Ini adalah kisah tentang Asmara, seorang pramugari berusia 25 tahun yang meniti karirnya di atas awan, tiga tahun Asmara menjalin hubungan dengan Devanka, staf bandara yang karirnya menjejak bumi. Cinta mereka yang awalnya bagai melodi indah di terminal kedatangan kini hancur oleh perbedaan keyakinan dan restu orang tua Devanka yang tak kunjung datang. dan ketika Devanka lebih memilih dengan keputusan orangtuanya, Asmara harus merelakannya, dua tahun ia berjuang melupakan seorang Devanka, melepaskannya demi kedamaian hatinya, sampai pada akhirnya seseorang muncul sebagai pilot yang baru saja bergabung. Ryan Pratama seorang pilot muda tampan tapi berwajah dingin tak bersahabat.
banyak momen tak sengaja yang membuat Ryan menatap Asmara lebih lama..dan untuk pertama kali dalam hidupnya setelah sembuh dari rasa trauma, Ryan menaruh hati pada Asmara..tapi tak semudah itu untuk Ryan mendapatkan Asmara, akankan pada akhirnya mereka akan jatuh cinta ?
selamat membaca...semoga kalian suka yaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 34
Perjalanan pulang ke Jakarta dimulai dengan hening yang panjang.
Langit Bandung mulai menggelap ketika mobil Ryan keluar dari area rumah lama itu. Di dalam mobil hanya terdengar suara AC dan deru mesin yang stabil.
Asmara menatap keluar jendela sejak awal, kedua tangannya saling mendekap erat di dada. Hatinya masih belum stabil setelah kejutan demi kejutan yang Ryan berikan hari ini:
mereka pernah bertemu, ia pernah mengenal Ryan kecil, dan rumah itu menyimpan luka, sekaligus seseorang yang ternyata diam-diam pernah peduli padanya.
Ryan meliriknya sesekali.
“Masih kepikiran?” tanyanya pelan.
Asmara tak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang, suaranya lirih, “Aku cuma… bingung. Semua terasa terlalu cepat, Ry.”
Ryan fokus lagi pada jalan, tapi tangannya yang bebas terangkat pelan, ingin meraih tangan asmara.
“Aku cuma mau kamu tahu,” katanya pelan, “kalau dari dulu sampai sekarang, kamu bukan orang asing buat aku.”
Asmara menggigit bibirnya.
Ia tahu Ryan bermaksud baik, tapi perasaannya teraduk antara haru, takut, dan bingung.
“Kamu seharusnya bilang sejak awal,” gumamnya.
Ryan mendesah kecil. “Aku ingin bilang. Tapi tiap kali aku lihat kamu… aku takut kamu menjauh kalau aku terlalu jujur.”
Asmara menoleh perlahan. “Menjauh? Kenapa harus menjauh?”
Ryan menatapnya sejenak, pandangannya serius.
“Karena kamu selalu merasa tidak pantas berada di dekat aku.”
Asmara tercekat.
Ryan benar.
Mobil melaju tenang di jalan tol ketika asmara akhirnya membuka suara. Ia menoleh pelan ke arah Ryan, sorot matanya ragu namun serius.
“Ryan…”
Ryan melirik sekilas, fokusnya tetap pada jalan. “Hm?”
“Aku mau tanya soal… Hubungan kita.”
Asmara menelan ludah, menatap tangannya yang masih dalam genggaman Ryan, “Status kita sekarang apa? Maksudku… perjanjian itu. Kita masih berpura-pura atau… sudah selesai?”
Ryan tak langsung menjawab. Rahangnya mengeras sesaat, lalu ia memperlambat laju mobil, seolah ingin memberi ruang pada percakapan itu.
“Asmara,” katanya akhirnya, suaranya rendah dan mantap. “Aku memang yang mulai semua perjanjian itu. Tapi sekarang… aku nggak mau hubungan kita pakai kata ‘pura-pura’ lagi.”
