Nurma Zakiyah adalah seorang siswi Sekolah Menengah Umum (SMU) yang ceria, namun hidupnya seketika dilanda tragedi. Sang ayah terbaring sekarat di rumah sakit, dan permintaan terakhirnya sungguh mengejutkan yakni Nurma harus menikah dengan pria yang sudah dipilihnya. Pria itu tak lain adalah Satria galih prakoso , guru matematikanya yang kharismatik, dewasa, dan terpandang.
Demi menenangkan hati ayahnya di ujung hidup, Nurma yang masih belia dan lugu, dengan berat hati menyetujui pernikahan paksa tersebut. Ia mengorbankan masa remajanya, impian kuliahnya, dan kebebasannya demi memenuhi permintaan terakhir sang ayah.
Di sekolah, mereka harus berpura-pura menjadi guru dan murid biasa, menyembunyikan status pernikahan mereka dari teman-teman dan rekan sejawat.
Bagaimanakah kelanjutan rumah tangga Nurma dan Satria?
Mampukah mereka membangun ikatan batin dari sebuah pernikahan yang didasari keterpaksaan, di tengah perbedaan dunia, harapan, dan usia, bisakah benih-benih cinta tumbuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hutang lunas, di balas malam pertama
Pagi itu, Nurma terbangun dengan perasaan damai. Pelukan Satria sangat erat, memberinya tidur paling nyenyak setelah melewati malam penuh drama. Ia mencium pipi suaminya yang masih terlelap, mengagumi wajah damai itu sebelum beranjak ke kamar mandi.
Setelah menyiapkan sarapan sederhana dan memastikan Bu Widia sudah berangkat ke toko pakaian Bude Minah, Nurma kembali ke kamar. Satria sudah terbangun dan tampak sibuk dengan ponselnya, mengatur jadwal pertemuannya.
"Sudah siap?" tanya Nurma sambil membawa nampan berisi teh hangat dan roti bakar.
Satria tersenyum, beranjak dan menerima nampan itu.
"Terima kasih, Sayang. Sudah siap. Aku sudah membuat janji dengan Ayah di Hotel tempat Ayah menginap, Ini akan cepat, aku hanya perlu memberinya instruksi untuk transfer dan meminta dia mengurus surat pelunasan untuk Ayahmu."
"Hati-hati, ya, Mas Satria," pesan Nurma, tangannya mengusap pipi Satria yang masih lebam.
"Ingat, jangan sampai kau menjual semua asetmu. Kalau memang terlalu banyak, kita bisa cari cara lain."
Satria menggenggam tangan Nurma. "Tidak akan, Sayang. Percayalah. Aku adalah Kapten, bukan sembarang guru matematika. Gaji dan tabunganku cukup untuk melunasi utang ini tanpa menjual apa pun yang penting. Aku akan pulang dengan kabar baik sebelum sore."
kemudian Satria berpamitan, meninggalkan Nurma di rumah dengan janji keamanan yang tak terucapkan.
.
.
Satria tiba di Hotel megah tempat Ayahnya menginap, dimana hotel ini sebenarnya adalah salah satu milik ayahnya, yang tergabung dalam perusahaan Prakoso Group. Begitu masuk, ia langsung diantar ke ruangan besar ayahnya.
Letkol Prakoso, seorang pria paruh baya yang masih terlihat gagah dengan aura otoritas dan ketenangan seorang pemimpin kemiliteran sekaligus bisnis, bangkit menyambut putranya.
"Satria! Kamu datang juga akhirnya," sambut Pak Prakoso, nadanya sedikit tegas namun ada kelegaan. "Apa ini karena berita tentang kamu berkelahi dengan si bedebah Douglas? Atau tentang utang 50 miliar itu?"
Satria duduk di sofa kulit di hadapan ayahnya.
"Keduanya, Yah. Maaf tidak memberi tahu Ayah lebih awal." Satria memulai percakapan dengan serius.
Pak Prakoso menghela napas. "Baiklah. Sekarang katakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi?"
Satria menceritakan secara singkat tentang ancaman dari rentenir Douglas, hingga upaya penculikan Nurma.
