NovelToon NovelToon
Balas Dendam Putri Mahkota

Balas Dendam Putri Mahkota

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Fantasi Wanita / Mengubah Takdir
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: Salsabilla Kim

Pada malam pernikahannya, Hwa-young seharusnya meminum racun yang memulai kehancurannya. Namun, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali ke malam yang sama, dengan ingatan penuh akan pengkhianatan dan eksekusinya. Kini, setiap senyum adalah siasat dan setiap kata adalah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi pion yang pasrah. Menghadapi ibu mertua yang kejam dan suami yang penuh curiga, Hwa-young harus mengobarkan perang dari balik bayang-bayang untuk merebut kembali takdirnya dan menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilla Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Harga Sebuah Kemenangan

"...dia tidak akan pernah bisa mengendalikanku lagi. Mulai sekarang, Sutra Chungmae akan membanjiri Ibukota, dan aku akan pastikan Matriarch Kang tahu kalau Pangeran Mahkota..."

Suara di kepalanya terputus, bukan telepon, tapi detak jantungnya sendiri yang serasa meledak di telinga. Hwa-young tersentak, menarik paksa lengan Mae-ri menjauh dari tepian sungai yang berlumpur. Di belakang mereka, siulan panah telah berhenti, diganti oleh pekikan marah dan jeritan terakhir yang membelah udara malam. Jejak pertempuran kecil itu, bau anyir darah dan tanah basah, terasa menusuk hidung.

"Kita harus pergi dari sini, Yang Mulia! Sekarang!" desis Mae-ri,  bergetar karena adrenalin. Tangannya yang gemetar mencengkeram lengan Hwa-young yang kotor dan dingin.

"Sutranya, Mae-ri. Bagaimana dengan Sutranya?" tuntut Hwa-young, napasnya tersengal. Setiap kata adalah perjuangan melawan rasa panik yang membakar dadanya.

"Sora berhasil! Kapal terakhir sudah meluncur ke gudang distribusi baru, tepat seperti perintah Anda! Tapi Pangeran Mahkota..."

"Dia menuai apa yang dia tabur," potong Hwa-young,  lebih tajam dari yang ia niatkan. Ada sedikit rasa bersalah yang menusuknya karena meninggalkan Yi Seon, tapi ia menepisnya dengan brutal. Ini perang. Dan dalam perang, prioritas adalah segalanya. Sutra itu adalah senjatanya, dan senjata itu harus sampai ke target. Monopoli Matriarch Kang harus runtuh malam ini.

Mereka berlari menembus semak belukar, menyusuri jalan setapak tersembunyi yang hanya diketahui segelintir orang. Aroma hutan setelah hujan, campuran daun busuk dan lumpur dingin, melekat di pakaian mereka seperti dosa yang tak terhapuskan. Setiap derap langkah mereka adalah detik yang dicuri dari Matriarch Kang, detik yang akan menjadi keuntungan telak di pasar saat fajar menyingsing.

*

Satu jam kemudian, aroma hutan telah berganti dengan wangi cendana yang menenangkan di Paviliun Bulan Baru. Hwa-young menatap pantulan dirinya di cermin perunggu. Mae-ri, dengan tangan yang cekatan dan cepat, telah menghapus semua jejak pelarian mereka. Pakaian pedagang yang compang-camping kini teronggok di sudut ruangan, siap untuk dibakar, digantikan oleh hanbok sutra berwarna gading yang anggun. Keindahan dan kemewahan istana kembali membungkusnya, menjadi topeng yang jauh lebih kuat daripada jelaga yang tadi menutupi wajahnya.

Aku bukan lagi wanita di tepi sungai itu, batinnya, menegakkan punggung. Aku adalah Putri Mahkota.

"Jenderal Kim sudah kembali, Yang Mulia," bisik Mae-ri, jarinya dengan cepat merapikan jepit rambut giok di sanggul Hwa-young. "Beliau baik-baik saja, tapi menolak bicara dengan siapapun. Wajahnya ... keras."

Hwa-young mengangguk, matanya tak lepas dari bayangannya sendiri. "Dia melindungi Pangeran Mahkota. Mereka pasti sedang merangkai cerita untuk menutupi apa yang terjadi di luar sana."

"Lalu ... cerita kita, Yang Mulia?" tanya Mae-ri. 

