Gyantara Abhiseva Wijaya, kini berusia 25 tahun. Yang artinya, 21 tahun telah berlalu sejak pertama kali ia berkumpul dengan keluarga sang papa. Saat ia berusia 5 tahun, sang ibu melahirkan dua adik kembar laki - laki, yang di beri nama Ganendra Abhinaya Wijaya, dan Gisendra Abhimanyu Wijaya. Selain dua adik kembarnya, Gyan juga mendapatkan sepupu laki-laki dari keluarga Richard. Yang di beri nama Raymond Orlando Wijaya. Gracia Aurora Wijaya menjadi satu-satunya gadis dalam keluarga mereka. Semua orang sangat menyayanginya, tak terkecuali Gyan. Kebersamaan yang mereka jalin sejak usia empat tahun, perlahan menumbuhkan rasa yang tak biasa di hati Gyan, yang ia sadari saat berusia 15 tahun. Gyan mencoba menepis rasa itu. Bagaimana pun juga, mereka masih berstatus sepupu ( keturunan ketiga ) keluarga Wijaya. Ia pun menyibukkan diri, mengalihkan pikiran dengan belajar. Mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin Wijaya Group. Namun, seiring berjalannya waktu. Gyan tidak bisa menghapus
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Mau Melihat Calon Mantu.
"Apa ayah tau tentang keluarga Dinata?" Tanya Gyan pada ayah Dirga saat mereka sedang makan malam bersama.
Belum sempat sang ayah menjawab, salah satu adik kembarnya -- Gisendra tiba - tiba tersedak.
Atensi para penghuni meja makan pun teralihkan pada pemuda itu.
"Pelan - pelan, Gi.. Makan puding saja kamu tidak bisa." Ucap Ganendra sembari menepuk pelan punggung sang saudara kembar.
Gisendra pun hanya menggeleng pelan.
"Tadi kamu bertanya apa?" Tanya ayah Dirga pada sang putra sulung.
Gyan menghela nafas pelan, ia meminum air putih terlebih dulu. Baru menjawab pertanyaan sang ayah.
"Apa ayah tau tentang keluarga Dinata? Apa kita sudah lama berkolega dengan mereka?" Tanya Gyan kemudian.
"Belum lama ini, karena papi Rich berencana membangun hotel di Bali. Makanya kita menghubungi Dinata Group. Mereka sudah lebih dulu berkecimpung di bidang perhotelan." Jelas ayah Dirga.
"Apa harus bekerja sama dengan Dinata Group? Tidak ada yang lain?" Tanya Gyan lagi.
"Memangnya kenapa, sayang? Kamu ada masalah dengan keluarga Dinata?" Bukan ayah Dirga yang bertanya. Tetapi ibu Gista.
Ia penasaran kenapa Gyan mempertanyakan tentang keluarga Dinata? Apa ada hubungannya dengan Cia yang siang tadi pergi makan bersama putra keluarga Dinata?
Darimana ibu Gista tau hal itu? Tentu saja dari mami Renatta, yang telah di beritahu oleh papi Rich.
Kedua sahabat yang juga merangkap sebagai saudari ipar itu kini tengah berperan menjadi detektif dadakan. Sekecil apapun informasi tentang anak - anak yang mereka dapat, harus di bagi berdua.
"Kamu ada masalah dengan keluarga Dinata?" Kini giliran ayah Dirga yang bertanya sebab Gyan tak kunjung menjawab.
Kepala Gyan menggeleng pelan. Ia memang tidak ada masalah dengan keluarga Dinata. Namun, ia menjadi tidak suka setelah Cia pergi makan siang dengan putra keluarga Dinata itu.
"Ya kalau tidak ada masalah, seharusnya kamu tidak protes 'kan? Papi dan ayah kamu pasti lebih tau, mana kolega yang bisa memberikan keuntungan untuk kita. Bukan hanya asal kerja sama saja." Ibu Gista kembali berpendapat.
Gyan kehabisan kata - kata. Ia tidak mungkin terlalu banyak bicara. Yang ada hanya akan mengundang tanya ayah dan ibunya.
"Bukannya kamu punya teman dari keluarga Dinata itu, Gi?" Ganendra tiba - tiba bertanya pada saudara kembarnya.
Gisendra yang sejak tadi mengabaikan pembicaraan kakak sulung dan ayahnya, seketika mendelik tajam pada Ganendra.
"Tidak. Aku tidak berteman dengan dia." Ucap Gisendra ketus.
Ganendra menatap tak percaya. Ia pun mengedikkan bahu pelan.
"Sudah. Cepat habiskan makan kalian. Untuk apa membahas keluarga orang lain?" Ucap Ayah Dirga.
"Putri bungsu mereka cantik lho, yah." Celetuk Ganendra. Ia melirik ke arah Gisendra, namun pemuda itu tak memperdulikannya.
"Belajar dulu yang benar. Lihat itu kakak kamu saja belum pernah membahas wanita." Sindir ayah Dirga.
"Kakak mungkin mau mengikuti jejak papi Rich, menikah di usia matang." Imbuh Ganendra lagi.
Gyan tidak menanggapi apapun. Ia memilih pamit pergi ke kamar lebih dulu.
Setelah berada di dalam kamarnya, Gyan kemudian membuka ponsel untuk mencari tau tentang keluarga Dinata.
Ia sungguh penasaran. Setelah pak Bima teratasi, sekarang muncul pria lain, bahkan kali ini mendapat dukungan dari papi Rich.
