NovelToon NovelToon
JATUH KEPELUKAN SANG PANGERAN

JATUH KEPELUKAN SANG PANGERAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berbaikan / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Sarah Siti

JATUH KEPELUKAN SANG PANGERAN

Zhao, putri bangsawan yang terkenal cantik dan keras kepala, kembali membuat kehebohan di kediaman keluarganya. Kali ini, bukan karena pesta atau keributan istana… tapi karena satu hal yang paling ia hindari seumur hidup: perjodohan!

Dirinya dijodohkan dengan Pangeran Wang pangeran kerajaan yang dikenal dingin, tegas, dan katanya... kejam?! Zhao langsung mencari cara kabur, apalagi hatinya telah tertambat pada sosok pria misterius (pangeran yu) yang ia temui di pasar. Tapi semua rencana kacau saat ia malah jatuh secara harfia ke pelukan sang pangeran yang tak pernah ia pilih.

Ketegangan, kekonyolan, dan adu mulut menjadi awal dari kisah mereka. Tapi akankah hubungan cinta-benci ini berubah jadi sesuatu yang lebih hangat dari sekadar perjodohan paksa?

Kisah cinta kerajaan dibalut drama komedi yang manis, dramatis lucu, tegang dan bikin gemas!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Siti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

DARAH DAN AIR MATA

Udara di kediaman Zhao terasa berat. Langkah-langkah pelan terdengar dari luar kamar, lalu pintu terbuka memperlihatkan Pangeran Wang yang baru tiba. Pandangannya langsung tertuju pada Zhao yang berbaring lemah, wajahnya pucat seperti kain putih, napasnya tersengal.

“Zhao…” Pangeran Wang segera duduk di tepi ranjang, jemarinya menggenggam tangan istrinya erat, seolah takut ia akan menghilang.

Di sisi ranjang, Hwajin dan Meilan berdiri diam, mata mereka gelisah.

Ketegangan pecah saat pintu kamar terbuka lagi Chen masuk dengan napas tergesa.

“Yang Mulia… kekacauan sudah mulai. Di depan gerbang istana, Menteri Perang telah siap dengan pasukannya.”

Ucapan itu membuat semua orang di ruangan tertegun termasuk zhao.

Zhao menatap suaminya, matanya membulat dan tiba-tiba ia merasa dadanya sesak, seperti napasnya tertahan.

Pangeran Wang menatapnya, dilema terpatri di wajahnya. “Aku… tidak bisa meninggalkanmu seperti ini.”

Namun Zhao menggenggam tangannya erat. “Kau harus pergi. Lindungi istana… lindungi tahta ayahmu. Aku tidak ingin kekuasaan ini jatuh ke tangan yang salah.”

Ada keheningan panjang sebelum akhirnya Pangeran Wang mengangguk pelan, meski matanya jelas menyimpan luka.

“Tapi sebelum kau pergi… izinkan aku membantumu mengenakan jubah perangmu,” ucap Zhao lirih.

Pangeran Wang terdiam, lalu mengangguk.

Semua orang menunggu di luar, meninggalkan mereka berdua di kamar. Dengan gerakan perlahan dan hati-hati, Zhao yang tubuhnya sudah gemetar memakaikan jubah perang pada suaminya. Setiap lipatan kain ia rapikan, setiap ikatan ia pastikan terpasang, seolah itu adalah upacara terakhir yang bisa ia lakukan untuknya.

“Zhao… maafkan aku. Mungkin aku tidak bisa menemanimu saat persalinan,” suara Pangeran Wang terdengar berat.

Zhao tersenyum tipis, meski matanya berkaca-kaca. “Yang penting… kau kembali dengan selamat dan membawa kemenangan.”

Pangeran Wang menangkup wajahnya, lalu mencium keningnya. “Jaga dirimu… dan anak kita. Meilan akan memindahkanmu ke tempat yang aman. Di sana ada Permaisuri dan juga Xiao.”

