Cewek naif itu sudah mati!
Pernah mencintai orang yang salah? Nainara tahu betul rasanya.
Kematian membuka matanya, cinta bisa berwajah iblis.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua, kembali ke sepuluh tahun lalu.
Kali ini, ia tak akan menjadi gadis polos lagi. Ia akan menjadi Naina yang kuat, cerdas, dan mampu menulis ulang akhir hidupnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaluBerkarya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31.
Naina menghela napas berkali-kali usai mendapati Julian lagi-lagi mengangguk membenarkan. Gila, ini tidak lagi bisa Naina gambarkan bagaimana pikirannya mencerna hal di luar logika itu. Semuanya seolah terlalu dekat tetapi juga sulit dia telan kebenarannya.
“Huftt, Julian... ini benar-benar, ah aku tidak bisa lagi berkata-kata. Kenapa dunia terasa sesempit itu ya? Astaga.” Gadis itu berujar lirih, lalu mengusap wajahnya kasar, mencoba menyingkirkan segala kekacauan di pikirannya sebelum berdiri.
“Eh, kenapa Nainara?” tanya Julian menatap gadis itu bingung. Dia juga ikut-ikutan berdiri.
“Udah, Julian. Aku butuh ruang untuk mencerna setiap kata kejutan yang terlontar dari dalam mulut kamu itu. Aku tidak tahu gimana harus bereaksi, sumpah ini terlalu di luar nalar aku. Kamu benar-benar ya... kamu tahu, Julian, aku bahkan belum selesai terkejut tentang jati diri kamu beberapa hari lalu, eh sekarang banyak hal yang kamu bicarakan. Dan itu semua... huftt, aku ke toilet dulu! Kamu tunggu di sini, okey!”
Nainara berjalan cepat, jemarinya menahan ujung gaun yang masih melekat rapat di tubuhnya. Bunyi high heels-nya berdenting pelan, menyatu dengan irama musik yang samar terdengar dari ballroom hotel.
Begitu sampai di toilet, gadis itu langsung masuk dan mengunci pintu, lalu mengembuskan napas panjang yang terasa berat. Tatapannya jatuh pada bayangan diri di cermin wastafel. Tak ada yang berantakan, riasan natural di wajahnya masih utuh, hanya matanya saja yang kini tampak lelah.
Nainara tersenyum miring, entah sedang menertawai dirinya sendiri yang disukai oleh seekor rubah... atau tengah berusaha menelan kenyataan yang bahkan pikirannya tak sanggup cerna sepenuhnya.
Tetapi yang jelas, pikirannya terus memutar setiap kalimat yang baru saja diucapkan Julian. Ada perasaan yang… uh, rasanya Naina ingin memaki dirinya sendiri karena tidak bisa memegang omongannya di awal yang mengatakan bahwa ia tidak akan pernah lagi jatuh cinta. Cinta yang mungkin saja menyeretnya kembali ke luka dan jurang kelam itu.
Ia menggeleng pelan, menyangkal perasaannya sendiri dan mencoba meyakinkan diri bahwa ia tidak sedang melibatkan hati. Tapi sungguh, hatinya tak mau diajak kerja sama. Ada debaran aneh di dadanya setiap kali ia mengingat kata-kata Julian barusan. Kata-kata yang ironisnya, sama sekali tidak romantis.
“Dia tidak mengharapkan jawaban… apa jangan-jangan perasaannya bohong lagi?” gumam Naina pelan.
“Tapi, bukankah yang seperti itu justru yang serius?” lanjutnya, kini berbicara pada bayangannya sendiri di kaca. “Kata orang, kalau benar-benar cinta, dia nggak akan memaksa. Mungkin karena itu dia nggak menuntut jawaban andai aku menolak. Tapi… gimana dia tahu perasaanku kalau aku diam saja, kan?”
...----------------...
“Eh, sebentar…” Gadis itu kembali menatap pantulan wajahnya. Kali ini tampak sangat serius, seolah sedang menghubungkan sesuatu.
“Kalung itu berarti punya Julian, dong?” pekik Naina di dalam toilet.
“Aish, berarti aku harus tanya dulu nggak sih ke dia, apa pernah merasa kehilangan kalung atau apa? Karena kan kalung itu aku dapat di sebelah rubah itu dulu,” ujarnya berbicara pada diri sendiri.
