Ketika Olivia, gadis kota yang glamor dan jauh dari agama, dipaksa menikah dengan Maalik—kepala desa yang taat, dunia mereka berbenturan. Tapi di balik tradisi, ladang, dan perbedaan, cinta mulai tumbuh… pelan-pelan, namun tak terbendung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon komurolaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
[ BAB 34 ] Manja untuk Eyang, Gengsi untuk Suami
"Oliviaa kangen eyanggg..." ucap Olivia manja sambil meringkuk di sofa, matanya berbinar menatap layar ponsel yang menampilkan wajah Ratih, eyang putrinya.
"Eyang juga kangen sekali sama cucu cantik eyang ini," balas Ratih dengan senyum lembut yang menenangkan.
Olivia manyun. "Olivia mau pulang ke Jakarta, eyang. Mau tinggal di sana..." rengeknya penuh manja.
Ratih tertawa kecil, geleng kepala. "Nggak bisa gitu, sayang. Olivia kan sudah punya suami, tugas istri itu ikut suami."
"Tapi Olivia nggak suka di sini, eyang..."
"Nanti lama-lama pasti suka," Ratih menenangkan. "Suami kamu mana, sayang? Eyang mau bicara..."
Olivia langsung menghela napas berat. Pandangannya melirik malas ke arah dapur, di mana Maalik tengah sibuk membuatkan smoothie untuknya. Hatinya mendadak kacau. Ia bingung harus memanggil Maalik apa. Selama ini, Olivia hampir tak pernah menyebut nama suaminya—kecuali ketika emosi, saat marah dan minta cerai dulu. Tapi kali ini berbeda, tak mungkin ia bersuara sembarangan. Bisa-bisa ia diceramahi 7 hari 7 malam oleh eyangnya.
Olivia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya berulang kali, berusaha mengumpulkan keberanian. Hingga akhirnya keluar suara lirih dari bibirnya.
"Mm... Mass..."
Sayangnya, Maalik tidak menoleh.
"Mana suami kamu, sayang?" desak Ratih lagi dengan sabar.
"Iya, sebentar eyang..." sahut Olivia setengah menggerutu. Ia menggigit bibir, lalu memberanikan diri memanggil lebih jelas, "Mas... Mas Maalik..."
Kali ini Maalik langsung menoleh. Olivia buru-buru memalingkan wajah, menyodorkan ponsel dengan cepat.
"Eyang mau bicara..." ucapnya singkat, enggan menatap reaksi Maalik.
Maalik menaruh gelas, lalu menghampiri istrinya. Tatapannya sempat singgah sebentar pada wajah Olivia yang memerah sebelum ia mengambil ponsel.
"Assalamualaikum, eyang..." sapa Maalik dengan ramah.
"Waalaikumsalam, Maalik. Bagaimana kabarnya, nak?" suara Ratih terdengar hangat.
"Alhamdulillah sehat walafiat, eyang. Eyang putri dan eyang kakung bagaimana kabarnya?" jawab Maalik sopan.
"Alhamdulillah kami sehat juga, nak." Ratih tersenyum. "Bagaimana Olivia? Bandel nggak? Masih manja?"
Maalik melirik istrinya yang sudah manyun kesal. Senyumnya mengembang nakal.
"Alhamdulillah semakin pintar dan baik, eyang. Kalau manjanya... masih, dan kayaknya nggak akan pernah hilang," jawabnya santai.
Ratih tertawa kecil, sedang Olivia semakin merengut.
"Kalau manja itu memang nggak bisa hilang, Maalik. Kamu yang sabar ya, nak."
"Iya, eyang. Justru manja itu yang bikin gemes..."
Percakapan berlanjut beberapa menit sebelum Ratih berpamitan. Ia harus menghadiri pertemuan perkumpulan lansia elit di kota, acara rutin mingguan yang tak pernah ia lewatkan.
Begitu telepon berakhir, Maalik menoleh penuh arti pada istrinya.
"Apa?" sahut Olivia cepat, berusaha menghindar.
"Tadi manggil saya apa?" tanyanya sambil menaikkan sebelah alis.
Pipi Olivia merona. "Manggil apaan? Gue cuma manggil nama lo..." elaknya cepat.
Maalik terkekeh kecil, lalu bersandar di sofa sambil menyilangkan tangan di dada. "Pendengaran saya masih bagus, Olivia. Tadi kamu manggil saya apa?"
"Ihh, nggak ada..." Olivia menutup wajah dengan bantal, berusaha menyembunyikan rasa malunya.
"Kalau gitu, malam ini nggak ada bobo sambil dipeluk," ancam Maalik tenang, seolah sedang membicarakan hal sepele.
"Ihh, rese banget! Mana bisa gitu..." protes Olivia dengan wajah memerah.
"Bisa..." jawab Maalik singkat, suaranya penuh keyakinan.
Sebenarnya, sejak pertama kali Olivia memanggil "Mas", Maalik sudah mendengar jelas. Ia hanya pura-pura tak mendengar karena ingin Olivia mengulanginya lagi. Kini, ia ingin memastikan panggilan itu jadi kebiasaan, meskipun gengsi istrinya setinggi Gunung Everest.
