Elara Andini Dirgantara.
Tidak ada yang tidak mengenal dirinya dikalangan geng motor, karena ia merupakan ketua geng motor Ladybugs. Salah satu geng motor yang paling disegani di Bandung. Namun dalam misi untuk mencari siapa orang yang telah menodai saudara kembarnya—Elana, ia merubah tampilannya menjadi sosok Elana. Gadis manis, feminim dan bertutur kata lembut.
Lalu, akankah penyelidikannya tentang kasus yang menimpa kembarannya ini berjalan mulus atau penuh rintangan? Dan siapakah dalang sebenarnya dibalik kehancuran hidup seorang Elana Andini Dirgantara ini? Ikuti kisah selengkapnya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ratu jagad 02, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Setelah Zakia keluar dari ruang perawatannya. Elara menatap Chelsea dan Langit bergantian. Seketika timbul perasaan bersalah dalam hati Elara saat teringat bahwa dirinya pernah mencurigai Langit dan Chelsea sebagai pelaku yang telah membuat kondisi Elana seperti sekarang. Tetapi lihat sekarang, dua orang yang pernah ia curigai sebagai orang jahat, justru menemaninya menjalani hari-hari berat ini.
Elara sadar, kalaupun salah satu di antara Chelsea dan Langit membencinya, maka ia akan terima. Sebab, ia juga mungkin akan membenci orang yang telah menuduhnya tanpa sebab jika ia berada di posisi Chelsea dan Langit.
Di sofa, Chelsea terjaga dari tidurnya, ia mengucek matanya sebentar, lalu menatap Elara yang duduk di ranjangnya. Tanpa kata, Chelsea langsung mendekati Elara dengan membawakan segelas air. Ia sodorkan air tersebut kepada Elara, dan Elara 'pun langsung meminumnya tanpa penolakan.
"Terima kasih," ucap Elara setelahnya.
Chelsea hanya tersenyum kecil disertai anggukan sebagai jawaban. Chelsea telah kembali ke setelan awalnya. Gadis pendiam yang tidak banyak tingkah. Setelah menaruh kembali gelas ke atas nakas, Chelsea melangkah menuju kamar mandi.
"Chel, maaf karena aku sudah menuduhmu kemarin," Ucapan Elara berhasil menghentikan langkah Chelsea.
Chelsea tersenyum, "Aku yang hanya sahabat Elana saja bisa melakukan segala cara untuk mengungkap kasus Elana, apalagi kau yang saudara kembarnya. Aku paham posisimu, El. Dan kalau aku yang ada di posisimu, aku juga pasti akan melakukan hal yang sama."
Elara tersenyum mendengar tanggapan Chelsea. Tidak ia sangka, dibalik sifat Chelsea yang sangat pendiam, ternyata teman baik Elana itu menyimpan sisi bijak yang membuat Elara merasa tersentuh.
"Sekali lagi terima kasih," ucap Elara.
Chelsea kembali menjawab dengan anggukan, lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci muka.
"Aku juga sudah memaafkanmu karena sempat menuduhku waktu itu." ucap Langit tiba-tiba.
Elara sempat terkejut beberapa saat. Sebab, tadi ia yakin Langit masih tertidur pulas, tetapi barusaja Langit menjawab ucapannya begitu saja, dan itu membuat Elara terkejut. Elara meraih bantal dari belakang punggungnya, lalu menghantamkannya kepada Langit yang masih duduk di kursi samping ranjangnya.
"Aw! Kenapa kau malah memukulku," rutuk Langit dan langsung lari menghindar.
"Karena kau mengagetkanku. Rasakan ini, tuing!" Bantal yang tadi Elara pegang melayang ke punggung Langit, membuat Elara tertawa karena senjatanya tepat mengenai sasaran.
"Aku suka melihatmu tertawa begitu, kau sangat cantik." pekik Langit dari ambang pintu.
"Langit!" Elara kembali melempar bantal lain ke arah Langit yang membuat Langit berlari keluar dari ruangan Elara.
