"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:
“Sah.”
Namun sebelum suara itu terdengar…
“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”
Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.
Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.
Siapa dia?
Istri sah yang selama ini disembunyikan?
Mantan kekasih yang belum move on?
Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?
Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.
Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Surat Nikah
Jantung Kanya berdetak cepat. Bukan hanya karena terkejut, tapi karena kedekatan yang tak pernah ia bayangkan. Seumur hidup, ia belum pernah digendong pria mana pun selain ayahnya, dan itu pun saat kecil.
"Aku akan periksa kakimu," kata Kian pelan namun tegas.
"Aku nggak mau dimarahin Papa dan Mama karena menantu kesayangan mereka terluka."
Kanya menatap wajah Kian dari dekat. Ia bisa mencium wangi tubuh suaminya, bisa melihat garis tegas rahangnya, dan... bisa merasakan bahwa hatinya, yang sempat dibiarkan sepi, mulai berdebar untuk pria yang dulu nyaris ia benci.
Dan Kian... yang biasanya dingin dan kaku, malam ini memeluk luka itu tanpa ia sadari. Bukan hanya luka di kaki Kanya, tapi juga luka yang dulu ia torehkan di hati gadis itu.
Kian menurunkan tubuh Kanya perlahan ke atas ranjang. Ia duduk di sisi kasur, dan tanpa ragu, mulai menyingkap gamis yang menutupi kaki Kanya.
Namun tangan Kanya segera menahan, tepat saat kain itu tersingkap hingga betis.
"Kenapa?" tanya Kian, menatap wajah istrinya yang terbingkai cadar.
"Aku... aku malu," jawab Kanya lirih, suaranya nyaris bergetar.
"Aku tak boleh melihat tubuhmu?" Kian mencondongkan tubuh, menatap lekat-lekat sepasang mata di balik cadar.
"Bukankah kemarin kau sendiri yang bilang… kau menyerahkan segalanya padaku? Bahwa terserah aku mau mengambil hakku sebagai suami atau belum?"
Di balik kain cadar, pipi Kanya merona merah. Ia menunduk, menghindari sorot mata suaminya.
"Aku memang bilang begitu…" bisiknya, "tapi… aku belum pernah menunjukkan tubuhku pada siapa pun sebelumnya. Bahkan saat dirawat di rumah sakit pun, yang menangani aku adalah dokter wanita."
Kian menghela napas, bukan marah, tapi… entah. Sesuatu yang asing muncul dalam dadanya.
"Kau bisa bicara soal menyerahkan diri… tapi malu hanya karena lututmu kulihat?" gumamnya, setengah mencela, setengah bingung.
Kanya terdiam sejenak.
Lalu perlahan, dengan gerakan ragu dan kepala tertunduk, ia menyingkap sisi kiri gamisnya, hanya hingga lutut kirinya terlihat. Kaki kanan tetap tersembunyi di balik kain, dijaga dengan rapat seolah bagian dari batas yang belum ingin ia buka.
Ia memalingkan wajahnya ke arah lain, seolah menutup diri dari dunia, menyembunyikan rona malu yang tak bisa ia redam, meski wajahnya tetap terlindung cadar.
Kian terdiam.
Untuk sesaat, ia nyaris lupa tujuan awalnya.
Pandangan matanya menyapu kaki kiri Kanya yang perlahan disingkap. Kaki jenjang itu bersih, putih seperti porselen.
Namun matanya berhenti pada lutut kiri, memar membiru, mencolok dan kontras dengan kulit sekitarnya. Luka itu seperti bekas diam yang menyimpan cerita, nyeri yang ditelan tanpa suara.
Bukan hanya itu, luka bekas kecelakaan itu masih ada di sana, samar tapi nyata. Lutut yang membuat Kanya berjalan pincang. Lutut yang hancur karena ulahnya.
Dan untuk pertama kalinya, malam itu, rasa bersalah menelusup ke hatinya. Bukan karena dipaksa, bukan karena diminta siapa pun. Tapi karena melihat luka itu langsung dari dekat… di tubuh wanita yang kini jadi tanggung jawabnya.
Kian menghela napas pelan, lalu mengambil salep dari meja samping.
Ia sedikit membungkuk. Kedua tangannya bekerja pelan, yang satu memegang tube salep, yang lain memutar tutupnya. Bunyi klik terdengar lirih, memecah keheningan kamar.
