Prolog :
Nama ku Anjani Tirtania Ganendra biasa di panggil Jani oleh keluarga dan teman-temanku. Sosok ku seperti tidak terlihat oleh orang lain, aku penyendiri dan pemalu. Merasa selalu membebani banyak orang dalam menjalani kehidupan ku selama ini.
Jangan tanya alasannya, semua terjadi begitu saja karena kehidupan nahas yang harus aku jalani sebagai takdir ku.
Bukan tidak berusaha keluar dari kubangan penuh penderitaan ini, segala cara yang aku lakukan rasanya tidak pernah menemukan titik terang untuk aku jadikan pijakan hidup yang lebih baik. Semua mengarah pada hal mengerikan lain yang sungguh aku tidak ingin menjalaninya.
Selamat menikmati perjalanan kisah ku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Yani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua M
Hari berlalu seperti biasanya, tidak ada yang berubah karena Angga tidak mau menerima tawaran Langit yang sungguh di luar nalarnya. Bagaiamana mungkin dirinya menjual adik kandungnya sendiri pada laki-laki yang sama sekali tidak dirinya kenal.
Meski tawaran sangat menggiurkan mengingat kondisi ekonominya yang sedang morat marit tidak karuan. Angga tetap pada pendiriannya untuk terus menjaga Jani sepertinya janjinya.
Dia hanya akan melepaskan Jani pada laki-laki yang Jani sayangi dan yang menyayangi Jani.
Kedua orang tuanya sangat menyayangi Jani dan sering meminta dirinya saling menjaga dan saling menyayangi dulu. Angga tidak akan pernah lupa janjinya. Dia akan terus berada di sisi Jani sampai kapan pun.
Dia akan jadi laki-laki pertama yang menolak dan menjaga Jani dari siapapun yang ingin menyakitinya. Dia akan selalu ada meski sikapnya kian dingin pada Jani.
Angga tidak pandai mengungkapkan rasa sayangnya. Dia tidak mudah memamerkan kebanggannya memiliki adik sebaik dan secantik Jani.
“Mas….Mas…” Jani menepuk pelan punggung Mas Angga yang tengah melamun di teras rumah. “Ini kopi nya ya Mas.” Angga terkesiap sedikit terkejut.
“Makasih Jan.”
“Sama-sama Mas, kenapa Mas?” Tanya Jani pelan, dia beberapa hari ini melihat wajah Mas nya selalu saja masam.
“Tidak ada Jan, kau masuk sana.” Jani segera masuk. Mas Angga seperti biasanya tidak mau berbagi keluh kesahnya dengan Jani.
“Nglamun terus tau Jan, Mbak takut kalau Mas mu tiba-tiba kesurupan. Di tanya gak ada gak ada saja jawabannya, tapi mukanya begitu terus.” Oceh Mbak Gina yang juga khawatir dengan kondisi suaminya.
“Jani juga bingung gak bisa bantu Mbak. Apa karena uang kuliah Jani ya Mbak? Jani jadi merasa bersalah.”
“Banyak sih mungin yang di pikirin mas mu Jan, tapi Mas mu begini setelah kepulangan temen nya kemarin Jan. dia jadi murung, di ajak ngobrol suka gak denger. Apa ya Jan yang mereka bicarakan sebenarnya?”
“Jani nanti coba cari tau ke Kak Lagit ya Mbak. Mudah-mudahan saja Jani bisa bantu Mas Angga.” Takut sekali jika Mas nya ternyata punya hutang yang harus segera dia bereskan sampai kepikiran begitu.
“Iya Jan, Mbak udah gak tahan banget lihat Mas mu itu diem terus begitu. Ngomong kalau ada maunya doang, di ajak ngobrol gak ada respon.”
“Iya Mbak.” Jawab Jani tidak mau berkomentar lebih lanjut.