Setelah Langit keluar, Elara memegang dadanya yang berdebar tak terkendali, kemudian ia memegang kedua pipinya yang tiba-tiba terasa panas. Seketika Elara tersenyum saat teringat gombalan Langit tadi. Tidak bisa dipungkiri, hatinya terasa cukup senang setelah dipuji cantik oleh Langit tadi.
...•••***•••...
Chelsea melangkah menuju ruangan Elana. Saat sampai di depan ruang rawat Elana, bertepatan dengan Zakia yang baru keluar dari ruang rawat Elana.
"Kak," Chelsea langsung mendekati Zakia.
"Ada apa?" tanya Zakia.
"Bolehkah aku melihat keadaan Elana?"
Zakia tidak langsung mengiyakan. Ia sedikit menimbang, lalu melihat Elana melalui kaca yang terdapat pada pintu ruangan. Setelah sedikit mempertimbangkan akhirnya Zakia mengangguk.
"Baiklah, tapi jangan lama-lama, Elana butuh istirahat."
"Baiklah Kak, terima kasih."
Zakia hanya menjawab dengan anggukan, lalu pergi dari sana. Setelah Zakia pergi, Chelsea langsung menuju pintu ruang rawat Elana, lalu membukanya perlahan. Secara perlahan, kedua kaki Chelsea melangkah mendekati ranjang Elana, lalu berdiri menatap wajah pucat sahabat baiknya itu. Seketika, kejadian malam kemarin terlintas dalam ingatan Chelsea.
"Langit, kenapa kau membuat Elara seperti ini?" Chelsea tidak sabar ingin bertanya, sebab ia tidak habis pikir saat melihat Langit membuat Elara pingsan.
"Langit, cepat baringkan Elara di ranjang pasien," ucap Zakia.
Setelah Zakia memerintah, Langit langsung melaksanakan tanpa penolakan, dan itu membuat Chelsea kembali bertanya-tanya. Setelah Elara dibaringkan, Zakia memberi bedak pada wajah Elara hingga membuat wajah Elara menjadi pucat seperti orang sakit parah.
"Apa yang kalian lakukan sebenarnya?" tanya Chelsea lagi.
"Iya Kak, sebenarnya aku juga tidak mengerti apa yang Kakak rencanakan." Ahirnya Langit ikut bersuara.
Zakia menatap Chelsea dan Langit bergantian, lalu menghela napas pelan, "Ini terlalu berat, bahkan kalian mungkin tidak akan percaya dengan apa yang akan aku katakan ini. Tapi... orang yang sudah membuat Elana depresi adalah Om Efendi, Papanya sendiri."
"Apa?"
"Iya, itulah kenyataannya. Maka dari itu kita harus bisa membuat Om Efendi percaya bahwa yang ada di ruangan ini adalah Elana, bukan Elara. Dan biarkan Elara tahu dengan sendirinya perbuatan Om Efendi. Sebab, kalau kita yang memberitahunya, kemungkinan Elara tidak akan percaya. Kalian tahukan bahwa father is a daughter's first love." ucap Zakia.
"Lalu di mana Elana sekarang, Kak?" tanya Chelsea.
"Aku sudah mengamankan Elana di ruangan lain supaya dia tidak mendengar keributan yang akan terjadi nanti. Sebab, kalau Elana sampai mendengar keributan itu, dia pasti akan ikut histeris karena teringat kejadian menyedihkan yang menimpanya tiga bulan yang lalu."
Chelsea kembali tersadar dari lamunannya, ia kembali mengusap punggung tangan Elana, "Lan, maaf karena aku dan Feli tidak ada disaat-saat terpurukmu. Bahkan kami 'pun tidak tahu bahwa kau memiliki kembaran. Kami—" ucapan Chelsea terhenti saat melihat kedua kelopak mata Elana mulai terbuka. "Elana," panggil Chelsea lirih setengah tidak percaya karena melihat Elana sadar.
Elana menatap Chelsea dengan menyipitkan matanya, sebab penglihatannya tidak begitu jelas tanpa kacamata. Elana sampai memiringkan kepalanya agar bisa melihat wajah seseorang di hadapannya, tetapi ia tetap tidak bisa mengenali. Chelsea yang menyadari itu langsung membuka laci nakas yang ada di samping ranjang Elana untuk mencari kacamata.