Zhao mengangguk.

Mereka berjalan keluar bersama. Di halaman, Pangeran Jaemin dan Pangeran Yu sudah menunggu, lengkap dengan pasukan. Pangeran Wang menoleh ke belakang, memberi satu senyum terakhir pada Zhao.

“Aku akan kembali,” ucapnya sambil menepuk lembut bahu istrinya.

Zhao tetap tersenyum, menatap punggung suaminya sampai benar-benar menghilang di kejauhan.

Namun begitu langkah-langkah itu lenyap, senyum Zhao perlahan memudar. Dadanya terasa perih lalu batuk keras menghantamnya. Darah merah segar mengalir dari bibirnya, menodai lantai.

“Kakak!” Hwajin segera menopangnya, terkejut melihat warna darah itu.

Meilan terbelalak, tangannya menutup mulut.

“Ini… ini tidak mungkin…”

Hwajin menatap Zhao dengan rahang mengeras.

“Dia… diracun.”

Udara di kediaman Zhao terasa tegang. Tubuhnya terhuyung di pelukan Meilan, bibirnya mulai membiru, dan darah masih menetes dari sudut bibir. Hwajin menekan dadanya dengan cemas.

"Ini racun kuat… kalau tidak segera diobati…" suara Hwajin tercekat, tangannya mulai gemetar.

Meilan panik. " nona Hwajin, kita harus bagaimana? Tabib tidak ada di sini!"

Hwajin menggigit bibirnya. "Kita tidak bisa menunggu! Kita harus membawanya ke tempat Permaisuri sekarang juga. Di sana ada tabib istana, dan tempat itu paling aman."

Zhao berusaha menggeleng walau lemah. "Jangan… istana sedang kacau… jangan bawa aku ke sana…" suaranya hampir tak terdengar.

Meilan menatap Hwajin, ragu.

"Kalau kita diam di sini, mereka bisa datang kapan saja!" Hwajin memutuskan, lalu memanggil beberapa pengawal setia yang sudah diperintahkan Pangeran Wang sebelumnya.

"Siapkan tandu! Kita pergi sekarang!"

Zhao memejamkan mata, di sela napas beratnya berbisik, "pangeran Wang…"

---

Sementara itu, di depan gerbang istana, langit yang tadinya cerah berubah kelabu, seolah ikut menutup napas bersama suasana.

Pangeran Wang berdiri di depan, jubah perangnya berkibar, tatapannya tajam menyapu barisan pasukan Menteri Perang yang berlapis-lapis memenuhi depan gerbang.

Di sisi kanan, Pangeran Yu dan Pangeran Jaemin memimpin pasukan masing-masing, wajah mereka tegang. Chen berdiri di dekat Pangeran Wang, menunggu perintah.

Menteri Perang maju selangkah dengan senyum tipis penuh tantangan. "Pangeran Wang, lepaskan gerbang istana. Tidak ada gunanya melawan. Takhta ini sudah tidak layak dipimpin ayahmu."

Pangeran Wang menarik napas panjang, lalu menatap lurus ke arah lawannya.

"Kalau kau pikir aku akan membiarkan istana ini jatuh ke tangan pengkhianat, kau salah besar."

Pasukan di belakang Pangeran Wang mulai merapatkan barisan. Chen berbisik cepat, "Yang Mulia, semua unit cadangan sudah bersiap di titik yang Anda perintahkan. Mereka menunggu tanda."

Pangeran Wang mengangguk tipis. "Tunggu sampai mereka menyerang dulu. Setelah itu, kita tutup semua jalan keluar."

Dari kejauhan, suara genderang perang mulai memecah kesunyian, tanda bahwa bentrokan besar akan segera dimulai.

Pangeran Wang menggenggam kendali lebih erat.

Dan Zhao… bertahanlah sampai aku kembali.

