NovelToon NovelToon
Sugar Daddy?

Sugar Daddy?

Status: tamat
Genre:Nikahmuda / CEO / Mafia / Tamat
Popularitas:122
Nilai: 5
Nama Author: Mga_haothe8

Alya adalah gadis muda yang tumbuh dalam hidup penuh luka. Sejak kecil ia terbiasa dibully di sekolah dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang terlilit utang. Puncaknya, Alya hampir dijual untuk bekerja di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah. Di tempat itulah hidupnya mulai berubah ketika ia tanpa sengaja bertemu Zavian—seorang mafia berusia 29 tahun, pemimpin perusahaan besar, sosok dingin dan berwibawa yang menyimpan dendam mendalam akibat kehilangan adik tercintanya di masa lalu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Retakan yang Membuatnya Kembali"

Pagi itu datang dengan sunyi yang tidak biasa.

Tidak ada suara langkah Zavian di ruang tengah. Tidak ada bunyi cangkir diletakkan dengan rapi di meja. Tidak ada kehadiran diam yang biasanya, meski dingin, tetap terasa. Alya terbangun dengan perasaan ganjil—seperti bangun di rumah orang lain, tanpa tahu apakah ia diharapkan atau hanya numpang lewat.

Ia duduk di tepi ranjang, menatap jarinya yang kini kosong.

Cincin itu belum ditemukan.

Kenangan semalam masih terasa dekat: suara logam kecil membentur lantai, ekspresi Zavian yang membeku, pintu kamar yang ia tutup dengan tangan gemetar. Alya menelan ludah. Amarahnya sudah mereda, digantikan rasa bersalah yang datang terlambat.

Ia keluar kamar perlahan.

Rumah itu rapi seperti biasa, terlalu rapi. Di atas meja ada secarik catatan dengan tulisan tegas yang mudah dikenali.

*Aku pergi perjalanan bisnis. Tiga hari. Jaga dirimu. —Z*

Hanya itu.

Tidak ada penjelasan. Tidak ada permintaan maaf. Tidak ada teguran.

Alya duduk lama menatap catatan itu, jantungnya terasa berat. Tiga hari terdengar singkat bagi orang dewasa. Tapi bagi Alya, yang masih belajar memahami rasa ditinggal dan ditinggalkan, itu terasa seperti jeda yang terlalu panjang.

Di bandara, Zavian berdiri dengan ekspresi dingin yang kembali terpasang sempurna.

Ilham, Bayu, dan Bima mengelilinginya seperti biasa—formasi yang sudah terlatih bertahun-tahun. Mereka tahu, keberangkatan ini bukan hanya soal bisnis. Ini juga pelarian yang terkontrol.

“Wilayah timur mulai bergerak,” lapor Bayu singkat. “Ada pergeseran distribusi.”

“Dan orang Evelyn?” tanya Zavian datar.

Bima mengangguk. “Masih di bawah radar. Tapi mereka menguji batas.”

Zavian mengencangkan rahangnya. Dunia ini—dunia mafia, jaringan gelap, negosiasi tanpa dokumen—adalah wilayah yang ia pahami dengan sempurna. Di sini, semuanya jelas: siapa lawan, siapa sekutu, dan apa konsekuensi setiap langkah.

Jauh lebih mudah daripada dunia di rumahnya sendiri.

“Fokus pada bisnis,” katanya akhirnya. “Kita selesaikan dalam tiga hari.”

Ilham memperhatikannya sejenak. “Dan Alya, Pak?”

Zavian tidak langsung menjawab. “Dia aman di rumah. Pengamanan tetap.”

Ia tidak mengatakan *aku pergi karena aku bingung*. Tidak mengatakan *aku takut salah bicara*. Zavian tidak pernah pandai dengan kalimat yang mengakui kegagalan pribadi.

Pesawat lepas landas, membawa Zavian kembali ke dunia yang terasa lebih familiar—dunia yang keras, berbahaya, tapi setidaknya bisa dikendalikan.

Hari pertama tanpa Zavian terasa lambat.

Alya mencoba mengisi waktu dengan hal-hal kecil: membaca, menonton televisi tanpa benar-benar memperhatikan, menyusun ulang barang-barang yang sudah rapi. Namun setiap sudut rumah seperti mengingatkannya pada sesuatu yang belum selesai.

Sore menjelang, hujan turun tipis.

Alya berdiri di depan kamar mandi, menatap lantai dengan ragu. Cincin itu… mungkin terlempar ke sini. Ia ingat suara *ting* kecil itu, arah pantulannya yang tak jelas.

Ia berlutut perlahan, menyibakkan tirai shower, memeriksa sudut-sudut yang gelap. Lantai terasa licin, basah oleh sisa air yang belum kering sempurna.

“Aku cuma lihat sebentar,” gumamnya pada diri sendiri.

Ia melangkah lebih masuk, berjinjit sedikit untuk melihat ke balik wastafel.

Dan kemudian—semuanya terjadi terlalu cepat.

Kakinya tergelincir.

Tidak ada teriakan keras. Hanya suara tubuh yang kehilangan keseimbangan, lalu benturan tumpul yang membuat kepalanya berdenyut. Alya terjatuh ke sisi lantai, bahunya menghantam dinding. Rasa sakit menyebar cepat, membuat napasnya tersengal.