Bibir Hwa-young melengkung membentuk senyum sinis. "Cerita kita? Kita tidur lelap, Mae-ri, terbuai mimpi indah tentang gaun sutra baru. Kita tidak tahu apa-apa tentang panah atau pertumpahan darah. Pastikan semua bukti di ruang ganti belakang musnah. Jangan tinggalkan sehelai benang pun."

"Sudah, Yang Mulia. Sudah saya bakar dan abunya saya sebar di lubang kompos terjauh."

Tepat saat itu, suara langkah kaki yang berat dan berwibawa terdengar di koridor. Langkah yang familier, tetapi malam ini terdengar berbeda, lebih tegas, lebih berbahaya. Pintu geser terbuka tanpa ketukan.

Yi Seon masuk.

Penampilannya adalah gambaran kekacauan yang coba ditahan. Jubah sutranya robek di bagian lengan, noda lumpur mengotori lutut celananya, dan goresan darah yang sudah mengering membekas di rahangnya yang tegas. tetapi matanya ... matanya adalah topeng yang paling tebal. Dingin, tenang, dan penuh perhitungan.

Pandangannya tertuju pada Mae-ri sejenak. "Tinggalkan kami. Buatkan aku teh jahe."

"Baik, Yang Mulia." Mae-ri membungkuk dalam dan bergegas keluar, menutup pintu dengan sangat pelan.

Hening. Udara di ruangan itu terasa berat, sarat dengan pertanyaan yang tak terucap. Yi Seon tidak langsung menatap Hwa-young. Ia berjalan ke meja kerja, menyingkirkan beberapa gulungan dengan gerakan yang disengaja, seolah memberinya waktu untuk mempersiapkan diri. Atau mungkin, memberi waktu untuk dirinya sendiri meredam amarah.

"Aktingmu hampir sempurna, Hwa-young," ucap Yi Seon akhirnya,  rendah dan serak, tanpa menoleh.

Hwa-young berhasil menjaga wajahnya tetap tenang. "Akting apa yang Anda maksud, Yang Mulia?"

Yi Seon akhirnya berbalik. Matanya yang tajam mengunci pandangan Hwa-young, seolah mencoba menembus lapisan sutra dan kepura-puraan yang membungkusnya. "Di tepi sungai. Jangan main-main denganku. Aku tidak sedang menyergap Garam. Aku mengikuti laporan Jenderal Kim tentang rute penyelundupan baru di luar kota."

"Itu area yang berbahaya," sahut Hwa-young, nadanya dibuat terkejut. "Syukurlah Anda selamat. Pasti para bandit itu yang menyerang Anda."

"Bukan bandit," desis Yi Seon, melangkah mendekat. "Aku melihat sepasang pedagang kecil. Kotor, basah, dan tampak ketakutan. Aku bahkan sempat menyentuh dagu si wanita. Dan aku melihat matanya. Mata yang sama yang sedang menatapku sekarang. Tenang, dingin, dan ... familier. Kau meninggalkanku di sana, Hwa-young."

Hwa-young memutuskan untuk berhenti bermain sandiwara. Kebohongan tidak akan berguna lagi. Ia harus mengubah narasi.

"Gudang itu terbakar. Terowongan dihancurkan. Matriarch Kang hampir memusnahkan Serikat Penangkap Ikan dan mengancam Anda dengan persidangan palsu," balas Hwa-young, tatapannya tak gentar. "Dia pikir aku akan bersembunyi ketakutan. Anda sibuk membelaku di istana, jadi aku harus memastikan harapan terakhir kita tidak ikut terbakar bersamanya."

"Jadi kau mengakui berada di sana?" Yi Seon semakin mendekat,  menekan. "Tepat di lokasi operasi militer kecil Matriarch Kang?"

"Tentu saja," jawab Hwa-young. "Karena aku tidak bisa hanya duduk manis sementara dia membakar masa depan Kekaisaran ini. Aku harus memastikan Chungmae masih bernapas."

"Bagus," Yi Seon mengangguk pelan, ada kilat aneh di matanya, bukan amarah murni, tapi sesuatu yang lebih rumit. Mungkin ... rasa hormat yang enggan. "Cukup dramanya. Sekarang kita bicara soal intinya."

Ia menarik sebuah kursi, meletakkannya di tengah ruangan, dan memberi isyarat agar Hwa-young duduk di seberangnya. Ini bukan lagi interogasi, melainkan negosiasi.