Udara di kediaman tempat Zhao dipindahkan terasa berat. Lampu-lampu minyak menyala pucat, bayangannya bergoyang di dinding. Permaisuri duduk di sisi tempat tidur, menatap wajah Zhao yang semakin pucat. Xiao berdiri di dekat jendela, tangannya mengepal, sementara Hwajin dan Meilan bergantian mengelap keringat yang mengucur deras di dahi Zhao.

"Tabib, kenapa dia seperti ini?" suara Permaisuri bergetar.

Tabib wanita itu memeriksa nadi Zhao, wajahnya menegang.

"Yang Mulia, racun itu mulai menyerang organ dalam. Detak jantungnya melemah… dan" ia terhenti, menatap perut Zhao yang menegang. "Kontraksi."

"Kontraksi?!" Meilan nyaris menjatuhkan kain di tangannya. "Tapi… belum waktunya!"

"Aku tahu," jawab tabib tegas. "Tapi tubuhnya memaksa. Jika kita menunggu… dia dan bayinya tidak akan selamat. Kita harus melahirkan sekarang."

"Zhao…," bisik Hwajin sambil menggenggam tangan kakak iparnya itu.

Zhao mengerjap lemah, matanya berusaha fokus. "Pangeran… Wang… sudah… kembali?" suaranya lirih, nyaris tak terdengar.

Belum sempat dijawab, tubuhnya kembali terguncang kontraksi. Meilan menahan tangis, sementara Permaisuri memegang bahu Zhao. "Bertahanlah, Nak… demi anakmu, demi suamimu…"

Suara genderang perang menggetarkan udara. Di kejauhan, derap langkah kaki bergema, mendekat seperti badai. Pasukan Menteri Perang berbaris rapi, tombak berkilau di bawah sinar matahari yang terhalang kabut debu.

Pangeran Chun muncul di barisan depan, baju perangnya berlapis baja hitam, helmnya memantulkan cahaya. Tatapannya dingin menembus kabut, tepat pada Pangeran Wang yang berdiri bersama Pangeran Yu dan Pangeran Jaemin di sisi berlawanan.

"Kakak…" teriak Pangeran Chun, suaranya lantang namun penuh ejekan. "Kau seharusnya tidak berada di sisi ayah! Seharusnya kau memilih masa depan yang lebih besar!"

Pangeran Wang tidak menjawab. Matanya menusuk Pangeran Chun, dingin dan tak tergoyahkan.

Chen maju sedikit, berbisik di samping Pangeran Wang, "Yang Mulia, pasukan penyergap kita sudah di posisi. Tinggal menunggu perintah."

"Jangan sampai mereka curiga… tunggu tanda dariku," jawab Pangeran Wang singkat.

Menteri Perang mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. "Maju!" teriaknya.

Seperti petir menyambar, panah-panah meluncur dari kedua sisi. Benturan logam melawan logam terdengar memekakkan telinga. Pasukan berlari, tombak menusuk, teriakan perang bercampur dengan jeritan kesakitan.

Pangeran Chun menurunkan pedangnya, mengarahkannya pada Pangeran Wang. "Hari ini kau akan jatuh, Kakak… dan aku… akan menjadi Kaisar!"

Pangeran Wang menggertakkan gigi, memacu dan maju. Di kepalanya, hanya satu nama yang terus bergema Zhao.

Hujan deras mengguyur halaman istana. Suara petir sesekali memecah langit, seolah ikut menyaksikan kekacauan yang sedang melanda.

Zhao terbaring di ranjang, wajahnya pucat pasi, napasnya tersengal. Tangannya mencengkeram erat selimut, tubuhnya bergetar menahan sakit.

“Bukan… belum waktunya…” bisiknya, tapi rasa sakit itu semakin menghantam, seperti gelombang yang tak henti-hentinya datang.

Permaisuri duduk di samping ranjang, menggenggam tangan Zhao. “Bertahanlah, menantuku...!” suaranya berusaha tenang, tapi sorot matanya penuh kekhawatiran.

