NovelToon NovelToon
Kabut Cinta, Gerbang Istana

Kabut Cinta, Gerbang Istana

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Murni
Popularitas:8k
Nilai: 5
Nama Author: souzouzuki

Jadi dayang? Ya.
Mencari cinta? Tidak.
Masuk istana hanyalah cara Yu Zhen menyelamatkan harga diri keluarga—yang terlalu miskin untuk dihormati, dan terlalu jujur untuk didengar.

Tapi istana tidak memberi ruang bagi ketulusan.

Hingga ia bertemu Pangeran Keempat—sosok yang tenang, adil, dan berdiri di sisi yang jarang dibela.

Rasa itu tumbuh samar seperti kabut, mengaburkan tekad yang semula teguh.
Dan ketika Yu Zhen bicara lebih dulu soal hatinya…
Gerbang istana tak lagi sunyi.
Sang pangeran tidak pernah membiarkannya pergi sejak saat itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon souzouzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tahta Untuk Melindungi, Bukan Menundukkan

Jing Rui menatap gulungan itu sekali lagi,

lalu pandangannya beralih ke wajah tua Zhang yang kini tertunduk—

bukan karena takut,

melainkan karena lelah…

dan harapan.

Lelaki muda itu berdiri pelan,

berjalan ke arah jendela terbuka yang menghadap ke arah Lembah Utara.

Angin malam menyapu jubahnya.

Dingin, tajam…

tapi juga jernih.

"Andai semua kepala desa, bahkan semua pemimpin, seperti Anda…”

Katanya dalam hati.

"... mungkin negeri ini tak akan penuh luka seperti sekarang.”

Ia mengatupkan mata sejenak,

membiarkan suara jangkrik dan embusan angin berbicara.

Dan di saat itu…

Benih yang selama ini hanya ia pendam,

mulai menggeliat pelan.

Keinginan untuk naik tahta.

Bukan untuk kejayaan.

Bukan untuk pujian.

Tapi karena satu alasan:

“Aku tidak bisa membiarkan takhta itu jatuh ke tangan yang salah.”

Ia membuka mata.

Pikirannya mulai bergerak.

Jika tahta kelak jadi medan perang,

maka ia harus bersenjata.

Dan senjata paling tajam bukan pedang—

tetapi manusia yang setia dan jujur.

Ia menoleh kembali pada Kepala Desa Zhang.

“Setelah semua ini selesai…” katanya pelan,

“…aku akan memanggilmu ke ibukota.

Aku butuh orang sepertimu.

Yang tidak bisa dibeli oleh emas.

Yang tetap berdiri meski badai datang.”

Kepala Desa Zhang menunduk dalam, ia hampir protes karena saat ini pun usianya sudah senja—

tapi kali ini, matanya basah, dan tak bisa menolak.

---

Malam itu,

Jing Rui tidak tidur.

Ia menatap peta lembah di meja kayu kecilnya,

dan di antara garis-garis sungai dan desa…

ia membayangkan sebuah negeri baru.

Satu demi satu…

Orang-orang kecil, tapi murni,

yang akan ia kumpulkan untuk menjadi tulang punggung masa depan.

Ia bukan lagi hanya seorang pangeran.

Ia kini telah memilih.

Dan api di dalam dadanya…

bukan lagi nyala diam.

Tapi cahaya kekaisaran.

Dari balik tirai belakang, Lian He masuk diam-diam,

membawa selembar laporan baru.

"Yang Mulia..." bisiknya,

"...surat perjanjian mereka sudah lengkap.

Tandatangan Hui Hui. Nama komplotan.

Saksi kunci. Hanya kurang daftar kepala desa yang setuju menjual negeri ini... Apa gerakan selanjutnya Yang Mulia?"

Mata Jing Rui menyipit pelan.

Ia mengambil gulungan itu, membacanya sebentar—

lalu meletakkannya tepat di tengah meja.

Tenang. Tapi tegas.

"Sudah cukup."

"Sekarang… waktunya kita menyergap sarang mereka, dan nama nama kepala desa yang berkhianat nantinya pasti ada di sana."

Ia berdiri.

Jubahnya berayun pelan, bayangan tubuhnya menjulur panjang di lantai tanah.

"Kirim pesan pada seluruh penjaga bayangan."

"Geruduk markas mereka malam ini juga."

"Tak perlu menunggu fajar."

Lian He membungkuk, siap menerima perintah itu seutuhnya.

"Pastikan mereka tak sempat membakar bukti."

"Tangkap hidup-hidup. Aku ingin mereka bicara di depan rakyat."

"Dan…"

"kerahkan tim cadangan. Tutup seluruh pintu keluar kota."