Olivia mengerling kesal, lalu mendengus panjang. Akhirnya, dengan suara pelan, hampir seperti bisikan, ia berucap,
"Mas..."
Maalik langsung tersenyum lebar, matanya berbinar puas. Ia mendekat dan menarik Olivia ke dalam pelukannya.
"Pintarnyaa Istri Mas..." bisiknya lembut di telinga istrinya, membuat Olivia semakin salah tingkah.
---
Seharian penuh Olivia benar-benar berubah menjadi manusia paling malas sejagat raya. Kerjaannya hanya menonton drama Korea, lalu berhenti sebentar untuk main game, lalu kembali lagi ke drama. Begitu terus berulang kali tanpa jeda berarti. Tapi begitulah keseharian Olivia, rutinitas yang sudah seperti lingkaran tak berujung.
Ia meregangkan tubuh malasnya, lalu menoleh ke arah jam dinding. Jarum panjang sudah menunjuk angka enam, dan jarum pendek menempel di angka empat. Sudah pukul setengah lima sore. Olivia mengernyit. Tumben sekali ia belum melihat keberadaan Maalik. Biasanya, di jam segini, suaminya sudah mulai sibuk mengganggu dengan ocehan khasnya—menyuruhnya mandi, menyuruh berhenti nonton, atau sekadar iseng mencari gara-gara.
Olivia pun beranjak dari kamar. Ia berjalan menyusuri ruangan demi ruangan, tapi tak menemukan tanda-tanda keberadaan Maalik. Sunyi. Hingga telinganya menangkap suara samar dari arah belakang rumah. Rasa penasaran mendorongnya untuk melangkah menuju taman.
Di sanalah ia melihat sosok suaminya. Maalik sedang sibuk mencangkul tanah, seperti sedang menyiapkan lahan baru. Entah untuk ditanami apa, Olivia tidak tahu. Yang jelas, pandangannya langsung terhenti pada tubuh lelaki itu.
Maalik hanya mengenakan celana pendek selutut. Tubuh bagian atasnya telanjang, kulitnya berkilat oleh peluh yang mengalir. Sebuah topi ia kenakan terbalik, membuatnya terlihat jauh lebih santai sekaligus gagah. Olivia menelan ludah, matanya tak bisa lepas. Demi apa pun, tubuh Maalik benar-benar bagus. Bukan hanya sekadar atletis, tetapi penuh tenaga dan maskulinitas yang jarang ia lihat dari dekat.
Lucunya, satu-satunya pria yang pernah Olivia lihat tubuhnya hanyalah Maalik. Bahkan papinya sendiri saja hampir tidak pernah. Sesekali terbayang memang, tapi itu lebih sering saat menonton idol kesayangannya di layar kaca. Chanyeol, misalnya. Ya, tubuh idola itu yang dulu sering ia kagumi. Tapi kini, kenyataan di hadapannya membuat semua bayangan idol itu tampak kalah jauh.
Sambil melangkah pelan, Olivia masih sibuk dengan lamunannya. Tanpa sadar, ia sudah berdiri persis di samping Maalik. Lelaki itu baru menyadari kehadirannya, spontan menoleh, dan langsung terkejut.
“Astagfirullah… Olivia! Kamu ngagetin saya,” seru Maalik sambil menghentikan gerakan cangkulnya.
Olivia pun ikut kaget. Wajahnya memanas, tubuhnya salah tingkah. Ia bingung sendiri kenapa bisa sampai melamun hanya karena terpesona dengan tubuh suaminya.
“Ada apa, Olivia?” tanya Maalik setelah meletakkan cangkul di tanah.
Olivia menelan ludah. Tatapannya tak sengaja jatuh ke perut kotak-kotak Maalik yang berkilau karena keringat. Astaga… benar-benar seperti perut Chanyeol, batinnya.
“Olivia? Hei…” suara Maalik menyadarkannya.
Olivia mengerjap panik. “Emm… gue…” Ia kehilangan kata-kata. Dalam hati sebenarnya ia ingin sekali menyentuh perut suaminya. "Pengen ngelus perut lo"… bisiknya dalam batin, tapi cepat-cepat ia memukul kepalanya sendiri pelan. Sadar, Olivia!
“Hei, kenapa kepalanya dipukul-pukul?” tegur Maalik lembut, lalu berusaha meraih tangan istrinya.
“Gue… gue mau makan,” ucap Olivia cepat, berharap bisa mengalihkan perhatian suaminya.
Maalik tertegun, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Senyum kecil tersungging di wajahnya. Hatinya hangat. Sejak menikah, baru kali ini Olivia dengan keinginannya sendiri berkata ingin makan. Biasanya ia hanya bertahan dengan susu kedelai, smoothie, buah potong, atau sekadar beberapa sendok nasi yang itu pun harus dengan bujukan mati-matian dari Maalik.
aku nungguin terus kelanjutan ceritanya
udah GX sabar bgt..
beberapa bab cuma ngomong gitu doang