Ketika Violetta Quinn, saudari kembar yang lembut dan penurut, ditemukan tak sadarkan diri akibat percobaan bunuh diri, Victoria Thompson tak bisa menerima kenyataan itu begitu saja. Tidak ada yang tahu alasan di balik keputusasaan Violetta, hanya satu kenangan samar dari sang ibu: malam sebelum tragedi, Violetta pulang kerja sambil menangis dan berkata bahwa ia 'Tidak sanggup lagi'.
Didorong rasa bersalah dan amarah, Victoria memutuskan untuk menyamar menggantikan Violetta di tempat kerjanya. Namun pencarian kebenaran itu justru membawanya ke dalam dunia gelap yang selama ini Victoria pimpin sendiri; Black Viper. Jaringan mafia yang terkenal kejam.
Di sanalah Victoria berhadapan dengan Julius Lemington, pemilik perusahaan yang ternyata klien tetap sindikat Victoria. Tapi ketika Julius mulai mencurigai identitas Victoria, permainan berbahaya pun dimulai.
Victoria masuk dalam obsesi Julius.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27. KABAR MENGGEMPARKAN
Kamar itu gelap kecuali cahaya kecil dari lampu meja di sisi ranjang. Malam sudah bergeser jauh melewati tengah malam, namun Sean tidak beranjak sedikit pun dari kursi kayu di samping tempat tidur Victoria. Ia duduk membungkuk, satu tangan menggenggam lengan kursi begitu erat seolah benda itu satu-satunya penopang kewarasan yang tersisa.
Sudah tiga belas jam sejak Victoria pingsan.
Tiga belas jam yang terasa lebih panjang dari seluruh perjalanan hidupnya.
Tubuh Sean terasa remuk. Jasnya sudah kusut, rambutnya tidak tertata, dan mata yang biasanya tajam kini tampak merah, seperti terlalu lama memaksa diri tetap terjaga. Namun ia tidak memedulikan itu semua. Satu-satunya pikiran yang memenuhi kepalanya hanyalah Victoria.
Victoria yang kini terbaring pucat, dengan perban melilit kepala dan pergelangan tangan.
Victoria yang ia lukai dengan tangannya sendiri. Mainan kecilnya yang seharusnya sudah jinak, kini harus terluka karena amarah Sean yang tidak bisa di kontrol.
Dan rasa bersalah itu menghantamnya tanpa ampun setiap kali ia menatap wajah gadis itu yang begitu tenang dalam ketidaksadaran.
Sean tidak pernah menyesal seumur hidupnya. Tidak pernah bahkan jika dia mengambil nyawa orang lain.
Tapi kali ini ... ia benar-benar menyesal.
Ketika pagi mulai menyusup melalui celah tirai, Victoria akhirnya bergerak.
Napas Sean terhenti seketika. Kursi bergeser ketika ia berdiri cepat dan mendekat.
"Victoria?" suara Sean pelan, takut, tapi penuh harap.
Kelopak mata itu perlahan membuka. Seperti butuh waktu lama bagi otak gadis tersebut menyadari bahwa ia tidak sedang bermimpi. Ia memandang langit-langit, lalu menoleh sedikit, hanya sedikit ... ke arah suara Sean.
Sean langsung meraih tangan Victoria, namun begitu ia menyentuhnya ...
Victoria tersentak.
Tubuhnya refleks menegang, mata membesar, napas tercekat seperti seseorang yang baru saja disergap mimpi buruk. Ia menarik tangannya cepat-cepat, seolah sentuhan Sean adalah api yang membakar.
Sean membeku.
"Victoria ... ini aku. Sean," kata pria itu
Victoria menatapnya dengan tatapan yang masih kosong, namun kali ini ada tambahan rasa takut yang begitu jelas.
Air mata mengambang di pelupuk mata gadis itu. Bibirnya bergetar.
"A ... a ... jangan," suara itu lirih, pecah, gemetar hebat. "Jangan ... aku salah."
Jantung Sean serasa diremas.
"Victoria, aku tidak akan menyakitimu," Sean buru-buru berkata. "Aku ...baku minta maaf. Aku tidak bermaksud-"
Namun Victoria langsung menggeleng keras, tubuhnya mundur ke sandaran ranjang meski gerakannya goyah dan lambat. "Jangan mendekat ... jangan ...."
Sean ikut mundur.
Tubuhnya tampak hancur melihat reaksi itu. Mata pria itu yang selalu dingin dan tajam kini dipenuhi bayangan duka, seperti seseorang yang baru menerima hukuman paling menyakitkan.
"Victoria ... tolong dengarkan aku." Suara Sean kini bergetar. "Aku tidak ingin membuatmu takut."
Namun Victoria tidak berhenti gemetar.
Gadis itu menyandarkan punggung ke ranjang seolah ingin menembusnya, menjauh sejauh mungkin dari keberadaan Sean. Wajahnya pucat, bibirnya membiru, dan matanya dipenuhi ketakutan, ketakutan yang terlihat sangat nyata.