Tabib mulai memeriksa kembali, lalu menatap Permaisuri dengan raut serius. “Nona zhao harus melahirkan sekarang… racunnya menyebar cepat, kalau tidak…”

Permaisuri terdiam, lalu mengangguk berat.

Zhao menggigit bibirnya, menahan jeritan. “Pangeran Wang…”

---

Medan perang

Di bawah hujan, darah bercampur dengan lumpur. Pedang Pangeran Wang beradu keras dengan pedang Pangeran Chun, percikan air dan darah terlempar di antara mereka.

“Berhentilah, Chun! Jangan seret istana ini dalam kehancuran!” teriak Pangeran Wang.

“Sudah terlambat, Kakak! Takhta itu akan jadi milikku!” Pangeran Chun mendorongnya mundur dengan kekuatan penuh.

Chen berteriak sambil memotong lawan di depannya, “Yang Mulia! Pasukan pengepung kita sudah siap! Beri perintah sekarang!”

Pangeran Wang memandang sekeliling medan perang yang kacau, lalu menggenggam pedangnya erat. “Sekarang! Kerahkan semuanya!”

---

Teriakan Zhao memecah ruangan. Meilan memegangi bahunya, sementara Hwajin mengusap keningnya dengan kain basah. Tabib memandu proses persalinan dengan cepat.

“Dorong! Nyonya Zhao, dorong sekarang!”

Air mata mengalir di pipi Zhao. Tubuhnya lemah, tapi pikirannya hanya pada janin di dalam rahimnya. Kau harus lahir… kau harus hidup… meski aku…

Petir menyambar tepat di luar jendela saat tangisan bayi pertama kali terdengar, menggema di tengah hiruk pikuk perang di luar sana.

---

Medan perang

Teriakan perang menggema, pasukan Menteri Perang mulai mundur terdesak. Namun Pangeran Chun belum menyerah, matanya memerah, penuh amarah.

“Kau pikir ini sudah berakhir, Kakak?!”

Pangeran Wang hanya menatapnya dingin. “Untuk istana… untuk Zhao… dan untuk masa depan.”

Ia menebas pedang lawan dengan satu gerakan tegas.

Pangeran Wang menebas satu demi satu lawan yang mencoba menembus barisan pasukannya. Hatinya gelisah, meski matanya fokus pada pedang di hadapannya. Setiap detik, bayangan wajah Zhao yang pucat terlintas di pikirannya.

Chen mendekat di sela-sela pertempuran. “Yang Mulia! Pasukan kita mulai menguasai sisi timur, tapi kabar dari pengawal istana keadaan di dalam tidak sepenuhnya aman!”

Pangeran Wang mengerutkan dahi. Zhao…

Ia menoleh ke arah adiknya. “Yu!” teriaknya.

Pangeran Yu, yang sedang menangkis serangan, menoleh cepat.

“Kau kembali ke istana, sekarang juga!” perintah Pangeran Wang.

“Apa?!” Pangeran Yu terkejut.

“Di sana ada Zhao, Permaisuri, dan para wanita istana. Aku tidak bisa meninggalkan medan perang ini, tapi kau bisa. Lindungi mereka! Lindungi Zhao!” suaranya tajam dan penuh keyakinan.

Pangeran Yu terdiam sesaat, lalu mengangguk tegas. “Baik, Kakak.”

Tanpa menunggu, ia memanggil beberapa pengawal terbaik dan berlari ke arah istana di tengah hujan dan darah.

---

Pintu gerbang utama istana

Menteri Perang sendiri berjalan maju, menatap lurus ke arah Kaisar yang berdiri dengan tenang namun matanya penuh amarah.

“Yang Mulia,” ucap Menteri Perang dengan nada mengejek, “akhirnya kita bertemu tanpa dinding istana yang memisahkan kita.”

Kaisar menarik pedangnya perlahan. “Pengkhianat… keberanianmu melangkah sejauh ini hanya akan mengantarmu pada kematian.”

