NovelToon NovelToon
Retak Yang Tak Kembali

Retak Yang Tak Kembali

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / Pelakor jahat / Penyesalan Suami / Antagonis / Selingkuh / Sad ending
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dgweny

Nayara dipaksa menghadapi Pengkhianatan menyakitkan dari suaminya, Ardan (Direktur Konstruksi), hanya untuk menyadari bahwa pengusiran itu adalah upaya putus asa Ardan untuk melindunginya dari konspirasi berbasis Hutang Karma masa lalu.
.
.
Didorong rasa cinta yang besar terhadap Ardan , Nayara berpacu melawan waktu memperebutkan 'Kunci Master' ke The Grid, sistem infrastruktur yang dikendalikan secara Biometrik oleh kesadaran seorang anak.
.
.
Setelah menyelamatkan Ardan dari transformasi digital, Nayara menemukan ancaman yang sebenarnya kini merasuki orang terdekatnya, menandakan bahwa perang melawan The Grid baru saja dimulai.

______________


Tolong dibantu untuk like , komen dan follow akun aku ya, bantuan kalian sangat berharga untuk aku🫶

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dgweny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23: Pelarian di Jalur Tengah

Haiii Guys sebelum baca tolong di bantu klik like nya ya sama bolehhh komen nya dan follow nya jangan lupa hihihi. Bantuan kalian sangat berarti buat aku🫶

Happy reading 🌷🌷🌷

...****************...

Napas Nayara memburu, ia mencengkeram kemudi mobil Ardan hingga buku-buku jarinya memutih. Truk kontainer berlogo PT. Rajawali Baja itu menderu di sampingnya, menciptakan turbulensi udara yang mengguncang mobil sedan yang ia kendarai.

Sosok di kursi penumpang truk itu menurunkan kaca jendela. Angin pagi yang dingin menerpa wajahnya, menyibak rambut peraknya yang dipotong rapi.

Nayara terperangah. Jantungnya seolah berhenti berdetak sesaat.

“Pak Tirtayasa?” bisiknya tak percaya.

Dia adalah pendiri firma hukum Tirtayasa & Co, sosok yang selama puluhan tahun menjadi pengacara pribadi keluarga Prasetyo. Pria yang seharusnya sudah pensiun dan hidup tenang di Bali. Namun di sana, di jalan tol trans-jawa yang remang, Pak Tirtayasa tersenyum dingin ke arahnya.

“Selamat pagi, Nayara,” suara Pak Tirtayasa terdengar samar melalui interkom yang sengaja ia nyalakan. “Aku tidak menyangka kau akan seberani ini. Sayangnya, kunci master itu bukan milikmu, bukan milik Mira, apalagi milik Raynald.”

“Bapak… bekerja untuk siapa?” teriak Nayara, mencoba mengimbangi kecepatan truk.

“Aku bekerja untuk keadilan yang tertunda, Nak. Ayah Ardan tidak pernah menceritakan semuanya padamu, bukan? Dia bukan hanya mengkhianati Basuki Adelio. Dia mengkhianati kita semua.”

Pak Tirtayasa melambaikan tangan, dan truk kontainer itu tiba-tiba membanting setir ke kiri, mencoba menghimpit mobil Nayara ke pembatas jalan.

Nayara menjerit, menginjak rem sedalam mungkin. Ban mobil berdecit hebat, meninggalkan jejak hitam di aspal. Truk itu melaju kencang, meninggalkan Nayara yang gemetar di bahu jalan.

Nayara menepi, mencoba menormalkan detak jantungnya. Ia sendirian di tengah jalan tol yang sunyi. Di depannya, tantangan menjadi mustahil:

 * Mira Adelia terbang ke Yogyakarta, kemungkinan sudah mendarat.

 * Pak Tirtayasa berada di jalur darat dengan truk logistik yang seolah punya "jalur hijau".

 * Raynald mungkin masih punya kaki tangan lain yang tidak terdeteksi.

Ponselnya bergetar. Dion menelepon.