Asmara menatapnya dengan mata membesar.
“Kamu… maksudnya apa?”
Ryan mengalihkan pandangan dari jalan untuk melihatnya sekilas, tatapannya begitu dalam dan tanpa keraguan.
“Maksud aku,” ucapnya tegas, “nggak ada status bohong, nggak ada drama berpura-pura. Kali ini aku mau kamu jadi milik aku. Beneran. Tanpa perjanjian.”
Seketika jantung asmara berdegup lebih cepat.
Wajahnya memanas, pikirannya kacau, tak siap dengan jawaban sejujur itu.
“Tapi… Ryan, aku—”
“Aku tahu kamu takut,” potong Ryan lembut namun yakin. “Aku tahu kamu merasa nggak pantas. Tapi aku yang milih kamu. Bukan karena paksaan, bukan karena alasan status keluarga.”
Ia kembali menatap ke depan, namun suaranya tetap kokoh.
“Aku ingin kamu ada di hidup aku. Bukan sebagai pacar pura-pura. Tapi sebagai… asmara, wanita milikku yang sebenarnya.”
Asmara terpaku, bibirnya terbuka namun tak ada suara keluar.
“Kalau kamu tanya status kita,” lanjut Ryan, “aku maunya cuma satu.”
Ia menoleh sedikit, matanya hangat namun dominan.
“Kamu milik aku. Dan aku akan pastikan kamu ngerasa bahagia sama aku.”
Asmara memalingkan wajah ke jendela, menahan perasaan yang berputar hebat di dadanya.
Hujan yang masih turun di luar membuat suara deras air seperti menyatu dengan degup jantungnya.
Asmara menggigit bibir bawahnya, tangan yang sejak tadi berada di pangkuan kini mengepal pelan. Ia tahu Ryan menunggunya bicara… dan akhirnya ia memberanikan diri.
“Ryan…” suaranya pelan, bergetar.
Ryan langsung menoleh sekilas, memperhatikannya penuh fokus.
“Aku mau jujur,” lanjut asmara. “Sebenernya… aku memang sudah suka sama kamu. Mungkin dari pertama kali kita bikin perjanjian itu. Saat kamu bilang aku harus pura-pura jadi pacar kamu… aku pikir itu cuma permainan. Tapi setiap hari aku makin… jatuh cinta sama kamu.”
Ryan menahan napas. Sorot matanya berubah, lebih lembut, tapi juga lebih intens.
“Tapi…” asmara melanjutkan, suaranya makin lirih. “Ada rasa takut yang nggak pernah hilang. Aku takut nggak cukup buat kamu. Takut kamu bakal sadar suatu hari nanti kalau aku cuma wanita biasa, aku seorang pramugari biasa.”
Ia menunduk.
“Kamu sekarang pemilik SkyAir, Ryan. Semua orang hormat sama kamu. Kamu punya masa depan besar, keluarga terpandang… dan aku?”
Asmara menghela napas panjang.
“Aku cuma asmara. Anak yang bahkan ayahnya sendiri nggak peduli. Aku nggak punya apa-apa.”
Ryan mengerem mobil perlahan sampai berhenti di pinggir jalan yang aman. Ia menoleh penuh ke arah asmara, wajahnya serius dan emosinya terlihat jelas.
“Dengar aku, Asmara.”
Nada suaranya tegas namun tak memaksa.
“Status aku sebagai pemilik SkyAir nggak pernah ada hubungannya sama perasaan aku ke kamu.” Ia mendekat sedikit, menatap mata asmara dalam-dalam. “Kamu bilang kamu cuma pramugari biasa. Tapi menurut aku, kamu luar biasa.”
Asmara menggeleng kecil, air mata menumpuk di pelupuk matanya.
“Ryan… aku takut kamu nyesel nanti.”
Ryan mengangkat tangan dan menyentuh pipinya perlahan, gerakan lembut, hampir penuh hormat.
