinggal Erick yang baru, Hartono tetap teguh. Itu tidak akan pernah ia berikan.
Ia tahu, memberikan akses penuh pada Emily yang sedang terluka dan penuh dendam bisa menjadi bencana. Erick sudah cukup menderita, dan sekarang, Hartono akan memastikan putrinya sendiri belajar menghadapi masalah tanpa harus menyeret orang lain ke dalam kekacauan hidupnya. Hartono kini berperan sebagai Ayah sekaligus guru, dan pelindung rahasia bagi Erick.
Sementara Emily yang sudah dapat informasi keberadaan Erick, kini ia memegang dahi terus ke dadanya, lanjut lagi ke dahi, dan begitu terus seakan ia tengah memeriksa suhu tubuh lalu ke detakan jantung.
Ada sesuatu yang sedang ingin ia ukur.
.
.
Bersambung.
🤔🤔🤔 kira kira rencana apalagi yg disusun Emily
sekarang koq malah jadi obsesi ya kesannya😔😔
jadi lebih baik kau perbaiki dirimu sendiri bukan untuku TPI untk masa depanmu sendiri
bay