"Hwa-young," Yi Seon memulai,  kembali tenang dan terukur, seolah mereka sedang membahas strategi perang. "Jawab aku dengan jujur. Sutra selundupanmu itu, apakah itu tindakan kriminal atau tindakan heroik?"

"Apakah mematahkan cengkeraman tiran yang mencekik rakyat dengan harga selangit bisa disebut kriminal, Yang Mulia?" balas Hwa-young. "Kriminalitas merusak tatanan. Tapi tatanan yang diciptakan Matriarch Kang adalah tatanan yang busuk sampai ke akarnya."

"Hukum tetaplah hukum. Kau melanggar Hukum Impor Komoditas Kekaisaran," tekan Yi Seon, menguji pertahanannya.

"Dan aku siap menghadapi pengadilan Kekaisaran untuk itu," jawab Hwa-young tegas. "Tapi bukan pengadilan boneka Matriarch Kang. Sutra itu bukan untuk memperkaya diriku. Sutra itu adalah senjata untuk menghancurkan monopolinya, untuk membebaskan para Lady bangsawan dari kendali sosialnya."

Yi Seon menghela napas, menyandarkan punggungnya. "Pembelaan yang bagus. Tapi bagaimana aku bisa yakin jaringan bayanganmu ini tidak akan menjadi Matriarch Kang yang baru? Semua penjahat selalu menganggap diri mereka pahlawan, Hwa-young."

Hwa-young melihat celah. Yi Seon tidak menentangnya, dia hanya ragu. Dia takut mengganti satu monster dengan monster lainnya.

"Anda ingin bukti?" Hwa-young mencondongkan tubuhnya. "Biarkan Sutra itu membanjiri pasar besok. Biarkan para Lady itu memilih. Loyalitas mereka yang dibeli dengan sutra mahal Kang akan runtuh dalam semalam. Pengaruh sosialnya, tulang punggung kekuasaan politiknya, akan hancur."

"Jadi kau memprioritaskan kehancuran politiknya di atas hukum?"

"Aku memprioritaskan Keadilan," balas Hwa-young, menekankan kata itu. "Matriarch Kang sudah bertahun-tahun beroperasi di luar hukum. Melawannya dengan cara konvensional adalah bunuh diri. Anda melawannya dengan politik, aku melawannya dengan ekonomi."

Yi Seon terdiam sejenak, lalu matanya menajam lagi. "Garam. Kenapa Garam? Itu bukan barang mewah. Itu kebutuhan pokok. Saat dia menyitanya, kau tahu itu akan menciptakan kekacauan massal."

"Justru itu intinya," kata Hwa-young. "Dia ingin menjadikan kelaparan sebagai senjata. Chungmae didirikan untuk melawan itu. Keadilan berarti semua orang berhak makan. Garam yang kami selundupkan dari Utara bukanlah kejahatan, itu adalah pengembalian hak rakyat."

"Kau bicara seolah sedang memimpin perang di seluruh penjuru Kekaisaran," desis Yi Seon. "Seorang Putri Mahkota yang seharusnya sibuk menyulam tiba-tiba menjadi ahli logistik dan strategi. Siapa kau sebenarnya, Hwa-young?"

Hwa-young menelan ludah. Pertanyaan itu terlalu dekat dengan rahasia terbesarnya. Dia harus berhati-hati.

"Aku belajar dengan cepat, Yang Mulia," katanya, mencoba menjaga  tetap stabil. "Almarhumah Ibunda Ratu pernah menasihatiku,  'Kekuasaan sejati tidak ada di singgasana, tapi di pasar.' Aku hanya mengaktifkan kembali jaringan intelijen pasarnya yang sudah lama tertidur. Kekuatan Kang berakar di ekonomi. Cabut akarnya, maka pohon beracun itu akan tumbang."

Yi Seon memijat pelipisnya, tampak lelah. Aroma teh jahe yang dibawa Mae-ri mulai menguar, sedikit melembutkan ketegangan di antara mereka.

"Kau memintaku untuk menutup mata pada pelanggaran hukum demi apa yang kau sebut keadilan."