Padahal ...
Dalam hati kecilnya, Victoria memaki.
Dasar pria brengsek. Lihat saja nanti, kubuat kau berlutut di depanku karena membuatku terluka seperti ini, batin Victoria.
Namun aktingnya tetap sempurna. Bahkan ketakutannya terlihat begitu tulus sehingga Sean pun benar-benar percaya.
"Baik," Sean akhirnya mengendurkan bahu. "Baik, aku tidak akan menyentuhmu. Aku akan ... aku akan tetap di sini. Tapi aku tidak akan mendekat."
Ia berjalan mundur, duduk kembali di kursinya, menjaga jarak.
Namun pada saat yang sama, matanya tak pernah lepas dari Victoria.
Entah itu rasa bersalah, rasa protektif, atau sesuatu yang lebih gelap, tidak ada yang tahu. Yang jelas, saat itu Sean terlihat seperti seseorang yang siap melakukan apa pun untuk memastikan gadis itu tidak menderita lagi.
Beberapa jam kemudian
Perawat yang ditunjuk Sean datang untuk memeriksa kondisi Victoria. Setelah membersihkan lukanya dan mengganti perban, perawat itu pun pergi. Sepanjang pemeriksaan, Victoria terus menatap Sean dengan ketakutan, seolah pria itu bisa meledak kapan saja.
Sean menyadari itu.
Dan tatapan itu menusuknya seperti ratusan jarum halus.
Begitu perawat pergi, keheningan kembali menyelimuti ruangan.
Sean mengambil mangkuk kecil berisi bubur yang baru saja dibuatkan staf dapur. Makanan itu masih mengepul, aroma lembutnya memenuhi kamar.
"Victoria," suara Sean lembut, hati-hati, seolah ia berbicara pada anak kecil. "Kau harus makan sesuatu. Kau pingsan cukup lama."
Begitu melihatnya mendekat membawa mangkuk, Victoria langsung mengecilkan tubuhnya lagi.
"Jangan ...," gumam Victoria.
"Aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya ingin kau makan." Sean berhenti dua langkah dari ranjang, menunjukkan mangkuk itu tanpa mendekat lebih jauh. "Kalau kau takut, aku akan meletakkannya di sini."
Sean meletakkan mangkuk itu di meja kecil di sisi ranjang, jarak yang aman.
Victoria menatap mangkuk itu, lalu menatap Sean, seolah memastikan bahwa pria itu tidak akan melakukan gerakan mendadak.
Sean mundur perlahan. "Makanlah kalau kau mau. Aku tidak akan memaksamu."
Victoria memejamkan mata, menahan emosi.
Lalu perlahan, ia mengulurkan tangan ke mangkuk itu, mengambil sendok, dan memulai suapan pertama. Tangannya gemetar, seolah ia benar-benar ketakutan.
Sean memalingkan wajah, tak sanggup menahan rasa bersalah ketika melihat betapa rapuhnya Victoria saat itu.
Tentu saja, Victoria hanya berakting.
Namun keahliannya membuat dunia seakan runtuh di hadapan Sean.
Siang harinya ...
"Kalau ada apa pun yang kau butuhkan," Sean berbicara pelan, suaranya terdengar serak. "Katakan padaku. Aku ... akan memperbaiki semua ini."
Victoria tidak menjawab.
Ia hanya membungkuk, memeluk lutut dan menatap lantai, seperti seseorang yang patah.
Sean menggenggam rambutnya dengan tangan gemetar, frustrasi dengan dirinya sendiri.
Pria itu ingin memeluk gadis itu, ingin mengatakan bahwa ia menyesal, ingin memerbaiki semuanya, tapi ia tahu bahwa Sean adalah sumber ketakutan gadis itu.
Yang ia tidak tahu adalah bahwa Victoria sedang menyusun langkah selanjutnya dalam kepalanya dengan tenang.
Tragedi kecil ini cukup bagus. Dia akan merasa bersalah berhari-hari. Enaknya harus bagaimana lagi, ya, batin Victoria yang kesenangan melihat seorang Sean yang selama ini arogan kini lemah karena perempuan yang ia sukai
Ketika senja masuk ke jendela kamar, Sean masih di sana. Tidak makan, tidak tidur, tidak melakukan apa pun selain memandangi Victoria yang tampak ketakutan setiap kali mata mereka bertemu.
Sean merasa tidak berdaya.
Victoria sendiri masih memainkan peran korban trauma yang sempurna.
Terkadang ia akan menangis pelan tanpa suara.
Terkadang tubuhnya tiba-tiba gemetar.
Terkadang ia meminta air namun begitu Sean mendekat untuk mengambilkan, Victoria langsung tersentak mundur hingga membuat pria itu berhenti dan enggan bergerak.
Pertunjukan itu sangat efektif.
Sean benar-benar percaya kalau Victoria trauma.
Dan ia merasa bahwa itu sepenuhnya salahnya.