Hari ini Jani ada pekerjaan paruh waktu selesai kuliah, dia segera mampir ke warung sembako milik Pak Restu yang dengan baik hati memberikan Jani pekerjaan.
“Sore Pak.” Sapa Jani yang baru saja sampai.
Pak Restu langsung menarik Jani ke dalam warung. Wajahnya terlihat sangat serius.
“Ada yang menunggu mu sejak tadi.” Tunjuknya dengan gerakan kepalanya ke depan kedai yang berada di bawah pohon di depan warung milik Pak Restu.
“Jangan aneh-aneh Jani, jangan sampai kau berbuat macam-macam di sini. Saya susah payah membangun warung sembako ini Jan.”
"Baik Pak."
“Kak Langit.” Panggil Jani menyadarkan Langit dari lamunanya.
Tentu saja Langit tersenyum, saat ini Jani yang bisa membantu dirinya keluar dari masalah pelik yang dirinya alami dengan atasannya karena kecerobohan.
“Hay….maaf aku mengganggu mu sampai ke sini.” Jani menggelengkan kepalanya, wajahnya tetap ramah sekali seperti yang Langit ingat dulu tentang senyum menawan Jani.
“Santai saja Kak, apa ada yang ingin Kak Langit sampaikan pada Jani?” Jantung Jani berdegub cepat, siap tidak siap dirinya harus tahu apa tujuan Kak Langit yang sudah cukup lama tidak datang muncul.
“Apa keadaan Mas Angga masih sama Jan?” Jani mengangguk ragu. “Aku datang menawarkan bantuan, hanya saja Angga harus menyetujui permintaan atasan ku Jan.” Jani semakin bingung.
“Maaf Kak, aku tidak paham.”
“Atasan ku sedang mencari pasangan untuk di jadikan Istrinya, hanya saja dia bukan orang biasa karena pekerjaannya begitu hebat.”
Jani memiringkan kepalanya semakin tidak paham, apa sebenarnya hubungannya dengan dirinya.
Langit menatap Jani penuh harap, Jani tahu sekali arti tatapan mata Kak Langit meminta dirinya untuk mencoba memahami.
“Apa Jani yang Kak Langit minta?”
Langit mengangguk.
“Hanya kau yang Kak Langit anggap paling cocok Jan. Kau wanita yang baik, kau pintar dan kau sangat sabar menghadapi kehidupan yang jahat ini.”
Jani tersenyum miris, ini bukan pujian. Dia hanya sedang mencoba membawa Jani larut ke dalam cerita yang Kak Langit sampaikan.
“Jani hanya bisa mengikuti apa yang Mas Angga anggap baik untuk Jani Kak.” Langit meraih tangan Jani, menggenggam nya dengan erat.
“Mas Angga tidak akan mungkin mau menyetujui permintaan ku ini Jan. Hanya Jani yang bisa menyetujui ini semua dan membujuk Mas Angga.” Jani melepaskan tanganya pelan-pelan.
“Jani tidak berani Kak, Mas Angga selama ini menjaga Jani dengan baik. Jani tidak mau menyakiti Mas Angga. Jani akan ikuti yang Mas Angga mau.” Jani berdiri dari duduknya.
“Dia bersedia membayar dua Miliar untuk pernikahan ini.” Langkah Jani terhenti. “Kau bisa membantu kondisi keuangan Mas Angga dengan menyetujui permintaan Atasan ku ini Jan.” Jani tidak menanggapi.
Entah apa yang harus dirinya katakan, sedih karena dirinya di hargai dua miliar untuk sebuah pernikahan. Tapi itu uang yang cukup besar mengingat siapa dirinya saat ini.
Jani memukul mukul pelan dadanya yang terasa sesak.
Mas Angga tidak mungkin mau menyerahkan dirinya, terlebih pada laki-laki yang tidak Jani kenal. Mas Angga tidak mungkin mau mengorbankan Jani untuk menyelamatkan hidupnya. Jani yakin, Mas Angga tidak mungkin mau merelakan kebahagiaan dirinya untuk uang.