“Tunggu saja, apakah pedangmu masih cukup tajam untuk mengalahkan orang yang pernah kau percayai?” Menteri Perang menebas terlebih dahulu.

Benturan pedang keduanya memecah udara, suara dentingan logam menggaung di bawah langit yang diselimuti guntur. Pasukan di sekitar mereka saling bertarung sengit, tapi semua mata sesekali melirik duel maut itu.

---

Kamar Zhao

Sementara itu, di kediaman yang aman, Zhao semakin lemah. Napasnya berat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Permaisuri menatap khawatir, sementara Meilan dan Hwajin bergantian memegangi tangannya.

“Pangeran Wang…,” gumam Zhao lirih, “tolong… cepatlah kembali…”

---

Tangis bayi terdengar samar di ruang kelahiran. Zhao berhasil melahirkan, namun tubuhnya terbaring lemah. Nafasnya tersengal, keringat dingin membasahi wajah pucatnya. Air mata menetes di sudut matanya, seolah masih berjuang untuk bertahan.

Tabib dengan cepat membawa bayi itu keluar untuk dibersihkan dan diperiksa, sementara Meilan mengikuti sambil memastikan sang pangeran kecil aman.

Pangeran Yu tiba di kediaman itu, langkahnya cepat. Di luar kamar, Permaisuri sudah menunggunya dengan wajah tegang. Begitu mata mereka bertemu, raut Pangeran Yu langsung berubah dingin. Permaisuri menunduk, matanya berkaca-kaca.

Pangeran Yu berdiri tegak di depan Permaisuri, tatapannya dingin menusuk. Permaisuri berusaha menahan getaran di bibirnya sebelum berkata lirih, “Aku ingin meminta maaf atas apa yang telah kulakukan pada Selir Yi, dan aku”

“Tidak kah Anda berpikir,” potong Yu tajam, “di saat Anda melakukan hal sekeji itu, ada seorang anak yang masih membutuhkan pelukan ibunya? Pernahkah Anda memikirkan itu, Yang Mulia?”

Air mata jatuh di pipi Permaisuri. “Aku salah, Yu. Karena kecemburuanku, aku membuatmu menderita.”

Yu menggeleng pelan. “Bukan hanya aku. Putra sulungmu, Wang, yang begitu menyayangi ibuku… kau tahu? Karena dosamu itu, ia harus menanggung semuanya, mengurusku sejak kecil, padahal ia juga masih anak-anak saat itu.”

“Aku akan menebus semuanya. Tolong, maafkan aku,” ucap Permaisuri dengan suara bergetar.

“Hukum istana tak cukup untuk membalas dosa itu,” balas Yu datar. “Kecemburuanmu telah menurun pada putra keduamu. Lihatlah, ia kini berani melawan ayah dan saudara-saudaranya.”

Sorot mata Yu semakin tajam. “Dan kau tahu siapa yang jadi korban selain ibuku? Zhao… wanita yang dicintai kakak Wang. Setiap saat ia dalam bahaya karena keegoisanmu. Kau diam saja. Bahkan berulang kali menghukumnya tanpa penjelasan, padahal ia menantumu.”

“Cukup, Yu… tolong jangan mengungkitnya lagi,” isak Permaisuri. “Aku tidak sanggup. Aku terlalu buruk sebagai ibu dan permaisuri.”

Yu menatapnya lama, lalu berkata dingin, “Yah, kau benar. Salah satu kesalahan terbesarmu adalah menjadi permaisuri.”

Pangeran Yu baru saja hendak berbalik ketika suara langkah tergesa terdengar di belakang. Xiao muncul, napasnya terengah, wajahnya penuh keringat.

“Yang Mulia… Kakak Zhao sudah melahirkan seorang pangeran kecil,” katanya cepat, nyaris tak sempat menarik napas.

Sorot mata Permaisuri langsung berubah lega. “Bagaimana keadaan mereka?” tanyanya penuh harap.