Saat malam turun, Sean akhirnya berdiri, pertama kalinya setelah duduk seharian.
"Aku akan menurunkan suhu AC sedikit. Kau tidak perlu takut, aku tidak akan mendekat," kata Sean.
Victoria tidak menjawab, tapi matanya mengawasi setiap gerakan Sean, seolah memastikan pria itu benar-benar tidak akan menyakitinya.
Ketika Sean melangkah ke mesin pengatur suhu di dinding.
Ponselnya berdering.
Sean sempat mengabaikannya, namun panggilan itu terus berdering dan berasal dari salah satu tangan kanannya. Dengan enggan, ia mengambil ponsel dan menerima panggilan itu.
"Ya?" suaranya tegas, tapi terdengar lelah.
"Sir," suara di seberang terdengar panik dan gemetar. "Ada kabar buruk. Sangat buruk."
Sean menegang. "Katakan."
Beberapa detik hening.
Lalu ...
"Gerald Lemington ... meninggal."
Sean mematung. Wajahnya membeku tanpa emosi.
"Apa yang kau bilang?" konfirmasi Sean.
"Sang tetua, Gerald Lemington ditembak oleh putra pertamanya, Sir. Dia meninggal di tempat, di ruang kerjanya," lapor orang di seberang.
Suasana kamar menjadi hening.
Victoria yang sedang menunduk pun terhenti, mendengar ketegangan di suara Sean.
Sementara Sean ....
Pria itu berdiri seperti patung, tidak bergerak, tidak bernapas, matanya menatap kosong ke dinding.
Pria yang biasanya tidak terguncang oleh apa pun kini tampak terpaku seolah dunia bergeser di depan matanya.
Gerald Lemington, orang paling berpengaruh, paling tua, dan paling berbahaya dalam keluarga Lemington.
Ditembak oleh anaknya sendiri.
Ini bukan sekadar tragedi keluarga.
Ini adalah awal kekacauan jauh lebih besar.
"Kau yakin?" suara Sean akhirnya keluar, rendah dan mengancam.
"Benar, Sir. Polisi sudah di lokasi. Julius bahkan juga ada di sana. Kami dengar kondisi rumah kacau balau," jawab orang di seberang telepon.
Sean mengepalkan tangan.
Ia menutup telepon tanpa berkata apa-apa lagi.
Lalu ia berdiri diam beberapa detik, napasnya memberat. Pikirannya bergerak cepat, menghitung, menganalisis, dan menyusun kemungkinan.
Namun saat ia hendak melangkah keluar kamar ...
Suara lirih terdengar dari ranjang.
"Sean?" suara Victoria sangat pelan, sangat hati-hati, namun terdengar ketakutan.
Sean berhenti di tempat.
Ia menoleh perlahan.
Victoria memandangnya dengan mata berkaca-kaca, tubuhnya gemetar halus, sebuah kombinasi luka dan ketergantungan palsu yang begitu sempurna hingga Sean sendiri terhenyak.
Rasa bersalah kembali menghantam dadanya.
Benturan Gerald Lemington. Rasa bersalah pada Victoria. Ancaman kekacauan keluarga Lemington. Kewajiban. Kemarahan. Dan penyesalan
Campur jadi satu dalam dirinya.
Sean akhirnya kembali ke sisi ranjang, meski Victoria tampak takut ketika ia mendekat.
"Aku tidak akan jauh," kata Sean pelan. "Aku akan mengurus situasi ini. Tapi aku tidak akan meninggalkanmu."
Victoria menunduk, seolah takut sekaligus lega.
Padahal dalam hatinya ...
Bagus. Sangat bagus. Ini bahkan lebih baik dari rencana awal. Kau melakukannya dengan baik Julius.
Sean meraih ponsel dan menginstruksikan anak buahnya untuk berkumpul di ruang tamu.
Ia menatap Victoria sekali lagi.
"Aku akan kembali," kata Sean.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Sean pergi dengan langkah berat, bukan karena musuh atau ancaman, tetapi karena seorang gadis kecil di ranjang itu yang membuatnya merasa bersalah sampai ke tulang.
happy ending 👏👍
terimakasih thor, sukses dgn karya-karyanya di novel 💪
S
E
H
A
T
SELALUUU YAAAA💪💪💪💪❤️☕️
Hanya kamu yang tau thoorrr...
q suka....q suka...q suka
tarik siiiiiiisssss💃💃💃💃
Violetta Henry
wkwkwk
bener² kejutan yang amat sangat besaaarr...
kusangka hanya PION dr SEAN...nyata oh ternyata...daebaaaakkkk👏👏👏👏👏👏👏
kebuuut sampai 400 episode thooorrr...
bagis banget alur cerita ini...☕️☕️☕️
lanjutin Thor semangat 💪 trimakasih salam 🙏
eh, ngomong² gmn tuh dgn Sean skrg
Sean dah dipenjara, semoga aja gak bikin ulah lagi, tapi kayaknya gak bisa diem deh Sean