Sudah empat tahun lamanya Aini menikah dengan suaminya Rendra. Namun dia tahun terkakhir Rendra tak bekerja. Sehingga kebutuhan sehari-hari di bantu bapak mertuanya. Terkadang Aini terpaksa memasak sebungkus mie instan untuk lauk makannya dirinya dan anaknya.
Disaat himpitan ekonomi, suaminya pun bertingkah dengan kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tika Despita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Aku kembali ke pantry bersama Mbak Cici. Ada sedikit rasa lega setelah mengetahui siapa pelaku yang mengurungku di ruang pendingin, ternyata Mbak Lastri. Yang lebih mengejutkan lagi, dia sepupu Dela, wanita yang merebut suamiku sendiri. Rasanya seperti menelan pil pahit dua kali.
"Aini, kok ada ya wanita setega itu sama wanita lain? Sampai mencelakai kamu. Padahal dia tuh udah menang karena bisa memiliki suami kamu!" ucap Mbak Cici sambil geleng-geleng kesal.
"Mungkin dia masih merasa kalau aku mau merebut Rendra lagi, Mbak. Gimanapun, memiliki seseorang dari hasil merampas milik orang lain itu gak akan bikin dia tenang. Dia pasti takut suatu saat apa yang dia rampas bakal dirampas orang lain," jawabku pelan.
"Benar juga sih.." Mbak Cici mengangguk, wajahnya tampak masih geregetan.
Dia lalu sedikit menunduk mendekatiku, suaranya mengecil.
"Tapi bisa aku lihat loh, Pak Arsya itu perhatian banget sama kamu! Kamu nggak ngerasa?"
Aku refleks menepis, “Perasaan Mbak aja itu. Mungkin karena kami tetanggaan aja, kali. Lagian Ibu aku kan kerja di rumah Pak Arsya,”jawabku buru-buru
“Hmmm, itu cuma menurut kamu. Tapi menurut orang lain pasti beda.” Mbak Cici berkacak pinggang, tatapannya menggoda.
“Misalnya nih ya, kalau Pak Arsya beneran suka sama kamu, terus ingin serius sama kamu, gimana?”
Aku terdiam. Ucapan itu seperti batu kecil yang dilem ke permukaan air, menimbulkan riak dalam dadaku. Tak pernah sekalipun aku memikirkan soal pengganti Rendra. Luka yang dia tinggalkan masih terlalu nyata. Bahkan bayangan untuk dekat dengan pria lain saja membuat dadaku mengeras.
“Aini juga nggak tahu, Mbak,” Aku menunduk.
“Entah kenapa rasanya hati Aini masih hambar.”
Mbak Cici menepuk pundakku lembut, ekspresinya penuh simpati. “Buka hati kamu, Aini. Gak semua pria itu kayak mantan suami kamu. Kamu masih muda. Kamu masih bisa dapat jodoh yang jauh lebih baik.”
Aku tersenyum kecil, meski rasanya lebih seperti upaya menenangkan orang lain dibanding diriku sendiri.
“InsyaAllah, Mbak. Tapi sekarang Aini benar-benar mau fokus buat kebahagiaan anak Aini dulu.”
Mbak Cici menatapku lama. Lalu merangkul bahuku sebentar sebelum kami kembali ke pekerjaan masing-masing. Benar kata beliau, aku terlalu larut dalam luka, sampai lupa rasanya ingin bahagia.
**
Saat ini, aku mengantarkan teh untuk Mbak Vera dan Mbak Risa. Tumben sekali mereka ingin ngeteh jam segini. Sesampainya di meja kerja mereka, aku meletakkan dua cangkir teh hangat.
“Ini tehnya, Mbak,” ucapku sambil tersenyum.
Mbak Risa mengangguk ramah seperti biasa, sedangkan Mbak Vera.. ya, tetap dengan sikap acuhnya yang sudah jadi ciri khas.
Belum sempat aku berbalik, Mbak Risa memanggil.
“Aini, aku ingin bicara sama kamu.”
Aku menoleh. “Mau bicara apa, Mbak?”
“Ayo ke rooftop. Ada sesuatu yang pribadi, ingin aku bahas.” Nada suaranya lebih lebih terdengar serius kali ini.
Tanpa menunggu jawabanku, ia langsung berjalan menuju tangga darurat. Aku sempat saling pandang dengan Mbak Vera, yang hanya pura-pura sibuk dengan komputernya.
Ada sedikit rasa deg-degan. Entah kenapa firasatku mengatakan pembicaraan ini tidak sederhana.
Dengan langkah perlahan, aku mengikuti Mbak Risa menuju rooftop perusahaan. Angin siang hari menyambut dari balik pintu besi, seolah ikut menunggu percakapan yang akan terjadi diantara kami.