Xiao menelan ludah sebelum menjawab. “Pangeran kecil sehat, tabib sedang membersihkannya. Tapi… Kakak Zhao tidak sadarkan diri. Nadinya lemah. Racunnya sudah menyebar, meski untungnya tidak sampai mengenai bayinya.”

Yu mematung. “Zhao… diracun?” suaranya merendah namun penuh amarah.

“Ya,” Xiao mengangguk. “Itulah sebabnya bayi lahir sebelum waktunya.”

Pangeran Yu mengepalkan tangan. Tatapannya tertuju ke arah pintu, seperti ingin menembus dinding. “Takdir terlalu kejam padanya… aku tidak akan membiarkannya seperti ini.”

Tanpa menunggu reaksi siapa pun, ia melangkah lebar menuju pintu kamar.

“Pangeran Yu, kau mau apa?” seru Permaisuri panik, mengikutinya. Xiao juga mencoba menghentikan, “Kakak Yu, kau tidak boleh masuk!”

Yu mengabaikan mereka. Ia mendorong pintu hingga terbuka, lalu langkahnya terhenti di sisi ranjang.

Zhao terbaring pucat, napasnya terputus-putus. Jemarinya terkulai di samping tubuh. Pangeran Yu berdiri lama, menatap wajah yang begitu dikenalnya.

“Seharusnya… saat itu aku sadar,” gumamnya pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Seharusnya aku tidak membiarkanmu menderita seperti ini.”

Perlahan, ia membungkuk, menyelipkan satu tangan di punggung Zhao dan satu di bawah lututnya, lalu mengangkat tubuh lemah itu ke pelukannya.

“Pangeran Yu! Kau mau membawanya ke mana?!” seru Permaisuri, setengah histeris. “Dia lemah… tabib bilang ia mungkin tidak bisa selamat!”

Yu berhenti sejenak di ambang pintu. Tatapannya tak beralih dari depan. “Kalau begitu,” ucapnya dingin, “aku ingin kau merasakan bagaimana rasanya kehilangan.”

Permaisuri tertegun. “Maksudmu…?”

“Dalam perang ini, putramu Pangeran Chun akan kalah. Ia akan mati sebagai pengkhianat. Kau akan merasakan sakitnya. Lalu, setiap hari, kau akan hidup berdampingan dengan putramu yang satu lagi… yang hidup tapi seolah mati, karena kehilangan sebagian dirinya. Dirinya… yang kau sia-siakan.”

Langkah Yu kembali terdengar di koridor, mantap namun penuh beban. Permaisuri mengejarnya, suaranya pecah, “Tapi kenapa melibatkan Wang? Dia kakakmu, dia menyayangimu!”

Yu tak menoleh. “Katakan padanya… aku hanyalah adik yang buruk. Entah Zhao hidup atau mati… dia tidak akan lagi berada di istana.”

Permaisuri terduduk di lantai, air matanya jatuh deras, memukul dadanya sendiri seolah ingin mengusir rasa bersalah yang menyesakkan.

Suara langkah ringan mengejar. Hwajin muncul, berdiri di depan Yu. Wajahnya pucat, matanya berair. “Pangeran Yu… kau mau ke mana? Mau bawa Zhao ke mana? Dia lemah… dia tak mungkin selamat. Dan istana sedang kacau. Bagaimana kalau Pangeran Wang mencarinya?”

Yu menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Hwajin… jangan pernah memaafkanku. Aku tak ingin menyeretmu dalam dosaku. Kumohon… setelah ini, kembalilah pada ayahmu. Jangan ingat aku lagi.”

Air mata jatuh dari mata Hwajin. Bibirnya bergetar. “Apa pun yang terjadi… aku akan menunggumu. Walau harus meninggalkan istana, aku akan menunggumu. Karena aku tahu… kau sedang terluka.”