"Aku memintamu untuk memilih sisi yang benar," balas Hwa-young, menatapnya lurus. "Anda adalah Pangeran Mahkota. Andalah yang berhak mendefinisikan tatanan baru. Jika Anda melindungi tindakan kami malam ini, semua bangsawan yang bimbang akan melihat bahwa ada kekuatan baru yang patut diperhitungkan selain Matriarch Kang."

"Kekuatan yang baru saja membuatku hampir terbunuh," ujar Yi Seon getir. "Dia tidak lagi bermain-main, Hwa-young. Dia sudah mulai membunuh."

"Dan di situlah kemitraan kita berperan," sahut Hwa-young cepat. "Anda adalah perisai hukum dengan Jenderal Kim di sisi Anda. Aku adalah pisau bedah yang memotong kanker Kang di pasar. Kita tidak perlu saling suka, Yang Mulia. Kita hanya perlu saling membutuhkan untuk satu tujuan,  menghancurkan hegemoni Keluarga Kang."

Yi Seon menarik napas dalam-dalam. "Dan Sutra yang kini membanjiri pasar ... itu juga bagian dari rencanamu untuk menarik sekutu, bukan? Bukan murni kebaikan hati."

Hwa-young tidak menyangkalnya. "Setiap revolusi butuh pengeras suara. Sutra itu adalah pengeras suara Chungmae. Ketika Matriarch Kang menghukum para Lady karena membeli sutra yang lebih baik dan lebih murah, dia akan menunjukkan sifat aslinya. Para Lady itu akan menjadi mata dan telinga kita di dalam istana."

Yi Seon menggelengkan kepalanya perlahan, senyum tipis yang getir terukir di bibirnya. "Kau merancang kekacauan dengan presisi yang menakutkan."

"Kekacauan terkadang diperlukan untuk menumbuhkan sesuatu yang baru."

Yi Seon terdiam, pandangannya menerawang ke luar jendela, ke arah Ibukota yang sebentar lagi akan dikejutkan oleh gelombang Sutra baru.

"Dia pasti sudah tahu kau selamat," kata Yi Seon pelan. "Dan saat fajar, dia akan mencium bau Sutra Chungmae di pasar. Dia tidak akan lagi mengancam dengan persidangan. Dia akan melancarkan serangan balasan yang brutal."

"Aku tahu," Hwa-young setuju. "Dia akan menyerang Sutra dan Garam sekaligus. Tapi Sutra sudah terlalu menyebar untuk dihentikan. Jadi dia akan kembali ke sumber kekuatannya yang lain. Sesuatu yang lebih vital dari Garam."

"Apa itu?"

"Bijih Besi," kata Hwa-young, matanya berkilat. "Dia menimbun Bijih Besi Kekaisaran di gudang rahasia di balik Tembok Timur. Gudang yang seharusnya berisi gandum, tapi malah diisi dengan bahan baku senjata ilegalnya. Jika kita bisa merebutnya, kita melumpuhkan kemampuan militernya untuk menyerang."

Antusiasme yang tak bisa disembunyikan muncul di mata Yi Seon. Perdebatan filosofis mereka telah berubah menjadi sesi perencanaan strategi militer.

"Kau ingin kita mencuri Bijih Besi miliknya?" tanya Yi Seon, nada  berubah, lebih hidup.

"Bukan mencuri," koreksi Hwa-young. "Kita akan mengamankannya atas nama Kekaisaran, sebelum dia menggunakannya untuk mempersenjatai pasukan pribadinya. Ini adalah misi penyelamatan aset negara, Yang Mulia."

"Gudang itu pasti dijaga ketat oleh unit elite-nya."

"Tuan Park," kata Hwa-young. "Pejabat yang baru kita rekrut. Dia punya akses ke semua laporan suplai. Dia tahu jadwal pergantian penjaga dan kata sandi hariannya. Sora pasti sudah menghubunginya."

Yi Seon merenung, jarinya mengetuk-ngetuk meja. "Jika kita melakukannya dan gagal, atau bahkan berhasil, dia akan menuntut eksekusimu di depan umum, Hwa-young."

"Itu risiko yang harus kuambil," balas Hwa-young. "Tanpa Bijih Besi itu, dia hanyalah seekor harimau ompong di dalam istana."

Yi Seon berdiri, berjalan ke sisinya di dekat jendela. Udara fajar yang dingin terasa menembus kaca, membawa aroma sisa asap dari gudang yang terbakar.

