Zona Khusus Dewasa
Adriel (28), sosok CEO yang dikenal dingin dan kejam. Dia tidak bisa melupakan mendiang istrinya bernama Drasha yang meninggal 10 tahun silam.
Ruby Rose (25), seorang wanita cantik yang bekerja sebagai jurnalis di media swasta ternama untuk menutupi identitas aslinya sebagai assassin.
Keduanya tidak sengaja bertemu saat Adriel ingin merayakan ulang tahun Drasha di sebuah sky lounge hotel.
Adriel terkejut melihat sosok Ruby Rose sangat mirip dengan Drasha. Wajah, aura bahkan iris honey amber khas mendiang istrinya ada pada wanita itu.
Ruby Rose tak kalah terkejut karena dia pertama kali merasakan debaran asing di dadanya saat berada di dekat Adriel.
Bagaimana kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yita Alian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 ACICD - Ruby Kena Sanksi
Ruang redaksi GMG siang itu ramai oleh suara keyboard dan dering telepon, tapi di sudut dekat meja redaktur pelaksana, suasananya … tegang.
Seorang wanita muda dengan paras cantik berdiri di sana. Ya, itu Ruby. Dia mengenakan one set midi dress berwarna cream dengan kesan vintage modern.
Sebuah pita lembut berwarna cokelat tua melingkar di pinggangnya, memperjelas lekuk tubuh Ruby. Dari lehernya tergantung ID card dengan lanyard hitam.
Di depan meja, Rion menatapnya sambil menghela napas berat. Ruby paham. Pasti sang redaktur sangat ingin menjadikannya dadar gulung karena ratusan panggilannya tak terjawab oleh Ruby.
"Kamu tahu kalau kamu melewatkan tiga liputan penting, Ruby!?" suara Rion yang di tahan akhirnya menggelegar, keras, membuat beberapa reporter juga redaktur di dekat situ kaget. Walaupun begitu, mereka pura-pura fokus ke layar, tapi telinga mereka aktif mendengarkan.
Ruby merapikan posisi kacamatanya, mencoba menyusun napas. Pipinya terasa panas. "Iya Kak, saya minta maaf. Saya mengaku lalai." Dia tidak bisa beralasan karena alasan apapun tidak akan diterima, kecuali mendesak. Tidak mungkin juga Ruby bilang kalau dia telat bangun karena mimpi anu.
Rion mengetukkan bolpoin ke permukaan meja. "Ya, memang kamu lalai, sudah sepatutnya kamu minta maaf. untung ada reporter lain yang bisa back up tiga liputan kamu itu!"
"…"
"Jangan berpikir kamu mendapatkan liputan spesial dari ibu pimred maka kamu bisa seenaknya, Ruby!"
Ruby menggeleng ringan, "saya tidak berpikir seperti itu, Kak."
Rion mengembuskan napas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. "Jangan ulangi lagi!"
"Dimengerti, Kak."
Hening sejenak.
"Oh iya… selamat… naskah kamu mengenai CEO Shariel Tech sangat bagus, sekarang jadi trending karena GMG bisa mendapatkan liputan ekslusif itu," kata Rion mengapresiasi.
Ruby mengangkat sudut bibirnya kaku. "Terima kasih, Kak."
Rion kemudian meraih map cokelat. "Tapi, bukan berati kamu akan lolos karena kelalaian kamu."
Waduh. Apa nih? Dari nada bicara Rion sepertinya Ruby akan diberi sanksi.
"Kamu ambil penugasan ini." Map di tangan Rion disodorkan kepada Ruby. Wanita muda itu menerimanya dengan kedua tangan.
"Lokasinya agak terpencil," lanjut sang redaktur. "Jangan mengecewakan saya lagi, Ruby!"
Wanita cantik itu mengangguk cepat. "Baik, Kak."
Saat Ruby membalikkan badan, langkah boots cokelatnya terdengar pelan dan tegas. Beberapa rekan kerja mencuri pandang padanya, ada yang simpatik, juga geli. Namun dia hanya menarik napas panjang, lalu membuka map sambil berjalan menuju meja kerjanya.