Kanya masih memalingkan wajah, jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Bukan karena rasa sakit… tapi karena jarak. Karena posisi. Karena cara Kian menyentuh betisnya, perlahan, seperti sedang membaca rasa.
Salep dingin menyentuh kulitnya, lalu jemari Kian mengolesnya pelan, dengan tekanan lembut namun terarah. Tak ada kesan terburu-buru. Bahkan terlalu hati-hati. Seolah Kian sadar, yang ia sentuh bukan hanya luka… tapi juga batas antara dua hati yang belum saling percaya.
Kanya menggigit bibirnya.
Ia tak menyangka, sentuhan pria itu justru menyentuh hal lain, rasa yang selama ini ia tekan rapat-rapat.
“Aku mengoleskannya pelan. Jika sakit, katakan saja," ujar Kian pelan, suaranya dalam dan serak.
Kanya hanya mengangguk. Suaranya tercekat.
Lalu, jemari Kian berhenti sejenak. Ia menatap lutut itu, kemudian naik perlahan ke wajah Kanya yang tetap memalingkan pandangan.
“Kalau rasa sakit ini di hatimu, bukan di kakimu… apa kau akan bilang padaku?”
Pertanyaan itu menggantung di udara.
Kanya menoleh perlahan, menatapnya. Tak menjawab, hanya diam.
Dan dalam diam itu, Kian bergerak sedikit lebih dekat.
“Atau,” bisiknya, suaranya begitu rendah hingga nyaris tak terdengar, “harus kubayar lunas malam ini… hakku sebagai suami?”
Dada Kanya berdegup keras. Wajahnya memanas. Ia segera menunduk, panik dan gugup bersatu dalam tubuhnya yang kaku.
Tapi Kian hanya tersenyum miring. “Kau takut?”
“A-aku… hanya kaget…” Kanya menjawab terbata, tak tahu harus menjawab dengan penolakan atau harapan.
“Kau bilang sudah siap, 'kan?” bisik Kian dekat telinganya. Napasnya menyentuh sisi cadar, membuat bulu kuduk Kanya meremang.
Ia ingin menjauh, tapi tubuhnya enggan.
Dan Kian seolah tahu.
Ia tak menyentuh lebih jauh. Ia hanya bangkit berdiri perlahan, menutup kembali salep, lalu berjalan ke meja untuk membersihkan tangannya dengan tisu basah.
“Tenang saja,” ucapnya sambil memunggunginya.
“Aku bukan pria yang akan mengambil sesuatu… sebelum kau benar-benar rela.”
Kalimat itu tak romantis. Tapi di telinga Kanya, itu seperti janji. Janji bahwa hatinya bukan barang yang dipaksa diambil.
Kanya hanya bisa terdiam.
Jantungnya tak kunjung tenang, dan satu hal yang ia sadari adalah… Kian mungkin bukan pria yang baik, tapi ia tak sejahat yang selama ini ia pikir.
Dan itu, justru lebih berbahaya.
Kian baru saja melepaskan kancing kemejanya ketika suara langkah pelan terdengar dari belakang. Ia menoleh sekilas dan mendapati Kanya berjalan mendekatinya.
“Tak perlu membantuku,” ucapnya datar, meski matanya sejenak menatap kaki Kanya yang terlihat lebih pincang dari biasanya.
Tapi Kanya hanya tersenyum tipis di balik cadarnya. “Yang sakit kakiku, bukan tanganku,” ucapnya pelan, tulus. “Aku masih bisa membantumu… seperti biasanya.”
Kian terdiam.
Ada sesuatu yang menekan di dadanya. Rasa bersalah? Atau perasaan lain yang ia tak tahu harus disebut apa.
Dalam hati, ia bergumam,
"Apa ini caramu menyentuh hatiku… atau memang ini ketulusanmu yang sejak dulu tak ingin kulihat?"
Kanya melangkah pelan, lalu mulai membuka sisa kancing yang belum terlepas. Tangannya cekatan. Tidak lagi gemetar. Tidak lagi canggung.
Ia sudah terbiasa. Bukan karena kebiasaan membuatnya hambar, tapi karena ia belajar menerima posisi dirinya sebagai istri, meski hanya bisa memandangi tubuh suaminya yang tak pernah benar-benar ia miliki.