"Kita sudah terlalu jauh untuk mundur," kata Yi Seon,  kini mengandung nada kekhawatiran yang tulus. "Setiap kemenangan yang kita raih, membuatmu menjadi target yang lebih besar. Kau tidak lagi hanya di bawah pengawasanku. Kau kini musuh utamanya."

"Maka lindungi aku, Yang Mulia," balas Hwa-young lembut, tetapi tatapannya tajam. "Perintahkan Jenderal Kim bersiap. Kita harus bergerak malam ini juga, sebelum Matriarch Kang menyadari dompetnya baru saja dijarah."

*

Malam harinya, Paviliun Bulan Baru menjadi pusat komando yang senyap. Hwa-young dan Yi Seon duduk saling berhadapan di depan meja rendah, secarik peta Ibukota terbentang di antara mereka. Jenderal Kim baru saja tiba, napasnya terengah-engah setelah berlari dari titik pertemuan rahasia.

"Yang Mulia! Tuan Park berhasil mengirim pesan," lapor Jenderal Kim,  mendesak. "Gudang Bijih Besi di Sektor Timur. Pergantian penjaga pukul sebelas tiga puluh. Kata sandi,  'Singgasana Abadi'."

"'Singgasana Abadi'," gumam Yi Seon dengan senyum dingin. "Sangat khas dirinya."

"Kita harus bergerak cepat," kata Jenderal Kim. "Kita butuh waktu untuk memindahkan semua Bijih Besi itu."

"Tunggu," sela Hwa-young, matanya tertuju pada detail kecil di peta. "Kita tidak akan memindahkan Bijih Besi itu."

Kedua pria itu menatapnya bingung.

"Jika Bijih Besinya hilang, dia akan panik dan segera mengalihkan fokusnya ke perbatasan Utara, menghancurkan jalur suplai Garam kita. Kita harus membuatnya tetap sibuk di sini, di Ibukota. Biarkan dia mengejar hantu."

"Apa rencanamu?" tanya Yi Seon, alisnya terangkat.

Hwa-young tersenyum licik. "Tuan Park menyebut ada brankas kecil tersembunyi di bawah lantai. Di sanalah Matriarch Kang menyimpan buku besar berisi catatan suap dan transaksi ilegal Bijih Besi. Kita hanya akan mengambil dokumen itu."

"Hanya dokumen?" tanya Jenderal Kim, tidak mengerti.

"Dokumen ... dan kita akan meninggalkan 'hadiah'," lanjut Hwa-young. "Kita akan mengisi beberapa peti kosong dengan sisa Sutra Ungu yang sudah kita rendam minyak ikan asin. Saat dia datang memeriksa, dia akan menemukan penghinaan ganda,  bukti kejahatannya hilang, dan gudang berharganya dinodai oleh simbol kegagalannya."

Yi Seon tertawa, suara tawa yang kering dan jarang terdengar, tapi nyata. "Sutra Ungu busuk itu lagi. Hwa-young, kau benar-benar iblis."

"Jenderal, pimpin unit terbaik Anda. Bergerak pukul sebelas empat puluh lima, tepat setelah pergantian penjaga," perintah Hwa-young, nadanya kembali serius. "Yi Seon, kau harus tetap di sini. Pastikan mata-mata Kang melihatmu berada di paviliun ini sepanjang malam."

"Aku mengerti," balas Yi Seon, wajahnya kembali tenang. "Aku akan menjadi Pangeran Mahkota yang patuh, tertidur lelap di kamarnya."

*

Waktu merayap lambat. Jarum jam di ruangan itu seolah berdetak lebih keras dari biasanya. Pukul sebelas empat puluh lima, Hwa-young dan Yi Seon mendengar derap langkah samar di luar, Jenderal Kim dan pasukannya telah bergerak.

Mereka menunggu dalam keheningan yang menyesakkan. Tiba-tiba, Mae-ri menerobos masuk, wajahnya pucat pasi.

"Yang Mulia! Celaka! Matriarch Kang ... dia ada di Istana Timur! Dia bergerak menuju kemari!"

Hwa-young dan Yi Seon saling pandang, rasa dingin menjalari tulang punggung mereka. "Bagaimana mungkin dia tahu?" desis Yi Seon.

"Dia tidak tahu. Dia curiga," kata Hwa-young, otaknya berputar cepat. "Dia ingin memastikan alibimu. Dia datang untuk menginterogasimu. Kita harus menahannya di sini, Yi Seon. Beri Jenderal Kim waktu yang dia butuhkan."

