‘Dulu, ibuku pernah menjadi permaisuri satu-satunya, dan aku Putri mahkota dalam istana mahligai rumah tangga orang tuaku, tapi lihatlah kini! Kami tak ubahnya sampah yang dibuang pada sembarang tempat!’
Dahayu – wanita berpenampilan sedikit tomboy, harus menelan pil pahit kehidupan. Sang ayah menjual dirinya kepada sosok asing, yang mana ia akan dijadikan istri kedua.
Tanpa Dahayu ketahui, ternyata dirinya hendak dijerumuskan ke jurang penderitaan. Sampai dimana dirinya mengambil keputusan penting, demi sang ibu yang mengidap gangguan mental agar terlepas dari sosok suami sekaligus ayah tirani.
Siapakah sosok calon suaminya?
Mampukah Dahayu bertahan, atau malah dirinya kalah, berakhir kembali mengalah seperti yang sudah-sudah?
Pengorbanan seperti apa yang dilakukan oleh wanita berpendirian teguh, bersifat tegas itu …?
***
Instagram Author : Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34 : Belum tentu bisa adil
Dahayu seolah tuli, dia beranjak dengan selimut ditahan pada ketiak, ujung jemari kakinya menjepit handuk kimono hotel yang tergeletak di lantai samping ranjang.
Tanpa menoleh, dipakainya penutup tubuh, lalu berdiri. “Maksudnya ... bersama dengan dirimu menggenggam kedua tangan wanita yakni, aku dan Masira? Kalau iya, maaf diri ini tak berminat. Meskipun hadiah dari poligami itu adalah surga bagi seorang istri yang ikhlas menjalaninya – aku lebih memilih menggapai Jannah sendirian kendatipun melewati semak berduri dan berjalan dibara api.”
Dahayu melangkah lambat, lalu berhenti untuk sekadar melontarkan kalimat lainnya. “Dengan memiliki satu istri saja dirimu belum tentu bisa berlaku adil, bagaimana bisa meminta wanita lainnya menaiki perahu sempit, sementara sudah ada penumpangnya.”
“Amran ….” Ia menoleh, menatap tenang netra pria yang terlihat sedang mengatur ekspresi. “Sedari awal sudah kukatakan – batasi, lenyapkan perasaan apapun itu dalam hatimu. Dia wanita, aku pun sama. Baik buruk, kurang dan lebihnya kami … tak selayaknya diduakan, diadu demi melihat siapa si-paling pantas mendampingimu. Bila hatimu lebih condong ke salah satunya, maka lepaskanlah lainnya. Jangan sekali-kali mencoba memberi harapan, sementara dirimu sendiri masih bimbang.”
Amran terkesiap, dia kira setelah malam panas, dan sepenuh hati dirinya memesrai, mencoba menyatakan apa yang dia rasakan melalui sentuhan lembut, Dahayu dapat memahami, merasakan kalau sudah tumbuh benih cinta dalam hatinya.
Namun, semua menguap dalam sekejap mata. Hati Dahayu tetap membatu, atau memang bukan dirinya yang dimau. ‘Apa setelah melihatnya bercumbu dengan kakak tirimu, kau tetap masih menaruh rasa kepadanya Dahayu?’
.
.
Pada ruangan yang sama, diatas karpet motif polos, tergelar sajadah dan handuk bersih.
Dengan mengenakan celana jeans panjang, kaos pas badan, dan tanpa mengenakan peci, Amran berdiri didepan sang istri kedua. Dia menjadi imam sholat, membaca surah pendek dengan pelafalan sempurna.
Sementara Dahayu, memakai mukenah yang sudah dipersiapkan oleh Lila dalam paper bag.
‘Ya Rabb - apa perasaan ini bisa disebut cinta? Bila iya, mengapa begitu berbeda dari yang hamba rasakan saat bersama Masira?’ Tangannya menengadah, bibir terkatup, dan hatinya bertanya dengan mata terpejam.
‘Bersama Dahayu, hati ini tenang. Desir itu selalu ada dan mendebarkan kala berdekatan maupun bertatapan. Dia tak perlu melakukan apa-apa untuk menarik perhatian. Diamnya, sanggahan, penolakan, serta ekspresi datar yang ia tampilkan – mengapa bisa hamba nyaman, merasa tertantang, dan terus memikirkannya. Lantas, apa hal ini adil untuk Masira, ya Rabb?’
Pria beristri dua itu dilanda kebimbangan. Dia sadar kalau Dahayu sama sekali tidak berminat dan menolak keras dipoligami. Namun dirinya pun keberatan bila harus melepaskan Masira, sebab wanita itu sudah banyak mengalami kesakitan kala berumah tangga dengannya.
Akan tetapi, rasanya sangat sulit mengusir satu nama yang tanpa dipinta mulai bertahta dalam sanubarinya.
Sesudah memanjatkan doa, Amran bergeser kesamping, dan tangannya diraih untuk disalami oleh istrinya.
Dahayu mencium punggung tangan Amran, lalu dibalas kecupan lembut pada kening.