"Jadi, Douglas sudah diamankan, tapi utang ini harus lunas tuntas agar tidak ada alasan hukum atau ancaman lain yang mengejar Nurma. Aku butuh Ayah melunasinya sekarang juga, Yah. 50 miliar Rupiah," Satria menatap mata ayahnya.
Pak Prakoso terdiam sesaat, lalu tersenyum tipis. "Putraku, akhirnya kamu menggunakan hartamu untuk sesuatu yang penting, bukan hanya untuk membeli kapal baru atau investasi properti."Ia mencondongkan tubuhnya ke depan. "Kamu tahu, aset yang kamu miliki jauh melebihi utang ini, Kapten. Tapi ada yang perlu kamu tahu."
Pak Prakoso mengambil sebuah map dari laci. "Utang ini... Sebenarnya sudah aku lunasi tadi malam, dan Ayah selalu memantau mu secara diam-diam."
Satria terkejut, matanya membelalak. "Apa? Ayah melunasinya?"
"Ya. Putraku, Ayah sudah melunasinya, aku terharu saat melihat bagaimana kamu melindunginya. Aku tahu kamu serius," jelas Pak Prakoso. "Aku tidak mau putraku yang seorang perwira, Kapten, harus berurusan dengan rentenir kelas teri. Uang 50 miliar itu sudah ditransfer dan surat pelunasan sudah diurus oleh pengacaraku. Semua sudah clear, Satria. Tidak ada lagi utang, tidak ada lagi ikatan transaksi."
Satria merasa beban ratusan ton terangkat dari bahunya. Ia menyandarkan punggungnya di sofa, menghela napas lega.
"Terima kasih, Yah. Aku tidak tahu harus berkata apa."
"Cukup berterima kasih pada istrimu. Dia wanita yang baik, Satria. Aku hanya membantu menyingkirkan kerikil di jalan pernikahan kalian," kata Pak Prakoso, menyerahkan map itu. "Di dalamnya ada surat resmi pelunasan dan bukti transfer. Berikan ini pada Nurma, Ayah melakukan semua ini karena, Ayah melihat cinta yang besar dimatamu, dan sepertinya kamu sudah bisa melupakan masalalu mu."
Satria terdiam sejenak, ia seolah tidak ingin mengingat masalalunya yang pahit bersama dengan seseorang, hingga akhirnya ia lebih memilih membahas soal Douglas.
"Lalu, bagaimana dengan Douglas?" tanya Satria.
"Dia sudah diproses pihak kepolisian karena kasus lain, termasuk intimidasi dan penipuan. Dia tidak akan mengganggumu lagi," jawab Pak Prakoso dengan nada final.
Satria tersenyum lega. Tugasnya akhirnya telah selesai. Utang lunas, ancaman hilang, dan hatinya telah terisi.
"Baiklah, aku harus segera kembali ke Nurma. Dan memberitahunya soal kabar baik ini." ujar Satria sambil berdiri.
"Hati-hati, Nak. Jaga selalu Nurma, bahagiakan dia." kemudian Pak Prakoso bergumam dalam hati.
'Pras, aku sudah memenuhi janjiku padamu, sekarang Satria benar-benar telah mencintai putrimu, Nurma. Aku sangat lega sekali, dan maaf aku baru bisa membantu masalah mu sekarang, aku pastikan si Bedebah Douglas tidak akan pernah mengganggu kehidupan putrimu, semoga kau selalu tenang di alam sana.'
.
.
Satria akhirnya tiba di rumah dengan langkah cepat dan senyum lebar. Ia menemukan Nurma sedang menyiram tanaman di teras.
"Nurma!" panggilnya.
Nurma menoleh, senyumnya merekah saat melihat Satria pulang lebih cepat.
"Bagaimana? Lancar?" tanyanya cemas, tangannya mengeringkan air.
Satria tidak menjawab. Ia hanya berjalan cepat, memeluk Nurma erat-erat dan memutar tubuh gadis itu.
"Apa yang terjadi? Kenapa kau senang sekali?" tanya Nurma tertawa geli karena diperlakukan seperti itu.
Satria melepaskan pelukan, menatap Nurma dengan mata berbinar-binar penuh cinta dan kelegaan.
"Sudah selesai, Sayang. Semua sudah berakhir," bisik Satria. "Ayahku sudah melunasi utang 50 miliar itu bahkan sebelum aku menemuinya. Tidak ada lagi utang. Tidak ada lagi Douglas. Kita... kita benar-benar bebas sekarang."