“Nay! Aku dapat info dari manifes bandara. Mira memang mendarat di Adisutjipto sepuluh menit lalu. Tapi ada satu hal aneh: ada unit taktis ilegal yang menjemputnya. Bukan polisi, bukan taksi biasa. Mereka menggunakan seragam sekuriti Rajawali Baja!”

“Dion, Rajawali Baja itu milik Raynald, tapi sekarang Pak Tirtayasa ada di sini, di jalan tol, menggunakan truk mereka! Ada apa sebenarnya?”

Dion terdiam sejenak. “Nay, ini konspirasi antar pemegang saham lama. Aku baru saja membongkar dokumen rahasia di brankas firma. Pak Tirtayasa adalah pemegang saham diam-diam di Rajawali Baja. Dia yang membantu Raynald mencuci uang, dan sekarang dia ingin mengambil alih kunci itu untuk dirinya sendiri! Dia ingin menghapus bukti keterlibatannya dalam penggelapan pajak lima tahun lalu.”

Nayara merasa kepalanya berputar. Semua orang mengejar kunci master itu bukan hanya untuk uang, tapi untuk menutupi dosa masa lalu.

“Aku tidak akan bisa sampai di Borobudur tepat waktu, Dion. Mira sudah di sana, Tirtayasa di depanku. Aku kalah.”

“Jangan menyerah, Nayara. Dengar, Ardan baru saja siuman lagi. Dia bilang, loker 45-B tidak bisa dibuka hanya dengan kunci fisik.”

“Maksudmu?”

“Loker itu memiliki sistem pengamanan biometrik ganda yang dipasang ayah Ardan secara ilegal. Kunci master itu hanya berfungsi jika darah keturunan Prasetyo menyentuh sensor di bawah lubang kunci.”

Nayara tertegun. “Darah keturunan? Berarti hanya Ardan yang bisa membukanya?”

“Benar. Mira atau Tirtayasa mungkin bisa merusak loker itu dengan paksa, tapi Ardan bilang jika loker dibuka secara paksa, mekanisme di dalamnya akan menghancurkan seluruh dokumen di dalamnya dengan asam kuat.”

Nayara melihat harapan kecil. “Berarti… selama aku membawa Ardan ke sana, kunci itu aman?”

“Masalahnya, Ardan masih di rumah sakit, Nay. Kondisinya belum stabil untuk perjalanan jauh.”

Nayara menatap ke depan. Jalur trans-jawa yang lurus. “Dion, aku punya rencana gila. Hubungi pihak rumah sakit. Mintakan helikopter darurat dari rekanan Ardan di konstruksi. Aku akan bertemu Ardan di Yogyakarta. Kita tidak lewat darat!”

Berkat koneksi Ardan yang selama ini ia bangun dengan tulus di dunia konstruksi, sebuah helikopter medis berhasil diterbangkan dari Semarang menuju Yogyakarta, menjemput Ardan di Semarang (setelah dipindahkan lewat ambulans udara singkat dari Jakarta).

Nayara, sementara itu, meninggalkan mobilnya di rest area KM 200 dan menaiki kendaraan jemputan khusus yang dikirim Dion untuk membawanya ke titik penjemputan helikopter di dekat Solo.

Pukul 08:00, di atas langit Jawa Tengah, Nayara duduk di dalam helikopter medis yang menderu. Di sampingnya, Ardan terbaring dengan infus, namun wajahnya lebih cerah.

“Nayara… maafkan aku karena membuatmu melakukan ini,” bisik Ardan.

Nayara menggenggam tangannya. “Tahan sebentar lagi, Dan. Kita hampir sampai.”

“Kau harus tahu satu hal lagi,” Ardan menatap langit-langit helikopter. “Ayahku menyimpan kunci itu di Borobudur bukan karena tempat itu suci. Tapi karena dia tahu, Basuki Adelio (ayah Mira) adalah salah satu arsitek restorasi Candi itu di masa muda. Ayahku menganggap menyembunyikan 'dosa' di tempat 'karya' korbannya adalah bentuk penebusan rasa bersalah yang sakit.”