**
“Ada apa Mbak? Apa yang ingin Mbak bicarakan?” tanyaku pelan. Aku mendekat beberapa langkah ke arah Mbak Risa yang berdiri membelakangi, menatap langit siang yang sedikit mendung. Angin di rooftop berembus pelan, membuat anak rambutnya ikut menari.
“Kamu tau nggak… seperti apa hubungan aku dan Arsya?”
Suara itu terdengar datar, tapi ada getaran halus di ujungnya.
Pertanyaan itu langsung membuat lututku rasanya mau copot. Oke. Ini pasti pembicaraan sensitif. Dan ya,sepertinya dia mulai salah paham tentang aku dan Mas Arsya.
“Saya nggak tau, Mbak. Yang saya tau, Mbak wanita yang dekat dengan beliau,” jawabku hati-hati.
Mbak Risa menarik napas panjang, lalu menoleh sedikit padaku. “Aku dan Arsya saling cinta dan sayang.” Nada suaranya terdengar berat, seperti ada kalimat lain yang menyesakkan dadanya.
Aku hanya diam, menunggu.
“Tapi akhir-akhir ini, dia seperti menjauh dari aku, Aini.” Ia menatapku lurus, kali ini suaranya lebih tegas.
“Kamu paham kan arah ucapanku?”
Aku mulai merasakan aroma kecemburuan di setiap kata yang keluar dari mulutnya.
“Hubungan aku dan Arsya bukan cuma sekadar kekasih. Kami sudah lebih dari itu. Kami.. memiliki seutuhnya satu sama lain.”
Memiliki seutuhnya? Please deh, itu kan bahasa puitis yang cuma buat bikin orang salah paham. Padahal aslinya aku udah tahu betul hubungan mereka sudah kelewat batas meski belum nikah. Bercocok tanam duluan, baru mikir masa depan belakangan.
“Maksud Mbak bilang begini ke saya apa, ya?” tanyaku, pura-pura bodoh padahal aku udah bisa nebak kemana arah anginnya.
Mbak Risa melipat tangan di depan dada. “Aku cuma mau bilang, aku nggak suka perhatian Arsya beralih dari aku. Dan akhir-akhir ini aku lihat dia cukup perhatian sama kamu.”
Aha. Intinya mbak Risa itu cemburu saat ini sama aku.
“Mbak nggak usah salah paham. Saya dan Pak Arsya nggak ada hubungan apa-apa,” kataku menahan nada suaraku agar tetap sopan.
“Beliau perhatian karena Ibu saya kerja di rumahnya. Lagian, kami juga tetangga. Itu saja.”
Aku menatapnya dengan perlahan.
“Dan kalau arah omongan Mbak itu maksudnya Mbak nggak suka saya dekat-dekat dengan Pak Arsya, ya sudah. Mbak tenang saja. Saya nggak punya perasaan apa pun sama beliau, selain menghormati beliau sebagai atasan.”
Mbak Risa menatapku lama.
Aku memutuskan untuk menegaskan sekali lagi.
“Saya juga nggak berniat menggaet beliau. Saya sadar diri, Mbak.”
“Baguslah kalau kamu mengerti.”
Ia tersenyum tipis,senyum yang tidak sampai ke mata.
Dalam hati, aku langsung paham.
Beginilah sifat asli Mbak Risa yang egois, penuh rasa memiliki, dan sedikit, obsesif dengan Mas Arsya. Aku nggak tahu apa yang dia lihat dari pria itu selain status dan perhatiannya, tapi jelas ikatan di antara mereka sudah kebablasan.
“Kalau begitu, kalau nggak ada lagi yang ingin Mbak sampaikan, saya pamit duluan.”
Aku menunduk sedikit lalu berjalan menuju pintu tangga darurat.
Namun begitu aku membuka pintu.. Aku langsung terlonjak kaget.Di sana berdiri Mas Arsya.
Dengan ekspresi yang sulit sekali kugambarkan saat jni. Antara kaget, bingung, dan seperti menyimpan sesuatu yang tidak sempat ia tutup rapat.
Jantungku langsung rontok ke perut.
Fiks. Aku dijebak Mbak Risa. Sengaja dia pilih rooftop, sengaja dia ngomong keras-keras, sengaja dia bikin aku mengucapkan penegasan barusan. Dia ingin lihat reaksi Mas Arsya dari balik pintu.
Dan aku benar-benar masuk dalam permainannya.
Now what? Aku udah terlanjur ngomong panjang lebar. Perasaan Mas Arsya,entah apa pun itu, pasti juga berubah melihat semuanya.
Dan aku? Hanya bisa berdiri mematung, berharap angin rooftop bisa membawa aku kabur dari sini. Karena apa yang aku ucapkan tak akan bisa aku tarik lagi.