Audy Shafira Sinclair, pewaris tunggal keluarga konglomerat, memilih meninggalkan zona nyamannya dan bekerja sebagai karyawan biasa tanpa mengandalkan nama besar ayahnya. Di perusahaan baru, ia justru berhadapan dengan Aldrich Dario Jourell, CEO muda flamboyan sekaligus cassanova yang terbiasa dipuja dan dikelilingi banyak wanita. Audy yang galak dan tak mudah terpikat justru menjadi tantangan bagi Aldrich, hal itu memicu rangkaian kejadian kocak, adu gengsi, dan romansa tak terduga di antara keduanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terpana atau kesal
Pagi itu kamar Audy berubah menjadi butik mini. Gaun-gaun, blazer, celana bahan, rok span, sepatu berderet di kursi, seakan ia baru selesai mengacak isi lemari. Di depan cermin rias, ia berdiri sambil menimbang-nimbang.
“Divisi strategis,” gumamnya, sambil menghela napas. “Itu berarti aku harus terlihat lebih... apa ya...hmm... Tapi jangan seperti tante-tante.”
Ia akhirnya memilih setelan blazer krem lembut dipadu rok span hitam sebatas lutut, sederhana tapi elegan. Rambutnya ia ikat setengah, memberi kesan rapi tanpa kehilangan sisi muda. Sebelum beranjak, ia sempat bergumam lagi sambil bercermin, “Oke, Audy. Hari pertama naik level, jangan beri si Aldrich itu kesempatan untuk mengatakan aku tidak pantas.”
Tak lupa, ia juga menyempatkan memotret dirinya—selfie mirror, lalu mengirimnya pada Zoey, “PAP pagi ini, dari junior staff yang naik ke Divisi strategis,” begitulah caption yang Audy ketik, klik pesan terkirim.
.....
Begitu turun ke lantai bawah, aroma kopi hitam dan roti panggang sudah menyambut. Sang ayah duduk di meja makan dengan tablet di tangannya, tapi begitu melihat putrinya, ia terdiam sejenak.
“Waw,” ujarnya sambil menurunkan tablet. “Daddy kira ada tamu penting datang. Ternyata Tuan putri kesayangan Daddy.”
Audy mendengus sambil duduk. “Daddy ini terkadang suka lebay. Tapi... terlihat oke tidak?”
Sang ayah menatapnya lama, lalu tersenyum. “Terlihat seperti seseorang yang siap membuat dunia bisnis bertekuk lutut.”
Audy nyengir lebar, lalu langsung mengambil roti panggang, menjejalkannya sambil bicara, “Semoga saja bos ku hari ini tidak membuatku bertekuk lutut duluan.”
Mereka sarapan singkat tapi penuh canda. Setelah selesai, Audy bangkit sambil meraih tas kerja barunya—masih bergaya simpel, tapi jelas kualitasnya premium.
Begitu ia berjalan menuju pintu, beberapa pelayan yang sedang membereskan meja berhenti sebentar, menatap penampilan Audy yang berbeda dari biasanya.
“Wah, Nona Audy semakin cantik saja,” celetuk salah satu pelayan.
Audy tersenyum lebar, memberi lambaian kecil. “Terimakasih. Doakan aku tidak membuat malu keluarga hari ini.”
Di halaman, sopir keluarga sudah bersiap membukakan pintu mobil sedan hitam mewah, mobil standar untuk keluarga Sinclair. Namun Audy melambaikan tangan.
“Tidak usah, Pak. Aku bawa mobilku sendiri saja.”
Sopir itu tampak bingung, melihat penampilan Audy yang sudah tidak lagi seperti tampak biasa, ia pikir misi Audy sudah selesai. “Tapi, Nona—”
Audy menunjuk hatchback sederhana berwarna abu-abu yang memang sengaja ia gunakan selama menyamar sebagai karyawan biasa.
“Lebih aman pakai itu. Lagi pula jika aku tiba-tiba ganti mobil, kantor bisa curiga.”