Nayara terdiam. Ironi yang menyakitkan.

“Borobudur di depan!” teriak pilot.

Dari ketinggian, kemegahan stupa Borobudur terlihat membelah kabut pagi. Namun di area parkir dan loker turis, Nayara bisa melihat kerumunan orang yang tak biasa.

Helikopter mendarat di helipad darurat tak jauh dari kompleks Candi. Nayara membantu suster mendorong brankar Ardan. Mereka berpacu dengan waktu menuju area loker penitipan barang.

Saat mereka sampai di lorong loker yang tersembunyi di balik pusat informasi turis, suasana terasa mencekam.

Dua orang berdiri berhadapan di depan barisan loker logam abu-abu.

Mira Adelia berdiri dengan pistol di tangannya, wajahnya penuh dendam. Di depannya, Pak Tirtayasa berdiri dengan tenang, memegang sebuah alat las portabel.

“Buka lokernya, Tua Bangka!” Mira membentak. “Aku sudah di sini lebih dulu!”

“Kau tidak punya hak, Mira,” Pak Tirtayasa menjawab dingin. “Ayahmu hanya butiran debu di sejarah Rayesa. Aku yang membangun dinasti ini bersama ayah Ardan.”

“MIRA! PAK TIRTAYASA!” Nayara berteriak.

Keduanya menoleh. Mereka terkejut melihat Nayara datang bersama Ardan di atas brankar.

“Ardan…” Mira berbisik, wajahnya sesaat melunak sebelum kembali mengeras.

“Mira, berhenti,” suara Ardan serak namun berwibawa. “Kau tidak akan mendapatkan apa-apa. Jika kau merusak loker itu, semuanya akan hancur. Dosa ayahku, rahasia Tirtayasa, dan harapanmu untuk balas dendam akan menguap menjadi asap.”

Mira tertawa getir. “Setidaknya jika hancur, tidak ada yang menang!”

“Tapi jika kau membukanya dengan benar,” Ardan melanjutkan, “kau akan menemukan Surat Pernyataan Pengalihan Aset yang ditandatangani ayahku sebelum ia meninggal. Nama penerimanya bukan aku, bukan Tirtayasa. Tapi namamu, Mira.”

Lorong itu seketika sunyi. Bahkan Pak Tirtayasa tampak terkejut.

“Apa?” Mira menurunkan pistolnya sedikit.

“Ayahku tahu dia bersalah. Surat itu memberikan 30% saham Cipta Raya Abadi kepada keluarga Adelia sebagai kompensasi. Selama ini Tirtayasa menyembunyikannya agar saham itu tetap dalam kendalinya! Itulah kenapa dia ingin kau dan aku saling menghancurkan!”

Nayara menatap Tirtayasa. Wajah pengacara tua itu kini memerah padam. Kedoknya terbongkar.

“Bohong!” Tirtayasa berteriak. Ia tiba-tiba mengeluarkan pemantik api dan mengarahkannya ke arah tangki bahan bakar kecil pada alat lasnya. “Jika aku tidak bisa memilikinya, tidak ada yang bisa!”

“JANGAN!” Nayara melompat ke depan brankar Ardan untuk melindunginya.

Tapi sebelum Tirtayasa sempat menyulut api, sebuah suara tembakan menggema di lorong sempit itu.

BANG!

Tirtayasa terjatuh, tangannya memegang bahu yang bersimbah darah. Di ujung lorong, sekelompok petugas kepolisian berpakaian preman yang dipimpin oleh Dion masuk dengan senjata teracung.

“Angkat tangan!” seru Dion.

Mira tertegun, ia menjatuhkan pistolnya, menangis histeris. Ia menyadari bahwa selama ini ia hanyalah bidak dalam permainan Tirtayasa.

Nayara menarik napas lega, ia hampir tumbang. Dion mendekat, memeluknya.

“Semuanya berakhir, Nay.”

