Tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba, dari balik kerumunan jemaah masjid yang baru saja menyimak tausiyah dzuhur, muncullah seorang gadis berwajah bening dengan sorot mata sekuat badai.
Di hadapan ratusan pasang mata, ia berdiri tepat di depan sang ustadz muda yang dikenal seantero negeri karena ceramahnya yang menyentuh hati.
"Aku ingin menikah denganmu, Ustadz Yassir," ucap Zamara Nurayn Altun, dokter magang berusia dua puluh satu tahun, anak dari keluarga terpandang berdarah Turki-Indonesia.
Seluruh dunia seakan berhenti sejenak. Para jemaah terdiam. Para santri tertegun. Dan sang ustadz hanya terpaku, tak sanggup berkata-kata. Bagaimana bisa, seorang gadis yang tak pernah ia kenal, datang tiba-tiba dengan keyakinan setegas itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 34
Sore itu, matahari condong ke barat. Cahaya keemasannya menyelinap melalui jendela ruang perawatan VIP, memantul lembut di lantai marmer.
Udara rumah sakit terasa lebih hangat dari biasanya, bukan karena suhu, tapi karena kehadiran cinta yang mulai menata kembali ruang-ruang yang dulu sempat kosong.
Zamara duduk manis di tepi ranjang. Jas dokternya digantung di kursi, menyisakan blouse putih dan rok panjang berwarna pastel yang lembut. Di tangannya, sepiring potongan buah tropis dingin, segar, disuapi perlahan ke mulut suaminya yang setengah berbaring. Sesekali jemarinya mengelus pelipis Yassir dengan gerakan manja.
“Kamu tahu enggak,” ujarnya dengan suara pelan sambil menyodorkan potongan melon, “kalau kamu diem gini... matamu ngeliatin aku kayak gitu... aku jadi pengen daftarin kamu ke ICU cinta. Gawat darurat. Karena detak jantung aku mulai enggak normal.”
Yassir tertawa pelan. Bibirnya menyentuh ujung garpu plastik yang masih ia pegang. “Iya? Berarti aku pasiennya, kamu dokternya?”
Zamara mengangguk genit. “Dokter cinta. Spesialis luka batin dan rindu yang lama dipendam.”
“Lalu obatnya apa, Bu Dokter?”
Zamara mencondongkan tubuhnya, membisik lembut ke telinganya, “Tiap dua jam disuapin cinta. Tiga kali sehari ditiup doa. Kalau makin parah, pelukan hangatnya istri sah.”
Yassir mendesah pelan, matanya menatap manja. “Kenapa kamu tuh selalu bisa bikin aku pengen sakit lama-lama…”
“Sakit hati apa rindu, Ustadz?” cibir Zamara manja, lalu menyuapkan stroberi ke mulutnya sendiri. “Tapi jangan lupa, aku bisa jadi obat atau racun, tergantung sikap pasien.”
Yassir meraih tangan istrinya, mencium punggungnya singkat. “Kalau semua racun seenak ini, aku rela keracunan tiap hari. Asal racunnya halal.”
Zamara nyengir lebar, “Tentu halal, sayang. Disahkan negara, disahkan langit. Bahkan waktu kamu tidur koma pun, hatiku masih jadi milik kamu.”
“Tapi aku jujur,” sambung Yassir pelan, “aku kangen cara kamu nyuapin aku kayak gini. Kayak di rumah waktu dulu.”
Zamara mengangguk pelan, tatapannya sendu tapi hangat. “Dulu aku nyuapin kamu karena cinta. Sekarang aku nyuapin kamu... karena cinta yang sudah lewat banyak badai tapi tetap berdiri.”
“Dan kamu,” imbuh Zamara lagi sambil mengelus pipi suaminya, “masih laki-laki paling ganteng walaupun tangannya penuh infus dan rambut mulai ada uban.”
Yassir tersenyum lebar, menggoda, “Kalau aku mulai botak, kamu masih cinta?”
Zamara mengedip centil, “Selama kamu tetap ustadz nyeleneh yang doanya manjur tapi ciumannya masih bikin jantung aku sempit... aku cinta.”
Yassir terbahak, lalu meringis karena luka operasinya masih perih.