"Akhirnya," Chelsea bernapas lega saat berhasil menemukan benda penting milik sahabatnya itu. Segera Chelsea memakaikan kacamata tersebut ke hidung Elana.
Elana membenarkan letak kacamata di wajahnya agar nyaman, setelah kedua matanya bisa melihat dengan jelas, ia melihat ke arah orang yang ada di sampingnya sejak tadi yang ternyata adalah sahabat baiknya.
"Hai," sapa Chelsea pelan. Tetapi Elana hanya membisu. "Lan, apa kau tidak mengingat aku? Ini aku, Chelsea. Kita ini sahabat. Kau ingat aku, 'kan?" Chelsea berusaha menggapai tangan Elana kembali, tetapi Elana langsung menarik tangannya tanpa sempat Chelsea pegang. "Lan—" Chelsea menatap kecewa melihat Elana yang tidak mau disentuh olehnya.
Elana melipat kedua lututnya, lalu meletakkan kepala di atas lutut dengan kedua tangan yang memeluk tubuhnya sendiri seolah memberi perlindungan untuk tubuhnya. Kedua bola matanya menatap sembarang arah dengan napas memburu dan mulut komat-kamit seolah berdo'a. Ketakutannya terlampau jauh hingga membuatnya seakan melihat Efendi yang ada di hadapannya saat ini.
"Lan, apa kau tidak mengingat aku?"
"Pergi!"
Tubuh Chelsea terlonjak saat mendengar teriakan Elana. Ia terkejut, sebab selama ia mengenal Elana, Elana tidak pernah menaikkan intonasi suara seperti sekarang. Elana adalah sosok gadis yang bertutur kata lembut di mata Chelsea, tidak seperti sekarang.
"Pergi! Pergi dari sini!"
Kedua mata Chelsea mengembun saat melihat betapa takutnya wajah Elana saat melihatnya. Tidak bisa Chelsea bayangkan seperti apa takutnya Elana saat kejadian itu hingga menimbulkan trauma sedalam sekarang ini. Bahkan meskipun bukan menatap Efendi, Elana tetap merasa takut.
"Lan, ini aku, Chelsea sahabatmu."
"Jangan sakiti aku, aku mohon." Bukannya menyambut baik ucaan Chelsea, Elana justru menangis histeris.
Tangis Chelsea luruh tanpa bisa dicegah. Dengan mengumpulkan segenap keberanian, Chelsea kembali berjalan lebih dekat dengan Elana, lalu memeluknya erat. Elana yang berada dalam pelukan Chelsea terus memberontak dan berusaha mendorong Chelsea agar melepas pelukannya. Tetapi Chelsea tidak mau kalah, ia mengeratkan pelukannya, lalu mendekatkan mulutnya dengn telinga Elana.
"Kau harus sembuh, Lan. Kau tidak boleh seperti ini, aku mohon. Aku mohon jangan biarkan Papamu itu bahagia atas pencapaiannya saat ini. Ini yang dia mau Lan, ini yang dia inginkan. Dia menginginkan kehancuranmu, maka jangan biarkan bajing*n itu merasa menang. Aku mohon," bisik Chelsea.
"Pergi!" Dengan sekuat tenaga Elana mendorong Chelsea hingga membuat Chelsea jatuh terduduk di lantai. Setelah Chelsea jatuh ke lantai, Elana melempar kacamatanya, lalu menjambak rambutnya sendiri. Tidak hanya itu, Elana juga melempar bantal guling yang ada di atas ranjangnya.
Zakia masuk setelah mendengar keributan dari dalam ruangan Elana. Ia sedikit terkejut saat melihat Chelsea yang jatuh terduduk di lantai. Zakia lekas membantu Chelsea berdiri, lalu meminta Chelsea untuk keluar dari ruangan, dan langsung dituruti oleh Chelsea.
"Pergi! Pergi kau dari sini!" pekik Elana histeris disertai jambakan pada rambutnya sendiri.