Ardan perlahan bangkit dari brankar, dibantu oleh suster. Ia melangkah menuju loker 45-B. Dengan tangan gemetar, ia memasukkan jari telunjuknya ke lubang biometrik tersembunyi, lalu memasukkan kunci master yang dibawa Nayara.

KLIK.

Loker terbuka.

Di dalamnya terdapat sebuah amplop cokelat besar dan sebuah kotak kayu kecil. Ardan mengambil amplop itu, membukanya, dan menyerahkan sebuah dokumen kepada Mira yang kini terduduk lemas di lantai.

“Ini hakmu, Mira. Hentikan semua ini.”

Mira menerima dokumen itu, menatapnya dengan pandangan kosong. Kebencian yang membakarnya bertahun-tahun seolah padam seketika oleh selembar kertas.

Namun, saat Ardan hendak mengambil kotak kayu kecil yang tersisa di dalam loker—yang ia yakini berisi bukti kejahatan Tirtayasa—ia terhenti.

Ada sebuah kabel tipis yang terhubung ke bagian belakang kotak itu. Kabel itu mengarah ke dalam dinding loker.

Ardan memucat. “Lari…”

“Ardan? Ada apa?” Nayara mendekat.

“Ayahku tidak pernah memberikan kompensasi tanpa syarat,” bisik Ardan dengan mata terbelalak. “Loker ini… ini bukan brankas. Ini pemicu.”

Di bagian belakang pintu loker, sebuah timer digital yang tadi tersembunyi kini menyala merah.

00:10.

00:09.

“SEMUA KELUAR! SEKARANG!” Ardan berteriak sekuat tenaga, mendorong Nayara ke arah lorong keluar.

Nayara terjatuh di lantai yang dingin, melihat Ardan yang masih terjepit di depan loker karena brankarnya menghalangi jalan. Mira masih mematung di lantai, dan Pak Tirtayasa yang terluka berusaha merangkak pergi.

Timer itu terus berdetik tanpa ampun.

00:03.

Nayara menatap Ardan. Ardan menatapnya untuk terakhir kali, sebuah senyum perpisahan yang tenang terukir di bibirnya.

“Aku mencintaimu, Nayara. Pergilah!”

Nayara menjerit, mencoba menggapai tangan Ardan saat cahaya menyilaukan mulai muncul dari dalam loker 45-B.

BLAAM!

Lorong penitipan barang itu meledak.

Nayara terlempar keluar ke area taman terbuka oleh gelombang kejut, telinganya berdenging hebat, pandangannya menggelap tertutup debu dan asap hitam.

Di tengah kesunyian yang memekakkan telinga setelah ledakan, Nayara merangkak di atas rumput, memanggil nama Ardan dengan suara yang nyaris hilang.

Asap mulai menipis. Area loker itu hancur total.

Namun, di tengah puing-puing yang terbakar, Nayara melihat sebuah sosok berdiri tegak. Bukan Ardan, bukan Mira, bukan Tirtayasa.

Sosok itu mengenakan jubah hitam, memegang kotak kayu kecil yang tadi ada di dalam loker—kotak yang seharusnya hancur.

Sosok itu menoleh ke arah Nayara. Wajahnya tertutup masker, namun matanya yang dingin tampak sangat familiar. Ia melempar sebuah benda ke arah Nayara—sebuah cincin kawin perak yang sudah menghitam terkena api.

Cincin Ardan.

“Hutang karma telah lunas, tapi permainan baru saja dimulai, Nyonya Rayesa” suara sosok itu terdengar berat dan terdistorsi.

Sosok itu melompat ke balik tembok candi dan menghilang di antara pepohonan rimbun Borobudur sebelum tim medis dan polisi sempat mendekat.

Nayara memegang cincin itu, menangis meraung di tengah reruntuhan.

Bersambung.....

1
Sanda Rindani
kok jd istri tolol,
Dgweny: wkwk aku juga Gedeg Ama nayara ka🤣
total 1 replies
Nindi
Namanya Mira Lestari atau Mira Adelia, thor?
Dgweny: Adeliaa wkwk typo aku ka hehe
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!