Sopir dan pelayan hanya bisa saling pandang, lalu mengangguk. Sementara sang ayah yang berdiri di ambang pintu hanya menggeleng sambil tersenyum tipis.
“Putri Daddy memang keras kepala. Tapi Daddy mengerti.”
Audy sempat melambaikan tangan pada ayahnya sebelum masuk ke mobil. Mesin hatchback itu menyala dengan suara khas mobil sederhana—kontras dengan jajaran mobil mewah di garasi rumah megah itu.
Dengan penuh percaya diri, Audy melaju menuju kantor, bersiap menghadapi hari pertamanya di posisi baru.
.....
Pagi itu kantor sudah cukup ramai, suara tumit sepatu, dering telepon, dan dentingan keyboard bercampur jadi satu. Audy melangkah masuk dengan percaya diri, senyum tipis masih menghiasi wajah cantiknya. Tapi begitu ia tiba di lantai tempat divisi administrasi biasa bekerja, dua pasang mata langsung membelalak.
“Astaga, siapa ini?” bisik Nadine, pura-pura menutup mulut dengan map berwarna biru.
Clara yang tadinya sibuk menyiapkan laporan langsung menoleh, nyaris menjatuhkan pulpen. “Itu… itu Audy kita, kan? Jangan-jangan aku salah lihat.”
Audy terkekeh, berjalan mendekat sambil menenteng tas kerja. “Kalian lebay sekali. Aku masih Audy yang sama. Bedanya hari ini aku mirip tante-tante rapat saja.”
Nadine langsung berdiri, memutar Audy seolah sedang menilai model di panggung catwalk. “Tante-tante rapat apanya? Kau seperti… seperti eksekutif muda yang baru pulang dari kursus di Washington.”
Clara mengangguk heboh. “Serius. Jika kau berjalan ke lobby dent gaya ini, bisa-bisa satpam saja langsung memanggilmu ‘Bu Direktur’.”
Audy menepuk jidatnya sendiri. “Ya ampun, kalian membuatku semakin deg-degan saja. Ini hari pertama aku di divisi strategis, jangan membuatku salah kostum, please.”
Nadine mencondongkan tubuhnya, berbisik. “Strategis itu kan… dekat sekali dengan bos Casanova kita itu, kan?”
Clara langsung mengiyakan, wajahnya dibuat dramatis. “Iya, yang suka menembak tatapan laser itu. Audy, kau harus siap jadi korban tatapan maut setiap hari. Kau juga harus siapkan mental sekuat baja, dan matamu juga harus bisa di ajak kerjasama.”
Audy mendesah, lalu menepuk pundak kedua sahabat barunya itu. “Jika aku tumbang, kalian harus siap jadi tim penyelamat, oke?”
Ketiganya tertawa, menarik beberapa pasang mata di sekitar mereka. Beberapa karyawan pria yang lewat bahkan sempat menoleh dua kali, salah satunya sampai hampir menabrak tiang.
“Ya Tuhan,” gumam Nadine geli. “Hari pertama di strategis saja sudah membuat heboh. Aku tidak sabar melihat reaksi Pak Aldrt saat melihatmu masuk ruangan rapat dengan penampilan yang lebih classy ini.”
Clara menambahkan dengan nada penuh drama, “Semoga dia tidak pura-pura cuek, padahal dalam hati teriak, ‘anak ini ku lihat-lihat semakin glowing’.”
Audy hanya menertawakan mereka sambil membereskan berkas. Dalam hati, sebenarnya jantungnya juga berdetak lebih cepat. Ia tahu, hari itu bukan sekadar hari kerja biasa—tapi babak baru yang akan mempertemukannya lagi dengan Aldrich, kali ini dalam kapasitas berbeda.
.....