Di halaman depan penugasan itu tertulis, Liputan Feature: Hidden Culture Project.
Sesampai di kursinya, Ruby meletakkan tas lalu duduk dengan mata yang tetap fokus pada isi map penugasannya.
***
Di tempat lain, dalam ruangan CEO yang luas, Adriel duduk di kursi kerja. Sorot matanya yang dingin tertuju pada layar tablet. Di situ terlihat berita tentang dirinya yang diterbitkan eksklusif di Golden Media Group.
Tak bisa dipungkiri kalau jurnalis bernama Ruby Rose itu mampu merangkai kata-kata dengan begitu terukur tanpa melebih-lebihkan. Adriel hanyut dalam tulisan Ruby Rose.
Dia bahkan menemukan beberapa kalimat yang tidak terpikirkan olehnya sama sekali.
Ah. Itu hanya tulisan, memang itu tugas reporter.
Adriel menyalakan alarm peringatan dalam dirinya sendiri untuk tidak goyah dengan Ruby Rose itu.
Selanjutnya, dia meletakkan tablet di meja. Dia mengangkat satu alis sembari jemarinya mengetuk sandaran tangan kursi.
"Setelah mencuri cake, memainkan bibirnya saat proses wawancara, bertemu tiba-tiba di klub PTT dan sok sok mau ciuman, selanjutnya skenario apa lagi yang akan dia jalankan untuk menarik perhatian aku?"
Tidak ada sahutan, hanya suara pendingin ruangan dan rasa penasaran yang membelenggu di dada Adriel sebagai jawaban pertanyaannya sendiri.
Dia kemudian menatap foto Drasha yang terbingkai rapi di atas mejanya. "Bagaimana dia mendapatkan informasi soal kamu, sayang?"
"…"
"Ohh, dia jurnalis, pastinya punya banyak cara untuk mencari tahu, mungkin dia nyewa detektif di website Roos?"
"…"
"Tapi informasi mengenai kamu sudah dilindungi maksimal, apa dia cari tahu dari orang-orang terdekat kita?"
"…"
Adriel memejamkan mata sejenak. "Bagaimana pun cara di dapetin informasi soal kamu, yang pasti dia pasti punya trik licik," gumamnya.
Pria itu lalu membuka mata dan langsung menjulurkan tangannya, menekan tombol pemanggil di meja.
Setelah beberapa saat, Hougan akhirnya muncul. Lelaki muda itu berjalan cepat ke sebelah meja Adriel.
"Ada apa, Pak?"
"Agendakan meeting dengan kepala tim keamanan keluarga malam ini, saya mau membahas kelanjutan kasus penembakan istri saya."
"Baik, Pak, saya akan segera menghubungi Pak Jeremy."
"Oh iya, sampaikan juga pada Nanny Narell kalau saya yang jemput Narell nanti."
"Baik, Pak."
Setelah itu, Adriel beranjak dari kursi dan merapikan kancing jasnya. Lantas dia berjalan menuju pintu, diikuti oleh Hougan dari belakang.
"Hougan, periksa apakah ada orang misterius yang mendekati keluarga Alveroz belakangan ini?"
"Ada apa, Pak? Apa Anda mencurigai Nona Ruby mendekati mereka?"
Adriel meruncingkan lirikan. Tadinya dia mau mengabaikan pertanyaan Hougan. Tapi, dia butuh seseorang untuk brainstorming mengenai pola yang dilakukan Ruby Rose untuk mendekatinya. Dan, asistennya ini orang yang tepat untuk itu.
"Hm, saya curiga dia mendapatkan informasi mengenai Drasha melalui orang-orang terdekat saya atau Drasha."
"Bisa jadi, Pak, karena jika mencari informasi di internet sudah pasti dia tidak bisa menemukan apa-apa walaupun dia menggunakan jasa hacker."