Zamara panik. “Eh, pelan-pelan dong... kamu baru sembuh.”
Yassir menatapnya serius. “Aku cuma sakit secara fisik. Tapi jiwaku sembuh karena kamu pulang.”
Zamara menyuapkan potongan apel terakhir setelah buah melon ke mulut Yassir dengan senyum tipis, penuh kelembutan. Wajahnya tenang, riasan tipisnya hanya menegaskan betapa anggun dan kuatnya seorang Zamara Nurayn Altun.
Pintu terbuka pelan. Tiga tamu melangkah masuk tanpa aba-aba.
Ustaz Bahar membuka langkah pertama. Di belakangnya, berdiri Bu Rahma dengan tatapan sinis yang tak ditutup-tutupi, dan ustazah Aisyah, perempuan berwajah manis yang menyimpan ribuan amarah dan iri dalam balutan gamis panjang warna pastel.
Mereka berhenti sejenak di ambang pintu, pandangan mereka tertancap pada pemandangan tak terduga: seorang wanita cantik, berhijab rapi, menyuapi Yassir dengan penuh kasih.
“Jadi ini istri yang tega ninggalin suaminya,” seloroh ustaz Bahar datar, tapi tajam.
Bu Rahma mencibir, “Katanya dokter cantik, pintar, baik. Tapi kok tega ninggalin anak kembar pas umur empat puluh hari. Yang satu malah dikira meninggal. Hebat juga main petak umpet tujuh tahun.”
“Jangan-jangan selama ini kerjaannya bukan nyelamatin nyawa,” celetuk ustazah Aisyah dengan tawa kecil yang menyebalkan, “tapi malah jadi perempuan bayaran di luar negeri.”
Zamara mengangkat wajahnya, tetap duduk anggun di tepi ranjang suaminya. Tak ada getaran marah di matanya, hanya ketegasan yang nyaris dingin. Senyumnya tetap, tapi mengandung kekuatan yang tak mudah digoyahkan.
“Terima kasih sudah datang. Tapi sebelum lanjut ngomongin saya, mungkin lebih baik tanya langsung ke yang paling tahu,” ucap Zamara pelan, “suami saya.”
Yassir mengangkat tubuhnya sedikit, menatap mereka bertiga dengan tatapan jernih yang tak bisa dibantah.
“Dia Zamara. Istriku. Sejak dulu, sekarang, dan insya Allah selamanya,” tegas Yassir.
Ustazah Aisyah menyentak pelan, wajahnya berubah, tapi masih mencoba menahan.
“Kami memang pernah diuji,” sambung Yassir, “Tapi kalau Allah sudah tunjukkan jalan pulang, siapa kita mau menghalangi? Kami kembali bukan karena pura-pura. Tapi karena takdir yang tetap memanggil.”
Zamara berdiri perlahan. Ia menepuk tangan suaminya, lalu menatap tamu-tamunya satu per satu, kali ini dengan senyum yang lebih mengarah pada ketegasan.
“Saya memang pernah pergi. Tapi tidak lari,” ucapnya.
“Pergi untuk menata, bukan meninggalkan. Saya tidak nyari simpati, hanya hak untuk dicintai lagi oleh suami saya, yang tak pernah menceraikan saya sekalipun dalam luka terdalamnya.”
Ia mendekat pada ustazah Aisyah. Suaranya lembut tapi menggigit, penuh kelas.
“Kalau saya masih dicintai, dihormati, diterima anak-anak saya... lalu kenapa kamu yang sibuk marah?”
Ustazah Aisyah membuka mulutnya, tapi tak ada suara yang keluar.
Bu Rahma memotong, “Kamu kira gampang ngelupain jejak yang kamu tinggalkan?”
“Tentu tidak, Bu,” sahut Zamara lembut, “tapi manusia itu bukan cuma tempat menyimpan kesalahan. Kita juga punya tempat buat bertumbuh. Dan saya memilih pulang ke rumah yang tidak pernah menutup pintu.”
Yassir menyambung cepat, “Dan siapa pun yang mengaku dekat sama agama, harusnya ngerti: taubat itu bukan cuma hak orang yang suci. Tapi hak siapa saja yang mau kembali.”
