Yang sudah baca novelku sebelumnya, ini kelanjutan cerita Brayn dan Alina.
Setelah menikah, Brayn baru mengetahui kalau ternyata Alina menderita sebuah penyakit yang cukup serius dan mengancam jiwa.
Akankah mereka mampu melewati ujian berat itu?
Yuk baca kelanjutan ceritanya 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Tatapan penuh selidik diarahkan Bagas pada menantunya itu.
Brayn yang hanya memakai celana dalaman membuatnya menebak apa yang terjadi sebelum dirinya datang.
"Alina mana, Bro?"
"Di kamar."
"Lagi bersih-bersih?"
Brayn yang berjalan lebih dulu menuju ruang keluarga itu menoleh sejenak.
Sudut bibirnya terangkat tipis membentuk senyum yang bagi Bagas sangat menyebalkan.
"Sudah ketebak, tidak usah jawab!" imbuh Bagas menghempas tubuhnya ke sofa ruang keluarga.
Melihat wajah sang mertua yang tertekuk membuat Brayn menahan tawa.
Ia pasti sudah menyemburkan tawa jika tidak mengingat di sana ada Om Joane juga.
"Sedang usaha buat cucu untuk Ayah Bro. Biar tidak kesepian anak perempuannya aku ambil."
"Pakai alasan cucu segala," gerutu Bagas, disambut tawa pelan dari Joane.
"Sabar," imbuh Joane terkekeh.
Hentakan kaki dari arah tangga membuat tiga lelaki itu menoleh.
Alina menuruni tangga dan melangkah menuju ruang keluarga.
Namun, wanita itu tampak syok saat melihat suaminya yang hanya memakai dalaman.
"Kakak! Kenapa tidak pakai celana?" bisiknya, melayangkan cubitan di pinggang.
Rona merah di pipi wanita itu tak lagi dapat disembunyikan.
"Yang bunyikan bel tidak sabaran, makanya aku buru-buru keluar dari kamar."
Jika Alina tampak sangat malu dan gugup, berbeda dengan Brayn yang terlihat santai.
Ia bahkan tersenyum sambil mengusap puncak kepala istrinya yang terbalut hijab.
"Buatkan minum dulu, ya. Aku mau ke kamar sebentar."
Alina hanya mengangguk dengan kepala menunduk. Ingin rasanya menyembunyikan wajahnya di perut bumi terdalam.
"Ayah sama Om Joane mau minum apa?"
Bagas menatap putrinya. "Nak, kamu baik-baik saja, kan?"
Alina mengangguk ragu. "Memang kenapa, Yah?"
"Baru beberapa hari dibawa lari si Bro dari rumah, kamu sudah lupa minuman favorit Ayahmu?"
Alina tersenyum sambil menggigit bibir bawah.
"Kali aja mau minuman lain," balasnya, lalu segera menuju dapur.
**
**
"Gimana, Om?" tanya Brayn yang baru kembali dari kamar, tampak santai dengan pakaian casual dan rambut yang masih basah.
"Hasil penyelidikan pelaku penyebaran video kamu dan Dokter Siska murni keisengan si pelaku tanpa mempertimbangkan akibatnya. Orangnya sudah meminta maaf di depan media, tapi, pihak rumah sakit tetap menuntut hukuman," jawab Joane.
"Bagaimana pun rekaman video itu bisa merusak citra rumah sakit," imbuh Bagas berdecak.
"Dokter Siska juga sudah melakukan klarifikasi di laman media sosialnya. Kamu sudah lihat?" tanya Joane.
"Belum."
"Klarifikasinya baru diunggah siang tadi. Beliau mengaku salah dan meminta maaf karena sudah membuat kegaduhan. Dia juga mengaku melakukannya secara refleks dan tidak ada niat apapun." Joane menggeser ponselnya ke hadapan Brayn yang memperlihatkan unggahan Siska, di media sosial pribadinya.
"Soal kesalahan diagnosa Alina bagaimana? Apa sudah ada kelanjutan?" Bagas menatap sang menantu.
"Aku sudah laporkan ke pihak laboratorium beberapa hari lalu. Mereka belum membuat keterangan secara resmi. Tapi, aku sudah bicara dengan pimpinannya."
"Terus?" tanya Bagas.
"Menurut hasil investigasi mereka, ini kelalalian petugas laboratorium yang kurang teliti sampai hasil pemeriksaan tertukar. Mereka sudah melayangkan permintaan maaf. Tapi, mereka menyangkal kalau ini ada unsur kesengajaan dan hanya murni kelalaian," jelas Brayn panjang lebar.
"Terus kamu gimana?" tanya Bagas.
Brayn menarik napas dalam-dalam. Kemarahan dalam tatapannya tak dapat ia sembunyikan dan Bagas bisa melihat itu.
Sesabar-sabarnya Brayn, ia tetap manusia biasa yang bisa murka. Terlebih jika sudah menyangkut Alina.
Siapapun yang membuat masalah dengan istrinya, sudah pasti akan berhadapan dengannya. Tak peduli siapapun itu.
"Aku tetap akan menempuh jalur hukum. Kesalahan seperti ini tidak bisa dianggap main-main karena bisa mengancam nyawa. Alina bahkan sempat mengonsumi obat untuk penderita kanker."