“Asmara,” ucapnya rendah, “aku sudah jatuh hati sama kamu bahkan semenjak kita kecil, sebelum aku sadar itu cinta. Kamu bikin aku tenang. Kamu bikin aku marah kalau kamu disakiti. Kamu bikin aku ngerasa… hidup.”
Asmara tercengang.
“Dan kamu bilang kamu nggak pantas?” Ryan menghela napas, wajahnya mendekat sedikit. “Justru kamu yang ngebuat aku ngerasa jadi Ryan, bukan Ryan seorang CEO, bukan Ryan yang seorang pilot. Tapi Ryan yang cuma… laki-laki yang jatuh cinta.”
Asmara terkejut, dadanya berdebar hebat.
Ryan tersenyum tipis.
“Kalau kamu takut, aku ngerti. Tapi jangan pernah bilang kamu nggak pantas. Karena di mata aku, nggak ada yang lebih pantas berdiri di samping aku selain kamu.”
Air mata asmara akhirnya jatuh.
Ia menutup wajahnya dengan telapak tangan, suaranya bergetar.
“Aku takut kehilangan kamu…”
Ryan dengan lembut menarik tangannya agar ia bisa melihatnya.
“Kamu nggak akan kehilangan aku,” ucapnya tegas. “Karena aku yang nggak akan ngelepas kamu.”
Keheningan memenuhi mobil.
Namun kali ini bukan hening yang canggung, melainkan hening yang penuh pengakuan, perasaan, dan langkah awal dari sesuatu yang tak lagi pura-pura.
Asmara mengusap sisa air matanya, lalu menatap Ryan dengan senyum kecil yang perlahan mengembang, senyum yang lahir dari kelegaan dan keyakinan baru.
“Aku percaya sama kamu,” bisiknya lembut. “Dan… aku mau coba. Aku mau jalanin hubungan ini, Ryan. Bukan karena pura-pura lagi. Tapi karena aku… bahagia sama kamu.”
Ryan tak langsung menjawab. Ia hanya menatap asmara lama, seolah memastikan gadis itu benar-benar berkata jujur. Tatapannya hangat tapi intens, seperti seseorang yang baru saja menemukan hal yang selama ini tak pernah ia sadari ia butuhkan.
Lalu perlahan, Ryan tersenyum,senyum yang jarang sekali muncul.
“Bagus,” ucapnya pelan, suaranya menurun lembut. “Karena aku juga berniat bikin kamu bahagia. Setiap hari.”
Asmara tertawa kecil, masih dengan pipi memerah. “Kamu ngomong gitu bikin aku makin gugup, tau nggak?”
Ryan menggeleng sambil menyalakan mesin mobil lagi.
“Kalau kamu gugup berarti kamu serius,” katanya ringan, tapi ada sentuhan manja yang membuat asmara makin tersenyum.
Mobil kembali melaju pelan di jalan tol menuju Jakarta, namun suasananya berbeda.
Tidak ada lagi jarak, tidak ada lagi pura-pura.
Asmara menyandarkan kepalanya pada bahu Ryan dengan hati yang tenang, untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
Ia melirik Ryan yang fokus menyetir, namun sudut bibirnya tak berhenti menunjukkan senyum kecil yang sulit disembunyikan.
Dan asmara tahu…
Bahagia yang dia takut tak pernah bisa ia miliki, ternyata sedang ia genggam.
Pelan-pelan, ia membisikkan kata yang hampir tak terdengar.
“Terima kasih, Ryan… untuk memilih aku.”
Ryan sempat menoleh cepat, lalu menjawab singkat namun penuh janji:
“Terimakasih juga, Sayang..kamu juga memilih menetap di samping aku.”
Wajah Asmara semakin memerah, mendengar Ryan memanggilnya dengan kata 'sayang'
Bersambung....
kan sama2 masih singgel?moga2 aja yg pada ngiri akan dapat balesan
mantan kekasihnya yg masih Ter obsesi sama Asmara