"Lan, tenang."
"Pergi! Aku mohon pergi!"
Zakia langsung memegang kedua pundak Elana agar Elana menatapnya. "Elana lihat baik-baik, ini Kakak, Lan." ucap Zakia disertai guncangan kecil pada pundak Elana agar Elana sadar.
"Dia datang lagi, Kak. Dia datang lagi." adu Elana.
"Tidak. Dengarkan Kakak, dia sudah dihukum, dia sudah mendekam di penjara saat ini. Jadi tenang, oke."
"Tidak, dia datang lagi, Kak. Dia di sini."
Zakia langsung memeluk Elana, lalu mengusap punggungnya untuk menenangkan. Tubuh Elana yang semula bergetar ketakutan, perlahan mulai tenang dalam pelukan Zakia. Hingga setelah beberapa saat, Zakia melepas pelukannya, lalu merapikan rambut Elana yang berantakan.
"Sudah lebih tenang sekarang?" tanya Zakia lembut.
Elana hanya menjawab dengan anggukan kecil. Wajahnya masih tampak basah dengan sisa air mata, serta beberapa kali ia juga sesegukan sisa tangis penuh ketakutannya tadi.
"Lan, dengarkan Kakak. Kamu punya jalan hidup yang masih sangat panjang. Jadi jangan biarkan rasa trauma itu menguasai dirimu dan membuatmu melupakan duniamu yang sebenarnya. Kamu itu hebat Sayang, kamu kuat, kamu pintar, kamu luar biasa. Jadi tolong, jangan terperangkap dalam rasa traumamu, oke."
Elana kembali menangis mendengar nasehat Zakia. Namun kali ini tangisnya lebih terkendali, ia tidak histeris ataupun menyakiti dirinya lagi.
"Lupakan kejadian itu, Lan, biarkan dia menjadi memori kelam masa lalu yang akan membentuk Elana yang baru yang penuh dengan hal luar biasa. Kakak mohon, jangan biarkan biarkan Elana yang orang kenal selama ini menjadi tenggelam hanya karena traumamu. Ingat kata-kata Kakak setiap kita konseling. Keluarkan segala yang ada di dalam dadamu. Menangislah jika itu bisa membuatmu tenang. Tapi tolong, jangan terus berlarut larut dalam ketakutanmu yang membuatmu kehilangan dirimu sendiri. Kau paham maksud Kakak, 'kan?"
"Tapi dia jahat, Kak." ucap Elana tersedu.
"Lan, ingat. kau boleh membencinya, tapi jangan biarkan trauma itu menguasai dirimu dan membuatmu kehilangan kontrol atas dirimu sendiri. Kau mengerti? Sekarang, tarik napas dalam-dalam, hembuskan. Lakukan terus sampai kau merasa tenang."
Elana mengikuti perintah Zakia. Ia terus menarik napas beberapa kali, lalu menghembuskannya perlahan, hingga kemudian ia mulai merasakan emosi dalam dadanya mereda.
"Sudah tenang?" tanya Zakia lagi, dan kali ini Elana menjawab dengan anggukan. "Baiklah, kalau begitu, sekarang kau istirahat dan tenangkan dirimu. Ingat, jangan pikirkan hal negatif apapun lagi."
Setelah mengatakan itu, Zakia langsung membantu Elana berbaring, lalu menyelimutinya. Setelah memastikan Elana nyaman untuk beristirahat, Zakia langsung keluar dari ruangan.
ayah yg bejad moralnya ..anak sendirian yg seharusnya di lindungi malah dia makan😡
tapi kenapa langit dan zavia apakah kerjasama dengan papa Efendi untuk menghilangkan bukti dan mengetahui alasan elana depresi?....
Aku sampe nahan napas karena ternyata ada yang bisa nebak plotnya dari awal, tapi ngga papa, aku tetep lanjutin dan perbaiki aja sebagian alurnya. Btw, ini karya pertama aku yang ada plot misteri gini. Jadi gimana pendaoatkn kalian tentang karya ini? Komen yukk.
semakin di bikin penasaran sama authornya .,...🤣🤣