sebuah cerita sederhana seorang melati wanita sebatang kara yang memilih menjadi janda ketimbang mempertahankan rumah tangga. 
jangan lupa like dan komentar
salam autor
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jm 34
Melati merasa lega karena Panji bukan pria mesum seperti yang sempat dia bayangkan. Setidaknya, Panji masih ingat waktu salat Magrib. Sekarang melati berada disebuah masjid di pusat kota—Masjid Cut Mutia, tak jauh dari Stasiun Gondangdia. Konon, bangunan megah bergaya kolonial itu dulunya merupakan kantor Belanda sebelum diubah menjadi rumah ibadah.
Melati menuju tempat wudu wanita. Orang-orang sudah ramai lalu lalang, sebagian menunggu giliran berwudu, sebagian lagi bergegas menuju saf salat. Setelah air membasuh wajahnya, Melati merasa lebih tenang. lantunan ayat suci dari pengeras suara terdengar lembut, menembus hati yang tadi terasa sesak.
Saat imam mulai mengumandangkan takbir, Melati berdiri khusyuk di antara jamaah perempuan lainnya. Bacaan imam yang merdu terasa menyejukkan kalbu. Di tengah sujud dan rukuk, rasa pegal di pinggang serta nyeri di kakinya seolah perlahan sirna. Ada kelegaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Selesai salat, Melati menunduk lama, memanjatkan doa. Udara sejuk dari pendingin ruangan bercampur wangi parfum khas Timur Tengah yang lembut. Setelahnya, ia berdiri, merapikan kerudung, lalu menuju cermin kecil di sudut Masjid. Dari dalam tas, ia mengeluarkan bedak Viva lama yang wadahnya sudah kusam. Entah kapan terakhir kali dibeli; mungkin usia bedak itu sudah lebih lama dari usia pernikahannya dengan Arga.
Melati menatap wajahnya di cermin. “Aku cantik juga,” gumamnya pelan, tersenyum kecil.
“Banyak juga yang bilang aku cantik,” lanjutnya dengan senyum yang makin lebar. Entah kenapa, sore itu ia ingin memuji dirinya sendiri.
“Tapi kata Pak Panji jelek… berarti selain Ibu Mega, nambah lagi orang yang bilang aku jelek,” katanya terkekeh lirih.
Ia menepuk-nepuk pipinya dengan spons yang sudah tipis. “Make up tipis-tipis saja, biar seimbang sama Pak Panji,” ujarnya geli sendiri.
Keluar dari ruang salat perempuan, Melati melihat Panji sudah duduk di selasar masjid. Di sekitarnya ramai pedagang kaki lima yang menjajakan tasbih, batu akik, dan minyak wangi. Panji tampak menimbang-nimbang sebuah tasbih lalu menyerahkan uang ke penjualnya.
Ketika matanya bertemu dengan Melati, Panji menatap tajam. Melati yang tadinya hendak tersenyum jadi mengurungkan niat. Ia mendekat dengan langkah pelan.
“Lama banget sih,” ujar Panji agak ketus.
“Aku dari tadi, Bapak aja yang asyik pilih batu cincin,” balas Melati.
“Oh, gitu ya,” sahutnya datar.
Panji berdiri, melangkah ke arah penitipan sepatu, lalu menyerahkan selembar uang cukup besar pada petugas jaga.
“Bengong terus,” ucap Panji, membuat Melati tersentak kaget.
Melati memegang dadanya, “Ya ampun, Pak, bikin kaget aja.”
“Ayo,” katanya singkat, berjalan menuju mobil.
Panji membukakan pintu mobil.untuk melati “Ah, merepotkan sekali,” gerutunya.
“Saya nggak nyuruh, loh, Pak,” sahut Melati kesal.
“Ya, nanti lecet mobil saya kalau kamu yang buka.”
Melati hanya diam.
“Bengong lagi? Mau saya persilakan juga sekalian?” Panji menatapnya dengan nada datar
Melati mendengus kecil lalu masuk ke dalam mobil. Interiornya tampak mewah, dingin, dan nyaman. Panji menyalakan mesin, kemudian melajukan mobil perlahan meninggalkan halaman Masjid Cut Mutia menuju jalanan kota yang mulai ramai oleh lampu-lampu malam.
Selama di dalam mobil, tak ada satu kata pun keluar. Suasana terasa dingin—sedingin udara dari AC mobil. Melati menatap keluar jendela, lampu-lampu kota memantul di matanya.
“Pak, turunkan saya di sini saja. Di sana banyak tukang ojek. Rumah saya di Kebon Melati, nggak jauh kok,” ujarnya pelan.
Panji tetap menatap jalan. “Perut kamu bunyi terus dari tadi. Kita makan dulu.”
Melati langsung menutup mulutnya, pipinya panas. Malu banget—perutnya malah bunyi di depan orang yang super menyebalkan. Ya, menyebalkan, tapi... tampan juga sih, sayangnya.