Yu menutup mata sejenak, lalu melangkah pergi, menggendong Zhao yang semakin lemas. Langkahnya menembus lorong istana, melewati pintu demi pintu, menuju cahaya terang di ujung jalan.

“Bertahanlah…” bisiknya di telinga Zhao. “Entah kau hidup atau mati… aku akan membawamu keluar dari neraka ini.”

---

Di medan perang, gemuruh teriakan dan benturan senjata memenuhi udara. Kaisar sendiri memimpin pasukan, berhadapan langsung dengan Menteri Perang. Mereka bertarung sengit, hingga akhirnya sang pengkhianat itu jatuh tersungkur, nyawanya berakhir di ujung pedang Kaisar.

Tak jauh dari sana, Pangeran Wang berhadapan dengan Pangeran Chun. Duel mereka sengit, namun tekad Wang terlalu kuat. Sebuah tebasan cepat melumpuhkan Chun, menjatuhkannya. Pasukan pengkhianat yang tersisa segera terkepung, tak ada celah untuk kabur.

Kemenangan mulai tampak. Wang segera menoleh pada Chen. “Aku harus menemui Zhao,” ujarnya, napasnya masih terengah.

Di benaknya, hanya ada kabar bahwa istrinya telah melahirkan. Ia bergegas menuju istana, membayangkan senyum lembut Zhao yang menantinya.

Namun saat tiba… senyum itu tak pernah ia temui.

Yang ada hanyalah kediaman kosong, ranjang dingin, dan kegelisahan yang mengoyak. Wang berdiri terpaku, matanya liar mencari. “Zhao… di mana kau?” suaranya pecah, hampir menjadi teriakan.

Hatinya runtuh seketika.

Pangeran Wang berdiri di tengah ruangan, matanya liar memandang setiap sudut, berharap Zhao akan muncul dari balik pintu dengan senyum khasnya. Namun yang menyambutnya hanyalah keheningan yang menyesakkan.

“Zhao…” suaranya parau, hampir pecah. Ia melangkah tergesa ke setiap kamar, membuka tirai, memeriksa di balik sekat kosong.

“Zhao! Di mana kau?!” teriaknya lagi, kali ini nyaris seperti suara seseorang yang terjebak di mimpi buruk.

Tak ada jawaban, hanya gema suaranya yang kembali memantul di dinding. Dadanya sesak, napasnya berat. Ia jatuh terduduk di lantai, tangannya menutupi wajah. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Pangeran Wang menangis bukan sekadar air mata yang jatuh, tetapi tangisan histeris yang memecah ketenangan istana.

Tangannya menggenggam lantai, seolah ingin memeluk bumi itu sendiri, berharap Zhao akan kembali dari bawah sana. “Kenapa… kenapa kau tinggalkan aku…?” suaranya patah, setiap kata seperti memotong jiwanya sendiri.

Dari celah pintu, Permaisuri berdiri diam, menyaksikan putra yang selama ini dikenal tegar itu luluh lantak di hadapannya. Hatinya diremas rasa bersalah yang semakin dalam. Air mata jatuh tanpa bisa ia cegah untuk pertama kalinya, ia merasakan sakit yang sama.

Di tengah kepedihan itu, langkah pelan terdengar. Meilan muncul dari balik lorong, wajahnya pucat, matanya kosong, dan pipinya masih lembap oleh air mata. Di pelukannya, ia menggendong bayi mungil yang dibungkus kain lembut putra Zhao.

Ia berhenti tepat di hadapan Pangeran Wang yang masih terpuruk. Suaranya bergetar, namun penuh keteguhan saat berkata, “Pangeran… tolong berhenti seperti ini.” Ia menunduk, lalu menyodorkan bayi itu ke pelukan Wang.

Pangeran Wang menoleh, matanya merah bengkak, dan ragu menyentuh bayi itu.

“Lihatlah pangeran kecil ini…” lanjut Meilan lirih, “dia kesepian. Ia membutuhkanmu. Hatimu boleh hancur… tapi jangan tanamkan kehancuran itu ke dalam dirinya.”