“Aduh—” suaranya pecah.

Ia mencoba bangkit, tapi lantai licin membuatnya kembali terduduk. Dunia terasa sedikit berputar. Air mata mengalir bukan hanya karena sakit, tapi karena panik yang datang bersamaan.

Ia sendirian.

Pikiran itu menghantam lebih keras daripada rasa nyeri.

Dengan tangan gemetar, Alya meraih ponselnya yang tergeletak tak jauh. Layar menyala setelah beberapa percobaan gagal. Nama Zavian ada di atas—panggilan terakhir.

Ia menekan tombol itu tanpa berpikir panjang.

Zavian sedang duduk di ruang pertemuan hotel ketika ponselnya bergetar.

Nama *Alya* muncul di layar.

Detik itu juga, seluruh dunia mafia yang sedang dibahas—angka, wilayah, ancaman—menghilang dari fokusnya.

“Ada apa?” tanyanya begitu mengangkat panggilan, nada suaranya langsung berubah.

Di seberang sana, tidak ada kata-kata. Hanya isakan terputus-putus, napas yang tersengal, suara kecil yang berusaha bicara tapi gagal.

“Alya?” suara Zavian mengeras. “Tenang. Bicara pelan-pelan.”

“S-saya…” Alya terisak. “Saya jatuh… Pak… sakit…”

Zavian berdiri mendadak, kursinya terjungkal ke belakang.

“Di mana kamu sekarang?”

“K-kamar mandi…”

Itu sudah cukup.

Zavian memutuskan panggilan tanpa penjelasan panjang. Ia menatap ketiga orang kepercayaannya.

“Kita pulang. Sekarang.”

“Pak, pertemuan ini—” mulai Bayu.

“Batalkan,” potong Zavian. Tidak ada nada kompromi. “Siapkan pesawat.”

Ilham tidak bertanya lebih jauh. Ia sudah melihat ekspresi itu sebelumnya—ekspresi ketika Zavian memutuskan sesuatu yang tidak bisa ditawar.

Perjalanan yang seharusnya tiga hari berakhir bahkan sebelum genap satu hari.

Alya duduk di lantai kamar mandi, memeluk bahunya yang nyeri. Tangisnya perlahan mereda menjadi isak kecil yang melelahkan. Setiap suara di rumah membuatnya menoleh dengan harapan kosong.

Beberapa jam terasa seperti selamanya.

Ketika akhirnya pintu depan terbuka dengan suara tergesa, Alya hampir tidak yakin itu nyata.

“ALYA!”

Suara itu—tegas, panik, nyata—membuat air matanya kembali tumpah.

Zavian muncul di ambang pintu kamar mandi, wajahnya pucat dengan kemarahan yang bercampur takut. Ia berlutut tanpa ragu, menjaga jarak cukup agar tidak membuat Alya panik.

“Jangan bergerak,” katanya cepat, tapi lembut. “Aku di sini.”

Alya menangis terisak, suaranya kecil. “Saya cuma… mau cari cincin…”

Kalimat itu menghantam Zavian seperti pukulan.

Ia menutup mata sejenak, menarik napas dalam, lalu membuka kembali dengan tatapan yang berbeda—bukan tatapan mafia, bukan tatapan pengendali. Tapi tatapan seseorang yang sadar bahwa kepergiannya, meski sebentar, telah meninggalkan celah yang seharusnya tidak ada.

“Kita urus nanti,” katanya pelan. “Yang penting kamu baik-baik saja.”

Zavian segera menggendong alya, mengatur semuanya dengan ketenangan yang terlatih. Tapi tangannya—yang biasa stabil—bergetar sedikit ketika memastikan Alya dengan aman.

Malam itu, Alya terbaring di ranjang dengan tubuh masih terasa pegal. Zavian duduk di kursi tak jauh darinya, tidak berkata apa-apa. Tidak menyentuh. Tidak menggurui.

Hanya ada.

“Aku minta maaf,” katanya akhirnya, suara rendah dan jujur. “Aku seharusnya tidak pergi tanpa memastikan kamu siap.”

Alya menatap langit-langit, lalu perlahan menggeleng. “Saya juga… minta maaf.”

Hening turun, tapi tidak menekan.

Zavian menatap tangan Alya yang terbaring di samping tubuhnya—kosong, tanpa cincin. "Kita cari cincin nya nanti,” katanya. “Tapi tidak sekarang”

Alya menoleh, matanya masih merah. “Kalau tidak ketemu?”

Zavian menjawab tanpa ragu, “Jangan pikiran cincin itu.”. Zavian menatap Alya. "Saya akan membelikan cincin yang baru.. dengan namamu terukir ".

Untuk pertama kalinya, Alya merasa kata-kata itu benar-benar ditujukan padanya.

Dan untuk pertama kalinya, Zavian menyadari satu hal yang tidak pernah ia pelajari dari dunia mafia: bahwa kehilangan kendali di rumahnya sendiri bukan tanda kelemahan—melainkan peringatan bahwa ada sesuatu yang harus ia jaga dengan cara yang berbeda.

Retakan itu masih ada.

Tapi malam itu, ia memilih kembali.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!