Ustaz Bahar berdeham. Ia menatap keduanya, lalu melirik Aisyah yang masih bungkam. Ia mengangguk kecil, seperti tak bisa berkata-kata lagi.
Miera tiba-tiba muncul di pintu. Napasnya tersengal. Di belakangnya, Thaimur dan Zhamir menyusul.
“Ummi! Abi! Kami udah siap! Ini cincin nikah ulangnya udah dibungkus sama Tante Shena, ada bunga-bunganya!” seru Miera riang.
“Ada yang mau duduk paling depan!” seru Zhamir sambil mengangkat tangan.
“Dan aku udah hafal doa pengantin, boleh aku bacain nanti?” ucap Thaimur penuh semangat.
Pak Mahmud yang tadi diam di belakang, mendekat dan tersenyum penuh makna.
“Kadang, cinta yang jatuh kedua kalinya justru yang paling dalam,” katanya pelan.
Sore itu, udara terasa lebih hangat. Tak ada pelaminan. Tak ada pesta mewah. Hanya ruang rumah sakit yang saksi sebuah ikatan yang dipulihkan kembali. Dengan restu langit, tiga pasang mata anak-anak jadi saksi. Cinta itu benar-benar pulang.
Sebelum pulang setelah dibuat marah oleh ustadz Yassir dan Zamara, tanpa suara, tanpa napas terdengar, Pak Bahar mengangkat ponselnya. Dari balik sisi pintu kamar rumah sakit yang sedikit terbuka, ia mengintip.
Jarinya bergerak lincah. Satu... dua... tiga jepretan. Di layar ponselnya, terlihat Zamara sedang mencondongkan tubuh, menyuapi suaminya sambil berbisik di dekat telinga. Meski perempuan itu tetap memakai hijab dan baju longgar, sudut pengambilan gambarnya seolah menyiratkan sesuatu yang melampaui batas.
Senyumnya tipis, mata penuh kepuasan, lalu ia buru-buru mundur dan keluar menuju lift.
Beberapa menit kemudian, akun media sosial @BaharAl_Muhtadi miliknya memunculkan unggahan baru. Foto itu. Diedit sedikit, dibuat lebih buram, diberi efek hitam putih agar tampak “serius.”
Caption-nya: > "Ketika profesi kehilangan adab dan iman. Beginikah akhlak seorang dokter? Menemani pasien laki-laki bukan muhrimnya dengan cara yang tak layak. Dunia medis dan dakwah sama-sama tercoreng. Astaghfirullah…"
Unggahan itu langsung menyebar cepat. Beberapa akun gosip agama menyalin dan membagikannya. Warganet mulai ramai berkomentar, tanpa tahu kebenarannya, tanpa bertanya.
Banyak dari mereka mengenali wajah Ustadz Yassir, dan lebih banyak lagi yang mengenali Zamara dokter cerdas yang sempat viral karena program kemanusiaannya di Turki.
Sementara itu, di kamar rumah sakit, suasana masih hangat. Zamara sedang membereskan sisa buah di nampan, dan Yassir tersenyum melihat cara istrinya merapikan semuanya dengan rapi, seolah mereka bukan sedang di rumah sakit, tapi di rumah sendiri.
Tak ada yang menyangka badai sedang bergerak diam-diam dari balik layar kaca.
Beberapa jam kemudian, notifikasi di ponsel Zamara berdering bertubi-tubi. Chat dari rekan sejawat. Telepon dari asisten rumah sakit. Bahkan kepala rumah sakit langsung meneleponnya.
Zamara membuka satu unggahan yang dikirimkan ke WhatsApp-nya.
Dan di sana terpampang foto mereka.
Ia terdiam.
Yassir yang melihat perubahan raut wajah istrinya segera menegakkan posisi duduknya. “Sayang? Kenapa? Mukamu berubah.”
Zamara menyerahkan ponselnya tanpa kata. Yassir membaca. Diam. Lalu tersenyum miris.
“Jadi begini cara mereka menyerang kita,” ucapnya tenang.
Zamara menahan napas. “Aku harus hadapi ini. Sebelum fitnah tumbuh lebih besar.”
Yassir meraih tangannya. “Kamu enggak sendiri.”