"Bagaimana caranya?"

Hwa-young mencondongkan tubuhnya,  rendah dan mendesak. "Alihkan perhatiannya. Puji gaunnya, lalu hina kualitas sutranya. Buat dia marah, sibuk, dan terhina. Jangan biarkan dia keluar dari ruangan ini sampai kita mendapat kabar dari Kim."

Pintu berderit terbuka. Matriarch Kang masuk seperti badai, tatapannya membara.

"Pangeran Mahkota!" serunya,  menggema. "Ada serangan ekonomi terhadap Kekaisaran, dan kau malah bersembunyi di kamarmu!"

"Matriarch Kang," balas Yi Seon, bangkit dengan sopan yang dibuat-buat. "Selamat malam. Gaun Anda ... warnanya sangat mencolok malam ini. Sutra jenis baru?"

Serangan kehormatan itu berhasil. Wajah Matriarch Kang memerah. Mereka berdebat sengit selama lima belas menit yang terasa seperti seabad, debat tentang kualitas sutra, loyalitas, dan pengkhianatan. Yi Seon, dengan arahan tatapan mata Hwa-young, berhasil membuat Kang terjebak dalam amarahnya sendiri.

Tepat ketika Kang hendak pergi karena frustrasi, Yi Seon memainkan kartu terakhirnya. "Ah, sebelum Anda pergi, saya baru saja memerintahkan Jenderal Kim untuk menyelidiki rumor penimbunan Bijih Besi ilegal di Gudang Timur. Semoga dia membawa kabar baik."

Mata Matriarch Kang melebar ngeri. Wajahnya pucat pasi. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik dan berlari keluar, meneriakkan perintah pada pengawalnya.

Hwa-young dan Yi Seon menghela napas lega. Jebakan itu berhasil.

Beberapa saat kemudian, Jenderal Kim menerobos masuk, wajahnya menunjukkan kelegaan dan kepanikan sekaligus.

"Yang Mulia! Kami berhasil!" serunya, menyerahkan gulungan dokumen yang disegel. "Semua buku besarnya ada di sini! Tapi..."

"Tapi apa, Jenderal?" desak Hwa-young.

Wajah Jenderal Kim menegang karena ngeri. "Rencana kita bocor, Yang Mulia. Matriarch Kang tidak hanya curiga, dia sudah tahu. Dia tidak mengincar kita malam ini. Dia menyerang jantung kita."

"Apa maksudmu?" tanya Yi Seon,  menajam.

"Tuan Park ... dia tertangkap. Sore tadi, seorang pedagang yang pernah disuapnya menyerah di bawah interogasi. Matriarch Kang sudah menahannya."

Dunia Hwa-young seakan runtuh. Tuan Park adalah aset mereka yang paling berharga.

"Dia tidak akan bicara," kata Hwa-young, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri.

Jenderal Kim menelan ludah, matanya dipenuhi ketakutan. "Bukan itu masalahnya, Putri Mahkota. Matriarch Kang tidak butuh pengakuannya. Dia hanya butuh contoh."

Jenderal Kim mengulurkan secarik kertas kecil yang ia temukan di meja komandan penjaga gudang. Itu adalah salinan perintah resmi yang baru saja dikirim.

Hwa-young mengambilnya dengan tangan gemetar.

"Dia tidak hanya akan mengeksekusi Tuan Park," bisik Jenderal Kim,  pecah. "Perintah itu ... untuk menangkap keluarganya. Dia memulainya dengan putri Tuan Park yang baru berusia tujuh tahun.”

1
Noveni Lawasti Munte
ahhhh dialognya kek sinetron ikan terbang🙄🙄🙄😄😄😄😄
Putri Haruya: muasek?
total 1 replies
Putri Haruya
Mohon maaf ya buat yang menunggu aku update. Bulan November ini, aku sibuk dengan acara di rumah. Jadi, aku banyak bantu keluarga juga sampai gak sempat nulis. Aku ada penyakit juga yang gak bisa kalo gak istirahat sehabis bantu-bantu. Jadi, mohon pengertiannya ya. Nanti malam In Shaa Allah aku nulis lagi. Tapi, kalo besok-besok aku gak update berarti aku sedang ada halangan, ya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!