"Kalau ada yang melompat pagar hutan sekalipun—

pastikan ia tersandung tali perang kita."

Lian He mengangguk cepat,

kemudian lenyap ke dalam kegelapan malam bersama pengawal.

Dan Jing Rui…

Masih berdiri di depan petanya.

Satu titik di tengah peta ia tandai dengan tinta merah.

Titik itu… adalah titik kunci.

Titik pertama yang akan ia bebaskan.

Titik tempat negeri ini… mulai diselamatkan.

"Jika tanah ini bisa jatuh ke tangan orang serakah hanya karena diam..."

"...maka biarlah aku jadi kebisingan pertama yang membangunkan mereka."

Malam itu…

selain peta…

yang terbuka di mejanya adalah masa depan.

Dan tak ada jalan pulang lagi.

---

Di sebuah rumah panggung tua di ujung desa,

dengan lampu minyak berkedip dan tirai kusam menutup jendela,

tiga orang duduk membentuk setengah lingkaran.

Wajah mereka tegang.

Tak ada yang bicara.

Hanya suara air menetes dari ember bocor di pojok ruangan.

"Dia… hilang,” bisik salah satu dari mereka.

“Tadi malam. Tanpa suara. Tanpa jejak.”

"Bahkan pengawal kita tak sadar kapan dia pergi.”

Orang kedua—berjanggut kelabu dan mata curiga—menatap tajam ke depan.

“Ada yang menyelamatkannya.”

“Dan aku hanya tahu satu orang di lembah ini yang menentang kita, dan berani untuk melakukan itu.”

Nama itu mengambang di udara:

Rong Jing Rui.

Orang ketiga, yang sejak tadi diam, menyeringai masam.

"Sial. Jadi dia bukan hanya pangeran biasa yang polos karena baik hati, pemurah dan tampan.”

“Dia ternyata juga licik.”

“Kita terlalu meremehkan putra keempat ini.”

Mereka saling bertukar pandang.

Tak perlu banyak kata—semua tahu:

saksi hilang \= semua bisa terbongkar.

"Kita harus ambil langkah sebelum dia bawa orang itu ke pengadilan rakyat,” ucap yang tertua.

“Kalau surat perjanjian sampai muncul… semuanya tamat.”

Tak ada yang menjawab.

Tak ada rencana balasan.

Tak ada hasutan lagi.

Hanya satu kata terpatri di kepala mereka:

Melarikan diri.

Orang berjanggut kelabu berbisik keras:

"Kita harus pergi.

Sekarang juga.

Sebelum dia buka mulut...

sebelum semua kepala kita tergantung di gerbang kota."

Orang kedua menggigit bibir.

"Lalu kemana?

Jalan selatan?"

Orang ketiga, yang sejak tadi diam, melirik lewat celah jendela.

Gelap.

Tapi di kejauhan—

kilatan obor.

Bayangan pasukan.

Nafasnya tercekat.

"Kenapa mereka tahu dimana markas kita??"

"Terlambat."

"Mereka sudah tutup semua pintu keluar."

Suara itu nyaris berbisik.

---

Di luar kota kecil itu,

di setiap simpang jalan,

di balik hutan pinus,

di sepanjang jalur sungai…

Pasukan bayangan berpakaian rakyat biasa,

bersenjatakan tali, bilah pendek, dan obor,

telah bersembunyi.

Mereka menerima satu perintah saja:

"Tangkap hidup-hidup.

Jangan biarkan satupun lolos."

Orang berjanggut kelabu membanting meja kecil di depannya.

"Kita tidak bisa tinggal di sini!"

"Kalau tertangkap... lebih baik mati di tempat!"

Mereka membongkar lantai rahasia,

mengeluarkan kantong emas kotor dan surat-surat pengkhianatan lainnya.

Tapi...

Langkah kaki berat terdengar dari gang sempit di luar.

Pukulan pada pintu belakang.

Tiga komplotan itu saling memandang—

wajah mereka memucat.

Mereka tahu.

Perburuan telah dimulai.

Tuk.

Tuk.

TUK!

Bukan keras, tapi mantap.

Bukan tergesa, tapi pasti.

Tiga komplotan itu saling memandang—

wajah mereka memucat.

Tangan gemetar memegang gulungan surat dan kantong perak.

Satu dari mereka mulai menarik kotak besi rahasia di lantai.

“Ambil saja yang bisa,” bisik si berjanggut.

“Lari ke belakang! Lewat pintu sumur!”

Tapi sebelum mereka bergerak—

Suara itu datang. Dari luar.

Tenang.

Datar.

"Atas nama Kaisar dan utusan Pangeran Keempat…

…buka pintu. Atau kami dobrak.”

Sunyi.

Dada mereka berdetak sekeras palu.

