Wulan masih tidak percaya bahwa dia telah reinkarnasi ke dalam tubuh seorang perempuan yang cantik namun tidak bahagia. Dia adalah istri dari kapten yang tampan dan berkuasa, namun dingin dan tidak peduli dengan istrinya.
Wulan mempunyai janji dengan jiwa aslinya, yaitu mengubah takdir hidup sang kapten agar jatuh cinta dengan tubuh istrinya yang bermana Livia. Tapi bagaimana caranya? Kapten tersebut sangat dingin dan tidak peduli dengan istri.
.
Namun, semakin Wulan mencoba untuk mendekati sang kapten, semakin dia menyadari bahwa kapten tersebut memiliki luka yang dalam dan tidak mudah untuk diobati.
Wulan harus mencari cara untuk menyembuhkan luka tersebut agar sang kapten dapat membuka hatinya dan jatuh cinta dengan Livia.
Bagaimana kelanjutan cerita Wulan? Apakah dia berhasil mengubah takdir hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aira azahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 16
"Lain kali jaga ucapanmu, Kak. Jangan asal menuduh seseorang tanpa bukti, mengerti?" Dara menatap tajam ke arah kakaknya. Rasanya kesal sekali, pasti mau mempermalukan di depan umum.
Di sudut lain, Alex berbincang-bincang dengan teman dekatnya. Tiba-tiba Jeni dan wanita lainnya mendekati.
"Aku mau mengatakan sesuatu kepadamu, Alex. Kalau Livia sepertinya kecewa kepadamu," kata Jeni tersenyum kecil. "Sepertinya dia mempunyai kekasih diluar sana."
"Ya ampun! Sekelas Alex seorang kapten saja, masih diselingkuhi istrinya itu. Apa mungkin, Livia kekurangan kasih sayang?" sahut lainnya, menahan tawa mereka.
"Hai ... hai ... memangnya kalian ada bukti? Jangan asal menuduh Livia selingkuh, setahu kami .... Livia sangat bucin dengan teman kita," teman Alex langsung membelanya.
"Orion kamu tahu apa? Livia sudah berubah total sekarang, bahkan mengurus usaha ibunya dan jelas banyak bertemu dengan pria lain. Iyakan?" sahut Jeni tersenyum.
Alex meninggalkan mereka semua. Ia melangkah menuju meja, mengambil segelas minuman dan meneguknya sampai habis. Rasanya tenggorokannya tercekat, mendengar istrinya selingkuh dan banyak bertemu dengan pria lain. "Ada apa denganku ini? Seharusnya bagus sekali, Livia berubah dan menjauhiku secara pelan-pelan. Tapi aku merasa tidak suka," batinnya.
Dara mendekati menantunya. "Terkadang ada seseorang berubah karena lelah, Lex. Anakku titip salam kepadamu, katanya urus surat perceraian kalian. Jangan mempersulit keadaan ini, lepaskan anakku secepatnya dalam ikatan pernikahan yang tidak waras ini. Anakku pantas mendapatkan suami yang baik!""
Setelah itu, Dara menjauhkan diri dan tidak peduli dengan raut wajah menantunya sedikit tegang. Ada rasa kepuasaan jadinya, kalau menantunya banyak pikiran tentang cerai itu.
Di pesta ini, Nadia melihat besannya tampak biasa. Tapi dirinya ada rasa kurang, karena menantunya tidak datang.
**********
Livia memandang atraksi motor yang penuh risiko di malam yang dingin, mengabaikan semua kegaduhan pesta di rumah ibu mertuanya. Ia tahu apa yang mereka rayakan di sana—bahkan mungkin itu tentang suaminya—tapi tidak peduli.
Livia sudah lelah dengan semua kepalsuan dan senyuman yang hanya menutupi kebohongan. Malam ini, ia hanya ingin menjauh, menghirup udara yang terasa lebih bebas.
Di sini, bersama suara mesin yang menggelegar, setidaknya Livia bisa melupakan sejenak rasa muak di hati.
Saat Zyan mendekat, Livia melihat ekspresi antusias di wajahnya. "Temanku sedang balapan liar, kami mengumpulkan dana untuk taruhannya. Apa kamu mau ikutan?" tanyanya penuh semangat.
Livia meliriknya sesaat, mencoba membaca maksud di balik ucapan itu. Namun, tanpa berpikir panjang, ia mengangguk pelan. "Berapa taruhannya?" tanyanya dingin, separuh hati ingin tahu.
Tatapan Zyan langsung berubah menjadi gembira, sementara senyum di bibirnya tampak terlalu berlebihan. Mungkin ia memang senang, atau mungkin ada sesuatu di balik antusiasme itu.
Livia tidak peduli. Ia hanya ingin sesuatu yang membuat pikiran teralihkan. Zyan sibuk berdiskusi dengan Zira, dan ia sempat mendengar bisikan pelan di antara mereka, meski suara mesin di sekeliling nyaris mengalahkan.