Suasana divisi strategis siang itu sedang cukup tenang, hanya terdengar suara kertas dibalik, keyboard ditekan, dan bunyi printer yang menderu. Para staf sibuk dengan laporan masing-masing, hingga tiba-tiba suasana berubah begitu langkah sepatu mahal berirama rapi terdengar dari ujung koridor.
Aldrich Dario Jourell.
Begitu sosok tinggi dengan setelan abu-abu gelap itu memasuki ruangan, seisi divisi sontak menegakkan badan. Beberapa buru-buru menutup aplikasi non-kerja di monitor, sementara yang lain pura-pura sangat fokus dengan layar.
Namun, hanya satu orang yang tidak ikut panik—Audy.
Ia baru saja menata berkas di mejanya ketika tatapannya bersirobok dengan Aldrich. Pria itu berdiri tak jauh darinya, menatap dengan pandangan yang tidak biasa. Bukan tatapan bos galak yang biasanya, melainkan… terlalu lama.
Dalam hati Aldrich mendesis.
Sial. Gadis ini… pesonanya tidak main-main.
Blazer krem yang dipadu rok span hitam sederhana saja sudah cukup membuat Audy terlihat lebih berkelas dari yang lain. Rambutnya diikat setengah tapi rapi, make up tipis, aura percaya dirinya terpancar jelas. Beda sekali dengan kemarin.
Merasa ditatap tanpa kedip, Audy akhirnya berdiri dan menghampiri Aldrich, alisnya terangkat.
“Pak, apa ada yang salah dengan penampilan saya hari ini? Jika benar begitu, katakan saja. Jangan tatap saya seperti papan pengumuman.”
Ucapan itu sontak membuyarkan lamunan Aldrich. Beberapa staf menunduk, menahan senyum.
Aldrich mengangkat dagunya sedikit, memasang ekspresi dingin yang menjadi ciri khasnya. “Aku hanya memastikan staf baru yang kuberi tanggung jawab lebih… tidak menjadikan promosi itu alasan untuk tampil berlebihan.”
Audy melipat tangan di dada, matanya menyipit. “Berlebihan? Saya hanya berpakaian rapi sesuai tuntutan divisi strategis. Jika menurut Bapak ini berlebihan, mungkin standar Pak Aldrich terlalu rendah.”
Beberapa staf menoleh dengan wajah tegang—antara kagum dan takut. Berani-beraninya anak baru debat dengan perkataan seperti itu di hadapan bos besar!
Aldrich mengulum senyum tipis, matanya menyala geli. “Mulutmu ini, Audy. Baru sehari naik jabatan sudah pandai menyanggah. Kau tidak takut aku menurunkanmu kembali ke posisi administrasi?”
Audy menatapnya lurus tanpa gentar. “Jika memang itu keputusan Bapak, silakan. Saya tidak akan menangis di sudut meja. Saya akan bekerja sebaik mungkin, di posisi apa pun.”
Beberapa detik mereka saling beradu pandang, udara di ruangan seolah menegang. Tapi bagi yang memperhatikan dengan jeli, ada sesuatu di balik tatapan dingin Aldrich—sebuah kilatan rasa penasaran yang semakin dalam terhadap gadis ini.
Akhirnya, Aldrich berdehem, melirik sekilas jam tangannya. “Baiklah. Jangan sampai ucapanmu hanya omong kosong. Aku akan lihat sejauh mana kau mampu bertahan di sini.”
Lalu ia berbalik, melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan Audy yang masih berdiri dengan dagu terangkat.
Begitu pintu tertutup, Clara dan Nadine yang kebetulan sedang lewat langsung nyaris meloncat menahan tawa. “Astaga, Audy… kau barusan seperti sedang duel di arena gladiator!” bisik Clara.
Nadine menambahkan dengan mata berbinar, “Dan lihat wajah Pak Aldrich! Aku bersumpah dia sempat… terpana.”
Audy mendengus, kembali ke mejanya sambil merapikan berkas. “Terpana atau kesal, aku tidak peduli. Yang jelas, aku tidak akan mundur.”