Fandi Dirgantara dikenal sebagai pewaris muda triliunan rupiah — CEO muda yang selalu tampil tenang dan elegan di hadapan dunia bisnis. Namun, di balik senyum dinginnya, tersimpan amarah masa lalu yang tak pernah padam. Ketika malam tiba, Fandi menjelma menjadi sosok misterius yang diburu dunia bawah tanah: “Specter”, pemburu mafia yang menebar ketakutan di setiap langkahnya. Ia tidak sendiri — dua sahabatnya, Kei, seorang ahli teknologi yang santai tapi tajam, dan Alfin, mantan anggota pasukan khusus yang dingin dan loyal, selalu berada di sisinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu tiga gadis
“Gu… guru…” ucap Rora dan Rami hampir bersamaan.
Epi tidak bersuara.
Tubuhnya kaku.
Pandangan matanya tertancap lurus ke sosok di depan pintu, napasnya tertahan.
“Guru?”
Seorang pria itu mengernyit heran.
Nada suaranya tenang, dewasa—bukan suara yang mereka kenal.
Ketiganya sontak menoleh.
“Loh… Fandi?” ujar Rora dan Rami hampir bersamaan, terkejut untuk kedua kalinya.
Epi tersentak kecil, tapi tetap diam.
Di samping Fandi, pria paruh baya itu melangkah setengah ke depan. Tatapannya tajam, mengamati satu per satu wajah mereka—berhenti lebih lama pada Epi.
“Sepertinya mereka ini murid Alta,” ucapnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Jantung Epi berdegup keras.
Ketiga gadis itu saling pandang, bingung, waspada.
“Dia bukan guru,” bisik Epi sangat pelan, matanya tak lepas dari pria itu.
“Mirip… tapi bukan.”
Rami menoleh cepat. “Dari mana kamu tahu?”
Epi memperhatikan lebih tajam.
“Tinggi badannya beda. Postur bahunya juga. Rambutnya… guru nggak pernah seperti itu. Cara berdirinya pun beda.”
Rora ikut mengamati ulang, alisnya mengernyit.
“…Iya. Kalau diperhatikan… bukan.”
Ia lalu tersadar, buru-buru menunduk sopan.
“Maaf, ya, Pak,” ucap Rami gugup.
Pria itu tersenyum tipis, tapi matanya tetap tajam.
“Ini ayahku,” kata Fandi memperkenalkan.
“Atha Dirgantara.”
Ketiga gadis itu terdiam sejenak.
“Ayah ingin berbincang dengan kalian. Bisa?” lanjut Fandi.
“Mengobrol… soal apa ya, Kak?” tanya Rami ragu.
Atha melangkah sedikit lebih dekat ke ambang pintu.
“Bolehkah kami masuk?”
“Eh—bisa, Pak. Silakan,” jawab Rami cepat, memberi jalan.
Mereka masuk ke ruang tamu sederhana itu. Sofa kecil, meja rendah, suasana hening mendadak terasa berat.
Atha dan Fandi duduk.
Epi duduk berhadapan langsung dengan Atha.
Tatapan mereka bertemu.
Tidak ada senyum.
Rami ke dapur, membuat teh dengan gerakan cepat. Rora duduk di samping Epi, bahunya tegang.
Beberapa saat kemudian, teh disuguhkan. Atha dan Fandi meneguk sedikit.
“Oke,” kata Rami membuka pembicaraan, mencoba terdengar santai.
“Apa yang ingin Bapak dan Kak Fandi tanyakan?”
Fandi menarik napas. Pandangannya beralih ke Epi.
“Semalam aku ke sini bukan karena niat buruk,” katanya pelan.
“Aku hanya berjaga. Takut orang-orang itu kembali.”
Epi tetap diam.
“Tapi tengah malam aku melihat kamu keluar,” lanjut Fandi.
“Kamu berjalan ke lapangan gelap itu.”
Rami dan Rora menegang.
“Aku mengikuti,” kata Fandi jujur.
“Dan di sana… aku melihat sesuatu yang tidak bisa kuanggap biasa.”
Matanya menajam.
“Kamu menggunakan dua pedang.”
“Seishin Masamune.”
“Dan Kurotsumi Muramasa.”
Ruangan itu seolah menciut.
“Bukan hanya itu,” lanjutnya.
“Kamu juga menggunakan teknik tingkat tinggi. Bukan satu. Bukan dua.”
Ia berhenti sejenak.
“Dari mana kamu belajar?”
“Dan… dari mana kamu mendapatkan kedua pedang itu?”
Hening.
Rami menelan ludah.
Rora mengepalkan jemarinya di pangkuan.
Epi akhirnya mengangkat wajahnya.
Tatapannya lurus. Tenang. Tapi dingin.
Pertanyaan itu… bukan pertanyaan sembarangan.
Dan Atha—sejak awal—tidak pernah melepas pandangannya dari Epi.
“Apa maksudmu?” Rami menyipitkan mata. “Memangnya ada sesuatu dengan pedang itu?”
Atha tidak langsung menjawab. Tatapannya beralih ke Epi, tajam dan penuh selidik.
“Di mana kalian mendapatkan pedang tersebut,” katanya perlahan, “dan siapa yang mengajarkan teknik pedang itu pada kalian?”
“Itu pedang pemberian guru kami,” Rora menyela lebih dulu. Suaranya tenang, namun jelas berjaga. “Pedang itu diberikan setelah Epi menuntaskan latihan keempat.”
“Siapa nama guru kalian?” tanya Atha lagi, nadanya kini lebih berat.
Rora menggeleng pelan. “Maaf, Pak. Kami tidak diizinkan menyebutkan namanya. Itu perintah langsung dari guru—namanya tidak boleh diucapkan kepada orang luar.”