Tubuh Kian tegap dan nyaris sempurna. Tapi bagi Kanya, itu bukan tentang bentuk. Melainkan tentang jarak.
Ia bisa melihat, tapi tak berani menyentuh. Bisa dekat, tapi tak bisa benar-benar memeluk.
Dan itu… perih dalam diam.
Sementara Kian hanya memejamkan mata sesaat, membiarkan Kanya menyelesaikan tugas kecilnya, yang entah sejak kapan terasa begitu… menyentuh.
***
Saat makan malam, suasana meja sedikit berbeda.
Keynan dan Aisyah saling melirik sesaat begitu melihat cara jalan Kanya yang lebih terpincang dari biasanya.
Aisyah tak kuasa menahan kekhawatirannya.
"Ada apa dengan kakimu, Nak?" tanyanya lembut.
"Kenapa jalannya begitu? Kamu jatuh, ya?"
Nada suaranya penuh perhatian. Wajah wanita paruh baya itu masih tampak teduh meski kerutan tipis telah menghiasi. Ketenangan dari wudhunya seolah memancar hingga ke sorot matanya.
Kanya tersenyum tipis dari balik cadar. “Iya, Ma… aku nggak sengaja jatuh. Cuma memar sedikit. Tadi sudah diobati.”
Mendadak, suara gesekan kursi terdengar.
Kian menarik kursi di sebelahnya dan berkata singkat, “Duduklah.”
Nada suaranya tidak terlalu datar, tapi juga tidak lembut. Jelas terdengar formal, seolah sedang menyeimbangkan sikapnya di depan orang tua, tapi tak bisa sepenuhnya menyembunyikan sesuatu.
Kanya terdiam.
Bukan karena ragu, tapi karena tak menyangka Kian akan bersikap begitu… terbuka?
Ia mengangguk pelan, lalu duduk dengan tenang. Jantungnya sempat berdebar, entah karena perhatian kecil itu… atau karena harapan-harapan yang muncul begitu saja.
Keynan ikut angkat suara, tenang tapi tegas.
“Kalau masih terasa nyeri, lebih baik periksa ke dokter. Apalagi itu di kaki yang pernah terluka.”
Kanya tersenyum dalam diam.
Rasa hangat mengalir, entah dari perhatian mertuanya atau dari perubahan kecil di wajah suaminya yang mulai terasa… lebih manusiawi.
“Kalau besok belum membaik, aku akan periksa,” ujarnya lembut.
Keynan mengangguk pelan. Tak ada lagi percakapan. Mereka makan dalam hening.
Namun saat makan malam baru saja usai, suara Keynan memecah keheningan.
Wajahnya serius, nadanya pelan tapi menghantam.
“Kian,”
Keynan menatap putranya dengan sorot tajam tapi tenang.
“Kau menikahi Kanya secara siri karena waktu itu usianya belum cukup. Tapi sekarang… dia sudah cukup umur secara hukum.”
Kian terdiam.
“Lalu kapan kau akan mengurus surat nikah kalian secara resmi?”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
awas Kanya ada yg mengintip tuh... pasti dia penasaran liat wajah kamu yg di sembunyikan ternyata cantik pantas aja Kian memilih Kanya... itu Friska yg bilang
Rupanya Kanya salat subuh di masjid rumah sakit - makanya Friska berani mendekat berdiri di samping ranjang Kian yang masih terlelap.
Friska di kamar mandi ketika Kanya datang mendekati Kian yang mulai membuka mata. Friska di balik pintu kamar mandi bisa melihat wajah Kanya ketika pashmina pengganti cadarnya di lepas.
Kian menjelaskan kejadian sewaktu Friska tanpa ijin masuk dalam mobil pada Kanya - terjadi dialok terbuka yang tanpa mereka berdua sadari ada sepasang telinga yang mendengarkan. Baguslah - jadi lebih jelas sekarang hubungan suami istri - Kian dan Kanya bagaimana - Friska harus paham atas arti pembicaraan Kian dan Kanya.
hari ini mereka bisa bicara dari hati ke hati...
saling mencurahkan isi hati masing masing💓💖💕💗
di gantung lagi nih sm kak Nana...
dan suara dering ponselnya si Ftiska dari kamar mandi wkwkwk