Kemudian Naina buru-buru keluar dari toilet, semangat terpancar dari wajahnya. Langkahnya cepat, tapi tidak terburu-buru, ada getar rasa ingin tahu yang tak bisa ia tahan.
Namun, tak jauh di belakangnya, seseorang berdiri di sudut koridor. Tatapannya tajam, bibirnya menyunggingkan senyum miring penuh arti.
Sejak awal Naina masuk ke dalam toilet, sosok itu sudah memperhatikannya. Dan kini, ia mulai melangkah pelan, mengikuti arah langkah gadis itu.
“Kayak ada yang aneh, kenapa tiba-tiba serasa ada yang memantau, ya?” batin Naina mulai tidak tenang. Ia sesekali melirik ke belakang, namun tidak ada hal mencurigakan yang terlihat. Suasana hotel malam itu memang cukup sepi—seluruh area sudah disewa oleh Papi Jordan hanya untuk merayakan ulang tahun istimewa putrinya.
Langkah Naina semakin cepat, ingin segera keluar dari lorong itu. Namun tiba-tiba, dari arah kiri yang berlawanan, seseorang muncul begitu saja. Sebelum sempat bereaksi, sapu tangan menutup mulutnya rapat. Aroma menyengat langsung menusuk hidungnya, membuat kesadarannya perlahan menghilang.
Tubuh Naina melemas, pandangannya gelap. Orang itu dengan sigap menangkapnya sebelum jatuh, lalu mengangkat tubuh gadis itu di pundaknya layaknya karung beras, membawa Naina keluar dari hotel dengan langkah cepat dan teratur.
Melihat hal tak terduga itu, sosok yang sejak tadi memantau Naina kini melongo tak percaya.
Ia tidak menyangka ada orang lain yang lebih dulu bergerak tepat di depan matanya.
"Sial! aku kalah cepat!" umpat nya geram, kemudian berlari keluar sembari melepaskan masker hitam dari wajahnya.
🍂
🍃
Sementara itu, di dalam ballroom, teman-teman Naina masih asyik menikmati alunan musik yang mengiringi tubuh mereka bergerak berirama. Nathan dan Zora pun ikut nimbrung, tertawa kecil di antara dentuman lagu pesta.
Papi Jordan tampak tenang, sesekali menyesap minuman dan berbincang dengan beberapa rekan bisnis yang diundangnya malam itu. Namun di sisi lain ruangan, mami Audrey mulai menunjukkan raut cemas. Sudah cukup lama putrinya keluar, tapi belum juga kembali.
Wanita itu berjalan pelan mendekati putranya, suaranya terdengar lembut tapi sarat khawatir.
“Nathan, kamu tahu nggak tadi kak Naina keluar sama siapa?” tanya mami Audrey.
“Tadi Naina keluar sama Julian, Tante. Di lobi kok,” jawab Zora santai, memberikan senyum lembut pada mami Audrey.
“Oh iya, tapi bukankah sudah lama ya? Acaranya juga hampir selesai, kenapa dia nggak masuk-masuk?”
“Mami kayak nggak tahu aja perubahan kak Naina akhir-akhir ini,” celetuk Nathan santai. “Kalau udah sama Julian, pasti lupa waktu. Temu kangen dulu lah, Mi.”
Mami Audrey menyipitkan mata, lalu menyentil kening putranya pelan. “Mulut kamu itu!”
Ia akhirnya melangkah pergi menuju lobi dengan perasaan tak menentu. Namun sesampainya di sana, tak ada siapa-siapa, hanya beberapa petugas hotel yang sedang merapikan meja resepsionis.
......................
“Eummm, lepasin gue!” Naina berontak, meski terlihat percuma. Gerakannya terbatas, pergelangan tangannya terikat kuat pada kursi oleh tali kasar yang membuat kulitnya perih, begitu pun kedua kakinya
Matanya bergerak liar, memindai setiap sudut ruangan asing yang kini menelannya. Tak ada siapa pun di sana, hanya udara pengap, dinding kusam, dan aroma debu yang menusuk hidung.
Sesaat, Naina terdiam. Otaknya bekerja cepat, mencoba mencari cara untuk keluar dari tempat itu. Namun tiba-tiba, langkah kaki berat terdengar mendekat perlahan dari luar pintu.
Napasnya tercekat.
“Ju... Julian!”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...