"Hm, makanya, kamu segera cek, kalau perlu cari tahu apa saja aktivitas Ruby Rose satu tahun belakangan ini."
Hougan manggut-manggut. "Baik, Pak."
***
Ruby berjalan masuk ke sebuah lounge karyawan yang sepi, tepat di dekat pantry. Dia menyeduh cappucino dalam sebuah cangkir untuk dinikmati sebelum dia berangkat liputan.
Baru saja Ruby mau meninggalkan pantry, tapi seorang jurnalis stylish dengan blazer dan rok mini, bermata sleepy eyes mendekat.
"Berani yah kamu nyuri liputan eksklusif yang harusnya buat aku!" cibir wanita bernama Tara.
Ruby mengerutkan kening sepintas. Dia tahu Tara ini reporter bisnis dan enterpreneurship. Dia langsung tahu alasannya dilabrak. Pasti karena naskah Ruby yang mengenai Adriel.
"Saya tidak mencuri liputan kamu, Ibu pimred yang langsung nugasin aku untuk lakuin wawancara eksklusif itu."
"Kamu bisa nolak, Ruby!"
"Iya, aku udah nolak, aku udah ngasih tau ibu pimred kalau aku ada liputan lain tapi dia tetep mau aku yang lakuin wawancara itu."
Tara menyilang tangan di dada, tatapannya terlihat sangat merendahkan Ruby. "Walaupun aku nggak di kantor kemarin, tapi banyak yang bilang kamu masuk ruangan ibu pimred setelah Kak Rion keluar dari sana." Dia maju selangkah, mendekat ke Ruby. "Pasti Kak Rion yang rekomendasiin kamu, kan?"
Ruby ingin menjawab. Tapi Tara tidak memberikan kesempatan.
"Kamu udah nyep*ng Kak Rion berapa kali sampai dia bikin kamu dapetin liputan eksklusif, hah?"
"Kamu pikir aku nggak tahu kamu sering dimarahin Kak Rion itu cuma alibi supaya hubungan kalian di belakang nggak ketauan!"
Ruby ingin sekali menyiramkan cappucino panas di cangkirnya ke wajah Tara. Tapi, kalau dia menciptakan kekacauan, nanti liputannya terlewatkan lagi.
Ruby mengedipkan mata tanpa ekspresi. Tara ini sudah keterlaluan. Baginya, Rion redaktur yang bertanggung jawab.
Pria itu benar-benar membina semua reporter tanpa membeda-bedakan mereka, kalau salah akan ditegur dan diberi sanksi, jika melakukan hal yang membanggakan akan diapresiasi.
Juga, Rion satu-satunya laki-laki di kantor ini yang tampak sangat menghargai Ruby. Di saat yang lain selalu mencoba mendekati Ruby karena kecantikannya, Rion justru tidak pandang bulu.
Ruby juga tahu kalau Rion itu pria yang sangat setia pada istrinya. Ruby pernah mendapati seorang mantan reporter yang mencoba mendekati Rion, tapi redaktur itu jelas-jelas menolaknya.
Walaupun dia sering kena marah Rion, tapi Ruby tidak suka jika senior yang dia hormati dihina tak berdasar fakta seperti itu.
Lantas Ruby mendongakkan dagu dan menajamkan sorotan mata di balik kacamatanya. Tara sempat memundurkan high heels sedikit karena merasakan tekanan dari pandangan Ruby.
"Daripada kamu ribut sama aku, kenapa kamu nggak bicara langsung sama ibu pimred dan tanyain kebenarannya," ujar Ruby dingin.
"Jangan menyamaratakan orang lain dengan kelakuan kamu, Tara," Ruby mendekatkan bibirnya di telinga Tara lalu berbisik. "Apa yang kamu tuduhin ke aku itu bukannya kelakuan kamu sendiri?"
Ruby berdesis. "Aku tahu kamu punya hubungan gelap dengan Pak Dani, wakil pimred."
Seketika itu bola mata Tara membesar. Jantungnya langsung berpacu kuat. Darimana Ruby tahu soal itu?