"Tapi, apa benar Dokter Siska tidak terlibat?" tanya Joane lagi.
Brayn menggelengkan kepala. "Sepertinya untuk kesalahan diagnosa ini tidak ada campur tangan Siska. Namanya terseret karena dia yang mengarahkan Alina menjalani pemeriksaan ke Biohealth dan kebetulan laboratorium itu milik keluarganya. Lagi pula, Siska seorang dokter dan dia pasti tahu kode etik kedokteran."
"Sebenarnya, Dokter Siska tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Bukankah Alina yang lebih dulu memberinya harapan?" papar Bagas.
Walau bagaimana pun ia tidak bisa melihat dari satu sisi saja. Terlebih, ia tahu bahwa Dokter Siska berteman baik dengan Brayn selama ini.
"Semoga kejadian ini menjadi pelajaran berharga untuknya. Kadang yang namanya perasaan memang bisa membuat seseorang tidak sadar melakukan hal di luar batas," tambah Joane.
"Benar. Salah satunya baru kita lihat beberapa saat lalu, ada yang keluar kamar hanya pakai celana dalam," gurau Bagas mencairkan suasana. "Sampai harus mandi wajib sore-sore."
Brayn tergelak. "Namanya juga pengantin baru. Seperti tidak pernah muda, deh."
Joane terkekeh. "Kalau begitu, kita tinggal menunggu keterangan dan bukti-bukti dari pihak laboratorium?"
"Benar, Om. Walaupun tidak ada unsur kesengajaan, tetap harus ada saksi untuk kelalaian ini."
Joane dan Bagas mengangguk.
"Oh ya, aku akan tugas keluar kota minggu depan. Di sana tempatnya agak terpencil dan daerah pegunungan," ucap Brayn.
"Kamu akan bawa Alina?"
"Sepertinya aku coba beberapa minggu dulu. Kalau tempatnya nyaman dan memungkinkan, baru aku jemput Alina."
"Masalahnya, Alinanya mau ditinggal tidak, Bro?" tanya Bagas.
"Insyaallah, aku akan bujuk nanti."
**
**
Malam hari seluruh keluarga berkumpul di sebuah ruangan yang telah dipersiapkan Brayn sebelumnya.
Suasana ceria terlihat di sana, sesekali gelak tawa mewarnai obrolan mereka.
"Rumah barunya nyaman, ya. Desainnya unik," tutur Gilang memandang ruangan itu.
"Iya, Mas. Aku juga suka rumah ini," tambah Airin. "Jadi penasaran, di taman katanya ada kebun mininya, ya?"
"He-em ... buah di meja itu hasil petik dari taman belakang," imbuh Bagas.
"Wow, pantes buahnya segar," sambung Airin, mencicipi beberapa jenis buah. "Beli pohonnya di mana, Brayn? Bunda juga mau beli, deh."
"Nanti aku kirim nomornya ke Bunda. Ada bibitnya juga kok. Kebetulan saja aku dapat yang ada buahnya, jadi aku beli semua."
"Boleh," ucap Airin.
"Oh ya, gimana Mia, Bun?" tanya Brayn, mengingat adik sepupunya sedang menjalani bedrest karena flek yang dialaminya.
"Mia baik-baik aja, sih. Cuma, kata dokter jangan banyak gerak. Bangun dari tempat tidur saja tidak boleh."
"Semoga semuanya baik-baik saja, Bunda," tutur Brayn.
"Aamiin."
"Duh, lelahnya. Punggungku seperti mau patah setelah memindahkan pot tadi sore," keluh Bagas merenggangkan otot-ototnya.
"Sabar, faktor usia," kekeh Joane sambil memanggang irisan daging.
"Memang kalian ke sini jam berapa?" tanya Pak Vino.
Bagas terkekeh. "Datangnya sore. Aku juga menyesal cepat datang."
"Loh kenapa?" Pak Vino menatap sambil menyeruput secangkir teh.
"Tuan rumahnya masih pakai boxer saat aku datang. Entah habis ngapain."
Alina meringis mendengar gurauan ayahnya. Kejadian sore tadi benar-benar membuatnya malu. Dan si pemicu kejadian memalukan itu malah terlihat santai.
"Kan lagi usaha biar Om Bro cepat punya cucu," ujar Brayn santai.
"Bagus. Masa kalah sama Mia dan Rafa." Bu Resha terkekeh.
Alina yang duduk di antara ibu mertua dan suaminya itu membuka suara. Niatnya untuk mengalihkan pembicaraan.
"Nanti Mama sama Ibu nginap, kan? Besok pagi aku ajak petik buah."
"Mau sih, nginap. Tapi tidak enak ganggu pengantin baru yang lagi hangat-hangatnya."
"Ah, Mama!" Alina meraih bantalan kursi dan menutup wajah, sementara satu tangan mengulur melayangkan cubitan keras ke pinggang suaminya.
Membuat lelaki itu meringis pelan.
***********
***********
taunya mimpi Thor....
Alhamdulillah kalau masih baik2, saja...😅
biar sama" introspeksi terutama buat miaaaa
double up donk
gak mau denger tapi kedengeran