Amran menatap lama. Mencari sesuatu untuk dijadikan alasan, mencoba mengukur seberapa besar rasa yang telah tumbuh itu. Kedua tangannya membingkai wajah Dahayu, kembali ia mengecup kening, meresapi, lalu berbisik sangat lirih. “Tunggu sebentar lagi ya?”
Dayu terdiam, pun saat tubuhnya didekap, dan dagu Amran bertumpu pada pucuk kepalanya. Memilih abai pada kalimat ambigu yang ia sendiri tidak tahu apa maksudnya.
“Amran, kapan kita pulang?” alih-alih menjawab pertanyaan, ia malah bertanya hal lainnya.
“Kenapa?” Ia mundurkan wajahnya, menatap manik coklat mempesona. “Kau tak betah disini?”
"Aku mengkhawatirkan Ibuk.”
“Ibuk baik-baik saja.” Amran melihat tatapan ragu pada bola indah Dahayu. “Bila kau tak percaya, hubungi saja sahabatmu itu.”
Dahayu bingung, dia tidak memiliki ponsel. Benda yang menurutnya mahal itu tak terlalu berguna baginya. Siapa hendak dihubungi, sedangkan dia dan ibunya seperti sosok sebatang kara.
Mengerti kegundahan wanita bermukena putih, Amran beranjak mengambil ponselnya diatas nakas. Menghidupkan benda canggih itu, setelah aktif langsung diserbu bunyi notifikasi beruntun.
Ada lebih dari 11 pesan dan panggilan tidak terjawab dari Masira, Amran memilih mengabaikan dan memberikan ponselnya kepada Dahayu. “Hubungi lah!”
Dahayu bergegas menekan tombol angka, dia hapal luar kepala nomor sang sahabat. Pada dering pertama sampai ketiga belum diangkat, pas ke lima baru terdengar suara khas bangun tidur diseberang sana.
“Siapa kau? Kalau cuma iseng dengan mengatakan salah nomor. Ku doakan semoga malaikat segera mendatangi dengan mengatakan telah tiba waktunya bagi engkau menghadap Tuhan.”
Amran melotot, dia terkejut mendengar kalimat tajam sahabatnya Dayu. Panggilan terhubung itu di loud speaker.
"Ini aku, Nell. Ibuk baik-baik saja ‘kan?” tanya Dayu sambil menahan tawa.
“Eh Paok. Kau kemana saja? Hampir copot jantungku mencarimu kemana-mana, tapi tak ketemu.” Nelli langsung bangun dari pembaringan.
“Tiba-tiba si Randu kapuk bilang kalau kau dibawa suami milik umum itu,” lanjutnya asal.
Amran menarik kaki Dahayu yang bersila, lalu merebahkan kepalanya diatas paha, dan meraih tangan kiri sang istri, meminta rambutnya disisir jari.
“Ibuk baik-baik saja kan Nell?” tanyanya ulang, dan jemarinya mengusap lembut kepala yang rambutnya masih setengah basah.
“Jangan mengalihkan pertanyaan ya, Yu! Berapa ronde kalen semalam? Apa edukasi dari Mak Beti kau peragakan? Gaya apa, Yu? Kodok apa 69? Jawab Yu!”
“Diam Nell!” ada semburat merah pada pipi Dahayu, dia mencoba menyamarkan dengan menepuk pipinya.
Namun, aksinya itu tidak cukup cepat dan terlambat – Amran telah melihatnya. Dia menatap jenaka dengan senyum menggoda yang dibalas lirikan maut.
“Ha ha ha … ternyata punya malu juga kau! Tak sia-sia lah berjam-jam duduk mendengarkan khotbah Mak Beti yang memberikan ilmu tentang kawin-kawinan!” Nelli terbahak-bahak hingga tersedak air liurnya sendiri.
“Mampus ‘kan! Kualat kau!” sindir Dahayu dengan raut kesal. Dia tidak peduli pada Amran yang menatapnya bak mangsa mau diterkam.
“Ibuk mana Nelli?!”
“Tak payah lah kau cemaskan Ibuk kita. Diapun terlihat senang tanpa dirimu. Kau dengar ini ya! Sedang apa cewek mantel kita itu!”
Terdengar bunyi ranjang berderit dan langkah kaki menginjak lantai, lalu suara berisik yang ia kenali.
“Betul tidak, Buk?”
“Paok (bodoh) kali kau! Macam ini baru benar!” bu Warni sedang memarahi seseorang.
“Apa artinya?” tanya Randu, wajahnya sudah penuh bedak bayi.
“Katanya kau mulai pintar,” jawab antusias Bondan.
Randu tersenyum senang. “Terima kasih ya Buk.”
"Ayo lanjut lagi main kartunya!” seru bu Warni.
Asisten Amran Tabariq kembali kena semprot, sampai cipratan air ludah Bondan mengenai pipi Randu.
“Longor (bodoh) nya!” cibir bu Warni, dia terlihat kesal.
"Kali ini apa artinya?” tanyanya polos.
“Katanya kau tampan,” Bondan mengatakan dengan ekspresi meyakinkan.
“Mbak Warni! Siapa yang ngajarin ngomong tak sopan seperti itu?!”
.
.
Bersambung.
" wahai sang penjaga hati, aku berharap dan berdoa selalu di beri kekuatan untuk selalu menjaga hati dari segala penyakit "