Gyan harus mencari cara untuk menggagalkan rencana perjodohan Cia dengan siapapun itu.
"Prince Arrea Kesuma Dinata. Berusia tiga puluh tahun, putra kedua pasangan Arthur Dinata dan Andrea Cecilia."
Gyan membaca biodata singkat Arrea yang tertera di layar ponselnya.
"Papi mau menjodohkan Cia dengan pria yang lebih tua?"
Siang itu, sebelum pergi ke kafe ibu Gista menyempatkan diri untuk mampir ke kantor Wijaya Group.
Selain untuk membawakan makan siang untuk sang suami, wanita paruh baya itu juga ingin bertemu dengan sekretaris Gyan.
"Mau kemana? Ini masih jam istirahat." Ayah Dirga mencekal lengan sang istri saat wanita paruh baya itu beranjak dari tempat duduknya.
"Aku mau ke ruangan Gyan, bang." Jawab ibu Gista dengan jujur.
"Aku menyuruh Gyan pergi bersama Dion. Mungkin mereka belum kembali." Beritahu ayah Dirga.
"Karena itu, aku mau bertemu dengan sekretaris yang kata Abang, mirip dengan aku waktu muda." Ucap ibu Gista sembari mengedipkan sebelah matanya.
Ia sudah tau keberadaan sang putra. Sempat berkirim pesan sebelum datang ke kantor. Menanyakan apa Gyan mau di bawakan makan siang juga. Namun pria itu mengatakan sedang berada di luar, dan akan kembali menjelang sore.
Wanita paruh baya itu pun melepaskan tangan sang suami dengan lembut, kemudian sedikit membungkuk di hadapan pria dewasa itu.
"Aku mau melihat calon mantu." Ucapnya sembari melabuhkan kecupan hangat di pipi sang suami.
"Anggista, jangan macam - macam kamu." Ayah Dirga hendak kembali menarik lengan wanita itu, namun ibu Gista melangkah dengan cepat menuju pintu.
"Apa dia berniat menjodohkan Gyan dengan gadis itu?" Gumam ayah Dirga sembari menatap bayangan sang istri yang telah menghilang di balik pintu.
Setelah berada di lantai sembilan belas, ibu Gista tidak langsung masuk ke dalam ruangan Gyan, meski pintunya terbuka lebar.
Ia sejenak mengamati gadis yang tengah duduk di balik meja kerjanya.
Sungguh, Senja mengingatkan ibu Gista dengan dirinya di masa lalu.
"Permisi." Ucap Ibu Gista sembari mengetuk pintu sebanyak tiga kali.
Senja yang baru selesai menikmati makan siangnya, dan tengah meneguk air putih dari dalam botol minum pun seketika menoleh.
Tangannya dengan cepat menyimpan botol minum di bawah meja. Gadis itu kemudian beranjak untuk menyambut tamu yang masih berdiri di ambang pintu.
"Maaf, ada yang bisa saya bantu, bu?" Tanya Cia dengan sopan.
Melihat penampilan wanita paruh baya itu, sederhana tetapi berkelas, membuat Senja merasa segan. Ia menyimpulkan, jika wanita dewasa itu pastilah orang penting di kantor ini.
"Kamu Senja, sekretarisnya Gyan 'kan?"
Senja menjawab dengan anggukan pelan.
"Maaf, darimana ibu tau ---
"Saya Anggista. Ibunya Gyan." Wanita paruh baya itu mengulurkan tangannya.
Seketika Senja merasa sungkan. "Silahkan masuk, Bu." Ucapnya sembari menuntun ibu Gista masuk ke dalam ruangan itu.
Kemudian mempersilahkan duduk di atas sofa.
"Silahkan duduk, Bu. Mohon maaf, saya tidak tau jika ibu adalah ibunya pak Gyan." Ucap Senja penuh sesal.
Ia hanya mengenal ayah Dirga, dan tidak tau dengan anggota keluarga yang lain.
Sebab, di ruangan itu tidak ada foto keluarga Gyan. Yang ada hanya sebuah bingkai kecil, foto Gyan dan Cia di atas meja kerja pria itu.
"Ah, tidak masalah, nak. Kamu juga baru disini." Ucap ibu Gista dengan senyum hangat.
Senja menghela nafas pelan. Sepertinya ibu dari Gyan itu lebih ramah dari putranya.
"Apa ibu ingin bertemu dengan pak Gyan? Kebetulan, beliau belum datang dari tugasnya di luar kantor."
Ibu Gista menggeleng pelan. "Saya ingin bertemu dengan kamu."
Seketika kening Senja berkerut halus. "Bertemu dengan saya?" Ulang gadis itu.
"Ya. Saya mau meminta nomor ponsel kamu." Ibu Gista mengulurkan ponselnya kepada Senja.
Gadis yang sejak tadi masih berdiri itu pun menerima ponsel mahal itu dengan ragu. Tangannya sedikit bergetar saat menekan dua belas digit angka di atas layar.
"Ini, Bu."
Ibu Gista kemudian menghubungi nomor itu. Dan ponsel Senja yang ada di atas meja kerjanya pun bergetar.
"Kalau boleh saya tau, untuk apa ibu meminta nomor ponsel saya?" Tanya Senja kemudian.
Ibu Gista kembali menyunggingkan sudut bibirnya. "Siapa tau, nanti saya perlu meminta bantuan kamu untuk menguntit putra saya."
...\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*...
cepet Lapor sama papi mu gadis bodoh...
gyan memang kelewatan. gak ada tanggung jawab nya.