Lidah tercekat.

BRUGGG!!!

Pintu belakang terlempar terbuka.

Kabut malam menyelusup ke dalam.

Disusul oleh lima siluet berpakaian gelap,

mata mereka tajam seperti pisau.

Bersarung, tapi semua bersenjata.

Satu orang di depan bicara cepat:

"Ambil surat-surat di atas meja.

Sisir ke dalam. Jangan beri celah.”

Orang kedua di antara komplotan mencoba lari—

Tapi BLET!

Tali dilontarkan dari samping,

mengikat kakinya dan menjatuhkannya ke lantai.

Sebelum sempat berteriak, satu penyerbu membungkam mulutnya dengan kain.

Tangannya diikat dalam hitungan detik.

Orang ketiga mengayun belati.

Tapi lengan itu ditangkis dan dislokasi dalam satu gerakan.

Ia menjerit, dan langsung dijatuhkan.

“Tangkap hidup-hidup, kata Pangeran,”

bisik salah satu penjaga,

“Tapi tak ada perintah untuk membiarkanmu utuh.”

Di sudut ruangan, satu peti diseret keluar.

Isinya: uang logam, daftar nama, dan gulungan surat bertanda merah.

"Bukti cukup,” lapor salah satu pengawal.

“Ketiga ditangkap. Dokumen utuh. Tak ada api. Tak ada perlawanan serius.”

1
Pep Bri
suka ceritanya
lanjut dong author
🌹 Mommy caeeeem 😍
thorrr,,,,jgn pergi,,,,
jgn tinggali kami,,,🥹
Arix Zhufa
semangat thor
Rachmahsetiawardani
Meluncur..
Mau cari karya author yg lain
Rachmahsetiawardani
Apapun yg terbaik buat author..
Aku baru kenal author,tapi suka karya author dgn gaya penulisanmu,thor.
Semangat thor..
Sukses selalu
Rachmahsetiawardani
Vote untuk mu,thor..
Berharap MC nya menjadi lebih tangguh dan berkelas
Rachmahsetiawardani
Berlakulah sebagaimana posisimu saat ini..
Jangan gegabah.
Karena yg berseberangan dengan pangeran mu.
Akan menargetkanmu sebagai sebuah kelemahan
Rachmahsetiawardani
Bermain cantik tanpa ada yg tau..
Demi cinta mu,demi pujaan hati mu.
Demi mimpi yg ingin di wujudkan pangeran mu.
Bisa kan,Zhen..???
Rachmahsetiawardani
Hayolah Zhen..
Kepastian telah kamu dapat.
Jadilah wanita kuat dan tangguh untuk pangeran mu.
Jangan tunjukkan lagi kelemahanmu .
Rachmahsetiawardani
Perkara perasaan..
Emang keduanya harus selemah itu ya,thor.
Kesannya gimana gitu...
Rachmahsetiawardani
Bangkit Yu zhen..
Jadilah setegar karang jika pangeran keempat adalah tujuan mu
Tangguhmu adalah ketenangan bagi pangeran
Rachmahsetiawardani
Jangan lemah Yu zhen..
Apalagi perkara perasaan..
Istana bukan tempat yang sehat untuk wanita seperti mu
Rachmahsetiawardani
Please..
Tetaplah diam dalam resahmu saat ini,Yu zhen.
Cukup hanya kamu
Tak perlu orang lain tau
🌹 Mommy caeeeem 😍
gak sia sia kebangun dini hari,, liat notif,,,cuzzzzz,,,
aaaaaaaaaaaa,,, senyum senyum sendiri jadinya,,, sweet banget Thor
🌹 Mommy caeeeem 😍
author yg baik dan suka menabung,, cepat up lg yaaaaa,,,aku akan selalu menunggu,,,,🙏🙏🙏
souzouzuki: boom comments ya kalo aku up xixixi
total 1 replies
Rachmahsetiawardani
Di tunggu nextnya,thor
Vote untuk karyamu yg menurutku bagus banget
Rachmahsetiawardani
Aku boleh depak pangeran pertama ga,thor.
Biar nyungsep di tempat yg kotor
Gemeeeeees ma kelakuannya
Rachmahsetiawardani
Semoga keadaan di utara segera bisa di atasi dan di kendalikan
Rachmahsetiawardani
Biarlah salah faham ini...
Sementara waktu menjadi ruang renung bagi keduanya.
Menjadi penilai sedalam apa rasa yg ada
Menjadi pembatas agar tak terlalu terbuka
Rachmahsetiawardani
Sepertinya harus sama sama bisa menahan perasaan,thor..
Demi keamanan,demi kenyamanan,demi mimpi mimpi yg ingin di wujudkan di masa depan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!