Ia menyerahkan map yang berisi surat pelunasan. Nurma menerima map itu dengan tangan gemetar, matanya berkaca-kaca saat melihat cap resmi dan angka 'Nihil' di kolom utang.
"Ini... ini nyata?" bisik Nurma, air matanya menetes.
"Sangat nyata. Sekarang, pernikahan kita murni karena cinta, bukan lagi soal pernikahan karena tanggung jawab dan keterpaksaan" Satria menghapus air mata Nurma dengan ibu jarinya. "Dan, aku ingin kita merayakan kebebasan ini, sekarang. Aku adalah suamimu sepenuhnya, tanpa ikatan janji palsu yang menahan perasaanku."
Satria menarik Nurma masuk, mengunci pintu, dan membawanya ke dalam pelukan yang menuntut, menghadirkan janji-janji yang telah lama tertunda.
Satria memeluk Nurma erat, bisikannya tentang kebebasan dan cinta itu seolah menyegel babak baru dalam hidup mereka.
Nurma bisa merasakan detak jantung Satria yang berpacu, seirama dengan detak jantungnya sendiri.
Tiba-tiba, rasa malu dan takut yang selama ini membentengi dirinya—khususnya janji Satria untuk menunggunya lulus—terasa rapuh.
Perbedaan usia, pernikahan utang, trauma ancaman maut—semua itu lenyap tak berbekas, tergantikan oleh satu fakta besar: pria gagah yang memeluknya ini rela mempertaruhkan segalanya, termasuk 50 miliar Rupiah, hanya demi dirinya.
Nurma mendongak, menatap mata Satria yang memancarkan gairah yang lama terpendam, bercampur dengan kelegaan yang mendalam. Ia tidak lagi mencari alasan, tidak ada lagi penolakan. Yang ia rasakan hanyalah hasrat yang sama, sebuah kerinduan untuk menjadi seutuhnya milik suami yang telah menyelamatkan dan mencintainya dengan tulus.
Sebuah senyuman kecil, tulus, dan penuh penyerahan diri, mekar di wajah Nurma. Ia meletakkan telapak tangannya di pipi Satria yang lebam.
"Tidak ada lagi janji, Mas Satria," bisik Nurma, suaranya terdengar sangat manis dan penuh emosi. "Aku sudah aman. Aku ingin... aku ingin menjadi istrimu seutuhnya, sekarang."
Jawaban itu adalah kembang api bagi Satria. Ia tidak menyangka Nurma akan berbalik dan mengambil inisiatif. Satria tersenyum lembut, senyum paling bahagia yang pernah dilihat Nurma. Ia mengangkat tubuh Nurma, gendongan itu kini terasa berbeda; tidak lagi panik seperti malam sebelumnya, melainkan penuh kelembutan dan janji.
"Terima kasih, Sayang," bisik Satria, suaranya serak. Ia tidak lagi tergesa-gesa.
Satria membawa Nurma kembali ke kamar mereka. Ia tidak peduli dengan map berisi surat pelunasan utang yang tergeletak di ruang tamu. Urusan dunia sudah selesai. Kini, hanya ada mereka berdua.
Di dalam kamar, Satria menurunkan Nurma perlahan di tepi ranjang. Ia menatap Nurma, meminta konfirmasi terakhir, dan Nurma membalas tatapan itu dengan mata yang dipenuhi cinta dan penantian. Tanpa perlu kata-kata, Nurma mengulurkan tangannya, melingkarkan nya di leher Satria, dan menariknya mendekat.
Ciuman itu lembut, penuh syukur, dan berjanji. Kemeja sekolah Nurma yang sempat terbuka malam lalu, kini ditanggalkan dengan perlahan oleh tangan Satria. Malam itu, di bawah keremangan lampu kamar, Nurma dan Satria akhirnya merayakan kebebasan mereka, menyempurnakan ikatan pernikahan yang bermula dari utang, namun berakhir menjadi kisah cinta yang sesungguhnya. Janji Kapten untuk menjaga Nurma kini berubah menjadi janji sehidup semati, terukir dalam setiap sentuhan yang penuh gairah dan kasih sayang.
Bersambung...