"Sepertinya kita berhasil membodohi Livia, sayang. Kita bisa memanfaatkan dia," ujar Zira, senyumnya sinis, penuh kemenangan.
Livia melirik mereka dengan tatapan datar. Klub motor ini memperlakukannya dengan sangat baik, "Tapi apa maksud semua keramahan itu? Bukankah terlalu manis jika semuanya murni tanpa alasan?" gumamnya pelan.
Saat teman Zyan memenangkan taruhan, wajah mereka bersinar senang. Uang sepuluh juta beredar di tangan mereka malam ini. Livia menyerahkan semuanya tanpa banyak bicara, tak meminta bagian sama sekali.
"Ambil saja," ucap Livia. Ia tahu apa yang mereka pikirkan tentangnya, tetapi apa ia peduli? Jika uang itu bisa membuat mereka puas, maka ia sudah memberikan cukup alasan untuk mereka tetap berada di sana. Namun, di dalam hatinya, ia bertanya-tanya, "Untuk apa aku berada di tempat ini? Untuk apa aku terus mengorbankan bagian diriku, meski hanya sekadar rasa bangga? Tapi tujuanku adalah balas dendam," batinnya tersenyum smirk.
"Ambilah bagianku, Kevin. Kamu pantas mendapatkan uang yang banyak, sebab kamu yang memenangkan lomba ini. Mereka tidak bisa membantah, soalnya bagianku bukan milik siapapun. Terimalah," kata Livia menaruh uang di tangan Kevin.
"Terima kasih atas semuanya, Livia. Aku ambil bagian ini," kekeh Kevin senang mendapatkan uang lebih.
"Seharusnya uang dibagi rata dong, kenapa seperti ini?" tanya Zira langsung tidak suka, apa lagi bagian Kevin banyak.
"Ada yang salah? Wajar Kevin banyak mendapatkan uang taruhan kali ini, sebab dia yang menang dan melawan musuh. Apakah adil?" tanya Livia, mulai mempengaruhi lainnya.
"Adil! Karena memang benar, Livia yang membagikan hasilnya dan kita sudah dapat bagian masing-masing. Setuju kan?" sahut lainnya, diiringi dengan semua yang menyetujui pendapat Livia kali ini.
Jelas sekali Zira tidak suka dengan semua ini. Raut wajahnya mungkin tidak bisa menyembunyikan kekesalan ketika ia berkata pada Zyan, "Aku tidak suka dengan pendapat Livia. Lihatlah, dia sudah merebut teman-teman kita."
"Bagaimana bisa aku diam saja? Rasanya Livia seperti angin dingin yang tiba-tiba menyelusup, mencoba menyingkirkan aku dari klub motor Black ini," batin Zira. Ia mengepalkan tangannya dengan kuat.
Namun, Zyan hanya menghela napas panjang sebelum menangkup wajah Zira dengan kedua tangannya, membuat merasa seolah Zira ini terlalu keras kepala. "Kamu jangan berpikir aneh-aneh soal Livia, sayang," ujarnya, suaranya terdengar lembut, tapi ada nada tegas di sana. "Dia itu sangat menguntungkan kita semua kali ini. Livia rela mengeluarkan uang banyak buat taruhan balap teman kita. Kalau kalah, kita tidak rugi. Ayolah, jangan buat suasana semakin kacau. Livia itu anak orang kaya raya. Kita harus memanfaatkan kebaikannya itu. Oke?"
Zira diam, mencoba menelaah apa yang baru saja dia katakan. "Memanfaatkan kebaikan Livia? Rasanya seperti duri yang mengganjal di hatiku. Aku sangat suka ini," batinnya.
Sementara itu, Livia yang sudah bersiap pergi, hendak pulang menggunakan taksi. Tetapi Kevin tiba-tiba menawarkan tumpangan padanya, "Beneran nggak merepotinmu?" Suara Livia terdengar sedikit ragu.
"Tidak. Ayo, aku antar sampai rumah. Sekalian kita makan gimana? Aku traktir kali ini," sahut Kevin dengan tawa kecil sambil memperlihatkan senyum manisnya.
Livia mengangguk patuh dan naik ke motor Kevin tanpa banyak bicara. Mereka pergi, menghilang bersama deru mesin motor, dan yang tersisa di sini adalah rasa tidak nyaman yang kembali membanjiri hati.
"Apa aku terlalu berlebihan soal ini?" batin Zira bertanya-tanya, tetapi bayangan Zyan dan kata-katanya tadi masih menggema di kepalaku. "Livia itu sangat menguntungkan kita semua …" ujarannya terus bergema, membuat hatinya terasa semakin sempit. "Kamu yakin membiarkan Livia seperti itu?"
Zyan menatap wajah kekasihnya. "Kamu kenapa sih? Bisa tidak jangan membahas soal itu? Bukankah Livia sama persis dengan Wulan dulu?"
Glek!