Tangisan bayi yang pelan memecah keheningan. Pangeran Wang menatap wajah mungil itu wajah yang begitu mirip Zhao. Tangannya perlahan terulur, menerima sang bayi ke dalam pelukannya. Dadanya sesak, tapi kali ini bukan hanya karena kehilangan, melainkan juga karena janji yang mulai terbentuk dalam hatinya.

“Zhao…” bisiknya lirih, menunduk pada bayi itu, “aku akan menjaganya. Meski kau… tak kembali.”

Di ruang tahanan yang gelap dan lembap, hanya cahaya obor redup di sudut ruangan yang memberi sedikit penerangan. Pangeran Chun duduk bersandar pada dinding batu dingin, tangan dan kakinya terikat rantai besi. Nafasnya berat, matanya kosong menatap lantai yang kotor. Nona Lee duduk tak jauh darinya, meski sama-sama terikat, bibirnya masih bisa tersenyum tipis seolah tidak ada penyesalan.

Suara langkah prajurit yang lewat di lorong membawa kabar dari luar. “Istri pangeran wang… wafat. Diracun saat melahirkan.” Suara itu hanya sekilas terdengar, namun cukup membuat kepala Chun terangkat tajam.

“Apa…?” gumamnya, nadanya mengandung keterkejutan sekaligus kemarahan. Wajahnya menegang, otot rahangnya mengeras. “Zhao… kau… meninggal?”

Ia menoleh perlahan pada Nona Lee di sampingnya, matanya memancarkan tatapan membunuh. “Kau… kau yang melakukannya, bukan?” suaranya berat, nyaris seperti geraman.

Nona Lee tersenyum tipis, lalu mengangguk tanpa rasa bersalah. “Ya, itu aku. Memangnya kenapa? Kita sudah kalah sekarang, bahkan ayahku mati di medan perang demi ambisimu. Tapi… setidaknya, wanita itu pun mati.” Senyum itu berubah menjadi tawa kecil yang dingin.

Seketika, Chun menerjang sejauh rantai mengizinkannya, tangannya mencengkeram leher Nona Lee. “Berani sekali kau… menyentuh wanita yang aku sukai!” suaranya pecah, di antara amarah dan kepedihan. “Tujuan utamaku selain merebut tahta… adalah hidup bersamanya! Menikmati semuanya dengannya! Kau” suaranya tersendat, matanya memerah, seolah batas antara waras dan gila semakin tipis.

Nona Lee hanya menatapnya dengan senyum sinis, meski napasnya mulai tercekik. “Bahkan… di saat hari-hari terakhirmu, kau masih sempat mengucapkan omong kosong itu. Ibumu pun tak bisa lagi melindungimu.”

Cengkeraman Chun mengendur. Ia tertunduk, bahunya bergetar. Tawa lirih keluar dari bibirnya… lalu berubah menjadi tangisan yang getir. “Zhao… bagaimana bisa kau pergi lebih dulu? Aku… akan menyusulmu besok. Tunggu aku….”

Nona Lee kembali tersenyum puas, meski lehernya memerah. “Setidaknya… wanita itu mati,” gumamnya, lalu tertawa pelan, suaranya menggema di dinding batu yang dingin.

Sementara itu, di tempat lain, Permaisuri terduduk di ruang pribadinya, air mata tak henti membasahi pipinya. Tangannya menggenggam erat sapu tangan, seolah ingin meremas rasa bersalah yang sudah terlalu dalam. Putra-putranya darah dagingnya terjerat dalam kehancuran.

Semua ini… pikirnya, adalah buah dari kesalahan dan kecemburuan masa lalu. Dan kini, ia hanya bisa meratapi kehancuran keluarga yang dulu ia banggakan.

Dan sejak hari itu, istana mulai berbisik menganggap Zhao telah wafat. Namun bagi Pangeran Wang, luka itu tak pernah tertutup.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!