Mobil melaju melewati Menteng Raya, lalu berbelok ke arah Kebon Sirih. Tak lama, Panji memarkirkan mobil di pinggir jalan yang ramai. Lampu-lampu pedagang berpendar di antara asap wajan besar.
“Aroma rempah…” gumam Melati, matanya berbinar. “Nasi goreng kambing!”
Ia langsung mengenali baunya—nasi goreng legendaris Kebon Sirih. Dulu, waktu ayahnya masih hidup, hampir setiap malam minggu mereka berjalan kaki dari Kebon Melati ke sini hanya untuk makan nasi goreng kambing.
Panji menoleh sekilas. “Senyum, habis itu keluar air mata. Kamu itu aneh.”
Ucapan itu membuyarkan lamunan Melati. Ia buru-buru menyeka sudut matanya. “Maaf, Pak… saya ingat almarhum ayah saya.”
Panji tidak menanggapi. Ia berjalan lebih dulu ke meja kosong di bawah pohon angsana tua. Melati mengikutinya pelan. Di bawah pohon itu, kenangan masa kecilnya menyeruak—dulu ia dan ayahnya duduk di tempat yang hampir sama, memandangi bule-bule yang lewat sambil menikmati hiruk-pikuk Jakarta malam hari.
Seorang pelayan datang membawa buku menu. Panji langsung memesan tanpa berpikir panjang.
“Nasi goreng kambing, dagingnya agak banyak. Jangan terlalu pedas. Acar tambahin, ya.”
Melati terpaku. Itu persis seperti pesanan ayahnya dulu.
“Bengong lagi. Kamu tuh kesurupan, ya?” Panji mengerling kesal. “Pesan sendiri, jangan sampai aku yang pesanin. Aku udah cukup dermawan karena aku yang bayar.”
Melati mendengus pelan. “Saya samain aja sama Bapak ini,” balasnya ketus.
Panji menaikkan alis. “Bapak-bapak? Emang aku bapak kamu apa?”
Melati menatapnya tajam, lalu menunduk. “Ya udah deh, Bos. Maaf.”
Melati dan Panji kembali tenggelam dalam diam. Panji sibuk dengan ponselnya, jari-jarinya lincah menari di layar, sementara Melati menatap sekeliling. Lampu-lampu jalan Kebon Sirih berpendar lembut, suara wajan beradu dan aroma bumbu terbakar di udara membuat dadanya sesak oleh kenangan. Hampir saja air matanya jatuh; terlalu banyak kenangan di tempat ini—bersama almarhum ayahnya dulu.
Tak lama, pesanan mereka datang. Uap panas mengepul dari piring, membawa wangi rempah dan daging kambing yang menggoda. Mata Melati langsung berbinar, nyaris menetes air liurnya.
Panji mengambil sendok dan garpu dari pelayan, lalu mengelap keduanya dengan tisu. Ia menyerahkannya pada Melati tanpa berkata banyak.
“Nih,” ucapnya singkat.
Melati tertegun. Baru kali ini ada lelaki yang repot-repot mengelap sendok dan garpu untuknya.bahkan arga aja tidak pernah melakukan hal seperti ini.
“Ah, andai saja dia nggak nyebelin, pasti ini jadi momen romantis,” batinnya sambil menahan senyum kecil.
Tak lama, Panji memanggil pelayan lagi. “Pak, dua jus alpukat. Susun Coklatnya agak banyak, ya.”
Melati menatap Panji dengan heran. Wajahnya tetap datar, dingin, tanpa ekspresi.
“Dari mana dia tahu jus favoritku jus alpukat… dan aku memang suka kalau coklatnya agak banyak,” gumamnya dalam hati.
“Ayo, makan. Jangan bengong terus, nanti dingin,” ucap Panji.
Melati buru-buru meraih piring, sendok, dan garpu yang sudah dilap Panji. Suapan pertama membuat matanya memejam sebentar—rasanya persis seperti dulu. Gurih, harum, dan hangat. Bukan hanya karena rempahnya, tapi karena kenangan yang ikut mengalir di setiap gigitan.
Tak butuh waktu lama, nasi goreng sepiring penuh pun tandas. Panji makan dengan tenang, sementara Melati nyaris menjilat piring saking laparnya. Saat itu, pelayan datang membawa dua gelas jus alpukat berwarna hijau lembut.
Mata Melati berbinar. Ia meraih gelas dengan antusias, mengaduknya perlahan, lalu meneguk dengan nikmat.
Dan di tengah kesunyian yang nyaman itu, Panji tiba-tiba berkata datar tanpa menatapnya,
“Melati, bagaimana kalau kita menikah?”
Melati tersedak keras. Jus hampir muncrat dari mulutnya. Ia batuk berkali-kali, wajahnya memerah, sementara Panji tetap tenang menatapnya seperti baru saja menanyakan arah jalan, bukan melontarkan kalimat yang bisa bikin jantung copot.
end then kamu pakai be smart don't be stupid selangkah di depan dong bukan di belakang
lah ini orang umur berap Thor