Jani mengusap air mata yang mengalir deras membasahi pipinya. Entah kenapa dirinya mudah sekali larut dalam kesedihan seperti ini. Mudah sekali matanya basah karena memikirkan kemalangan yang terus saja terjadi dalam hidupnya.
“Kenapa Jan?” Tanya Laras yang melihat Jani menunduk sedih sejak tadi. Jani malu sekali tertangkap basah sedang bersedih seperti ini. “Gak papa Jan, Namanya orang kalau sedih ya nangis. Kamu gak perlu malu.” Jani menunduk sungkan, dia memang anak yang pendiam.
Hanya menepuk punggung Jani dengan lembut yang bisa Laras lakukan.
Waktu sudah menunjukkan pukul dua puluh satu malam, Jani sudah selesai berkemas dan siap untuk pulang.
Prankkkk……
Suara botol pecah yang tidak sengaja Jani senggol sampai pecah.
“Apa itu!” Teriak Pak Restu spontan. “Hati-hati… awas kena kaki belingnya.
“Iya Pak, Jani segera bereskan.”
Padahal Cuma kesenggol dikit aja kok bisa pecah sih. Ucap Jani bergumam sendiri.
Untung saja hanya botol bekas yang tidak terpakai. Selesai membereskannya Jani segera pamit pulang. Berjalan pelan menikmati udara malam yang cukup dingin.
Tidak butuh waktu lama Jani sudah sampai di depan rumahnya. “Kok tumben sih gelap banget, apa Mas dan Mbak Gina pergi yah.”
“Neng….Jani….” Panggil lelaki paruh baya tetangga Jani yang tinggal di sebelah. “Tadi Nak Quin di bawa ke rumah sakit. Dia kejang tadi, cepat kau susul mereka ke sana.”
Jani langsung lari menuju jalan raya mencoba mencari kendaraan umum yang masih lewat. Sambil gemetar Jani mencoba memesan ojek online karena angkutan umum sudah tidak ada lagi.
Menghubungi Mas Angga dan Mbak Gina juga tidak ada jawaban.
“Jani….Anjani kan?” Jani mendongak melihat pengendara motor dengan helm full face berhenti di depannya. “Aku….” Jani membuat laki-laki yang baru saja ingin menyebutkan Namanya terkejut.
“Tolong aku Kak, tolong antar Jani ke rumah sakit Ibu dan Anak Kak. Tolong.” Dia mengangguk, tanpa ragu Jani segera naik ke motor teman yang Jani tahu dia adalah teman sekelasnya di kampus bernama Axel.
Laki-laki berparas tampan yang di gandrungi banyak mahasiswi di kampusnya.
Sepanjang jalan Axel memperhatikan wajah Jani yang berkerut penuh rasa khawatir, sesekali tangannya mengusap sudut matanya yang basah.
Axel tidak bisa berkata-kata, mereka tidak cukup dekat untuk menghibur satu sama lain.
Jani langsung lari saat sampai di depan rumah sakit, Axel mencoba bersikap tenang karena Jani tidak mungkin dalam keadaan baik-baik saja saat ini. Dia mengikuti Jani setelah memarkirkan motornya dengan aman.
"Jangan banyak berfikir Mas, anak kita butuh banyak uang! Dia bisa kehilangan nyawanya kalau tidak segera di tolong!” Teriak Mbak Gina yang berhasil menghentikan langkah Jani bersandar di dinging yang menutupi tubuhnya.
“Kau baik-baik saja?” Tanya Axel yang melihat Jani begitu terpukul.
Jani sampai berpegangan erat pada jaket Axel yang berdiri di hadapannya. Cengkeraman tangannya bisa Axel rasakan begitu kuat.
Axel hanya bisa diam, Jani benar-benar sulit sekali dirinya pahami.