Udara terasa mengeras.
“Apakah guru kalian bernama Alta Dirgantara?” ucap Atha akhirnya.
Tak satu pun dari mereka menjawab. Keheningan menggantung, tebal dan menyesakkan.
“Jika benar Alta Dirgantara,” Fandi angkat bicara, memecah diam, “maka dia adalah saudara kembar ayahku. Nama ayahku Atha Dirgantara. Selama bertahun-tahun, ayah mencarinya… tapi tak pernah menemukan jejaknya.”
“Apa dia yang pernah datang ke padepokan waktu itu?” bisik Rami nyaris tak terdengar.
Epi menunduk sedikit. “Entahlah… mungkin.”
“Kami benar-benar tidak tahu,” kata Rora akhirnya. “Kami pun sedang mencarinya.”
Atha menghela napas pelan. “Bolehkah saya melihat pedang kalian?”
“Maaf, Pak. Tidak bisa,” jawab Epi cepat, nyaris refleks.
“Benar,” sambung Rami. “Kami tidak diperbolehkan sembarangan memperlihatkan atau membicarakan pedang itu.”
Atha menatap mereka beberapa detik lebih lama, lalu berkata singkat, “Fandi.”
“Iya, Yah.”
“Ambil pedang Ayah di mobil.”
Fandi tidak bertanya. Ia langsung berbalik dan pergi.
Beberapa saat kemudian, ia kembali membawa dua pedang bersarung hitam. Atha membuka keduanya perlahan. Cahaya memantul di gagang pedang, menyingkap sebuah nama yang terukir jelas:
Aziz Dirgantara.
“Apakah di gagang pedang kalian tertulis nama Abdul Dirgantara?” tanya Atha, suaranya nyaris bergetar.
Epi mengangguk tanpa berkata apa pun. Ia melangkah ke kamar, lalu kembali membawa kedua pedangnya. Dengan gerakan hati-hati, ia membuka sarungnya.
“Ini hadiah yang diberikan guru pada malam itu… enam tahun sebelum beliau menghilang,” kata Epi pelan.
“Menghilang? Maksudmu bagaimana?” tanya Atha, wajahnya tampak bingung.
Rami menarik napas panjang sebelum mulai menjelaskan dengan suara berat, penuh keseriusan.
“Suatu malam, saat kami semua belum tidur karena baru menyelesaikan latihan, tiba-tiba puluhan orang bertopeng dan berpakaian serba hitam menyerang. Alhamdulillah, kami semua mampu menahan serangan itu, karena seluruh penghuni padepokan memang terlatih dalam bela diri.
“Malam berikutnya, penyerangan datang lagi. Dan malam ketiga… mereka muncul kembali, tetap mencari Guru Alta. Namun saat itu kami melarang guru keluar; hanya kami yang bertarung. Karena tiga malam berturut-turut serangan itu datang, pada pagi harinya guru mengumpulkan kami semua dan menyuruh kami pergi, mengungsi atau bersembunyi, sementara beliau tetap tinggal.
“Kami menolak. Melihat begitu banyak musuh, kami tidak mungkin membiarkan guru menghadapi sendiri. Hingga Asar, kami tidak melihat beliau lagi. Sampai detik ini, kami semua masih berpencar mencarinya, namun tak pernah bertemu,” jelas Rami panjang lebar, matanya menatap jauh seakan mengingat kembali masa itu.
“Lantas, mengapa kalian memutuskan datang ke sini untuk mencari Alta?” tanya Atha lagi.
“Suatu hari, saat kami berpencar mencari Guru Alta, ada seorang bapak yang mengatakan bahwa beliau kembali ke Jakarta. Dari situ, kami datang ke sini. Yang lain memilih kembali ke kehidupan normal dan keluarganya, tapi kami bertiga memutuskan untuk terus mencari hingga sampai sini,” jawab Rora lembut.
Rami menunjuk kedua pedang Epi. “Apakah Anda akan mengambil pedang ini?”
Atha menggeleng. “Tidak. Saya tidak berhak atasnya. Pedang itu milik Alta. Jika beliau memberikannya kepada gadis ini, berarti kepercayaan itu begitu besar.” Ia menatap Epi dengan mata penuh arti.
“Dia memang murid kesayangan guru,” kata Rami sambil tersenyum. “Bahkan bisa dibilang kembaran guru dalam hal bela diri.”
“Kita semua disayangi guru,” ujar Epi, sedikit tersenyum. “Apa kalian lupa, guru harus ke Jepang hanya untuk menempah pedang kalian?”
Rora dan Rami hanya tersenyum kecil, menyimpan rasa haru dalam hati.
“Jadi, setelah kejadian itu, Alta tidak pernah bertemu kalian lagi?” tanya Atha.
“Tidak, Pak. Tapi subuh tadi, Epi melihat seseorang yang ia yakini guru. Hanya saja, saat dilihat sudah tidak ada, instingnya sangat kuat pekat. Kami rasa guru memang berada di sekitar kami, tapi mungkin sengaja tidak menampakkan diri. Satu kemungkinan… untuk menghindari bahaya. Katanya, jika kami terlalu dekat dengannya, kami akan berada dalam bahaya,” jelas Rora, wajah ketiga gadis tampak sedih.
“Di mana kamu melihatnya?” tanya Atha.
“Di depan kontrakan, Pak,” jawab Epi.
Atha mengeluarkan kartu namanya. “Alamat dan nomor ponsel saya ada di sini. Jika suatu hari kalian menemukan Alta, katakan padaku, ya.”
“Baik, Pak. Apakah Bapak sebelumnya pernah ke padepokan?” tanya Rami, penasaran.