NovelToon NovelToon
Menikahi Cucu Diktator

Menikahi Cucu Diktator

Status: sedang berlangsung
Genre:Pengantin Pengganti / Percintaan Konglomerat / Trauma masa lalu
Popularitas:5.6k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Di balik gaun pengantin dan senyuman formal, tersembunyi dua jiwa yang sejak lama kehilangan arti cinta.

Andre Suthajningrat—anak dari istri kedua seorang bangsawan modern, selalu dipinggirkan, dibentuk oleh hinaan dan pembuktian yang sunyi. Di balik kesuksesannya sebagai pengusaha real estate, tersimpan luka dalam yang tak pernah sembuh.

Lily Halimansyah—cucu mantan presiden diktator yang namanya masih membayangi sejarah negeri. Dingin, cerdas, dan terlalu terbiasa hidup tanpa kasih sayang. Ia adalah perempuan yang terus dijadikan alat politik, bahkan oleh ayahnya sendiri.

Saat adik tiri Andre menolak perjodohan, Lily dijatuhkan ke pelukan Andre—pernikahan tanpa cinta, tanpa pilihan.

Namun di balik kehampaan itu, keduanya menemukan cermin dari luka masing-masing. Intrik keluarga, kehancuran bisnis, dan bayang-bayang masa lalu menjerat mereka dari segala sisi. Tapi cinta… tumbuh di ruang-ruang yang retak.

Bisakah dua orang yang tak pernah dicintai, akhirnya belajar mencintai?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19

Langkah kaki Lily tertahan di ambang pintu kamar saat matanya menangkap koper besar terbuka di tengah ruangan. Udara siang itu terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin hanya dadanya yang tiba-tiba mengencang seperti diremas oleh tangan tak kasat mata.

Perlahan, ia masuk ke kamar. Koper itu bukan hanya berisi pakaian—ia berisi sebuah peringatan. Peringatan bahwa Andre, suaminya, mungkin sudah siap pergi. Sudah siap meninggalkan semuanya.

Ia menoleh ke arah Andre yang sedang melipat kemeja terakhir dan meletakkannya dengan rapi. Seolah itu hanya perjalanan bisnis. Seolah tak ada hati yang sedang dicabik-cabik di depannya.

“Kenapa bawa koper?” suara Lily akhirnya pecah, datar namun gemetar.

Andre tidak langsung menjawab. Ia menutup koper perlahan dan berdiri, menatap Lily hanya sekilas.

“Butuh baju. Beberapa hari ini tidur di kantor,” jawabnya singkat, nyaris seperti gumaman.

Lily memelototinya, mendekat. “Empat hari, Andre. Empat hari kamu hilang tanpa kabar.”

Andre menyandarkan koper ke dinding, lalu membuka laci untuk mengambil charger ponsel. “Aku kerja.”

Lily mengernyit. “Kerja? Atau menghindar?”

Andre menghentikan gerakannya, lalu memutar tubuh menghadap Lily. Matanya dingin, tapi dalamnya terlihat lelah.

“Emang mau ke mana?” desak Lily, nadanya menantang, tapi ada getar halus yang membuatnya terdengar lebih seperti permohonan.

Andre tertawa kecil. Bukan karena lucu, tapi karena pahit.

“Apakah itu urusanmu?”

Kalimat itu menghantam Lily seperti tamparan yang tak terlihat.

Ia terdiam. Mulutnya terbuka sejenak, lalu tertutup. Matanya mengerjap cepat, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang.

“Jadi aku ini apa buat kamu?” desisnya akhirnya.

Andre memalingkan wajah, mengambil koper, dan berjalan ke luar kamar. “Aku cuma pergi sebentar,” ucapnya tanpa menoleh.

“Pergi ke mana? Andre!” teriak Lily, mengejarnya ke tangga.

Tapi Andre tidak menjawab. Ia hanya membuka pintu, melangkah ke mobilnya, lalu pergi. Meninggalkan Lily berdiri sendiri di depan rumah, dengan napas terengah dan dada terasa kosong.

...****************...

Satu Jam Kemudian.Lily duduk di kursi belakang mobilnya. Mata menatap kosong ke luar jendela, lalu ke layar ponsel yang tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan dari Andre.

Ia menyuruh sopir melaju ke kantor Andre, berharap—setidaknya—masih bisa bertemu dengannya. Ia ingin minta penjelasan. Atau sekadar melihat bahwa Andre masih menganggap pernikahan ini ada artinya.

Namun…

“Maaf, Bu Lily,” ucap resepsionis, “Pak Andre tadi pagi sudah berangkat ke bandara. Katanya ada urusan mendadak di Bali.”

Lily tercekat. “Ke Bali?” ulangnya pelan.

Resepsionis mengangguk. “Iya, Bu. Flight-nya sekitar jam dua belas tadi.”

Lily melangkah mundur. Kepalanya berdenyut. Ia kembali ke mobil tanpa sepatah kata. Di dalam mobil, tangannya gemetar saat mencoba menghubungi Andre. Sekali, dua kali, tiga kali. Tidak ada respons.

Dia menghilang darinya. Lagi.

Dan kali ini… mungkin benar-benar pergi.

...****************...

Dalam Mobil

Tangis itu akhirnya jatuh, tanpa peringatan.

Lily menunduk di jok belakang, tangan memeluk tas kecilnya, bahunya bergetar. Sopir hanya menatapnya lewat kaca spion dengan cemas, tak tahu harus berbuat apa.

“Balik ke rumah…” ucap Lily lirih.

Ia bersandar di jendela mobil, membiarkan air mata mengalir tanpa kendali. Jakarta terasa terlalu besar, terlalu bising, terlalu penuh orang-orang yang selalu terlihat peduli—tapi hanya jika namamu cukup penting untuk disebut.

Flashback:

Wajah Lily kecil muncul dalam benaknya. Usia delapan tahun. Duduk sendiri di taman belakang rumah dinas presiden saat itu. Semua sibuk dengan pesta ulang tahun adik tirinya, putra dari istri baru ayahnya. Tak ada yang mencarinya. Tak ada yang menyadari dia belum makan seharian.

Saat akhirnya ada yang menghampiri, itu hanya untuk berfoto. Untuk dokumentasi. Agar “keluarga tampak lengkap.”

“Ayo senyum, Lily,” ujar tante jauh yang bahkan tak ingat ulang tahunnya kapan.

Orang-orang bersikap manis padanya karena ia cucu dari Sondarto. Mantan presiden. Diktator, kata sebagian. Pahlawan, kata sisanya.

Tapi bagi Lily, ia hanyalah seorang kakek yang tak pernah sekalipun memeluknya. Yang wajahnya hanya ia lihat dari lukisan dan catatan sejarah.

Sejak kecil, ia tidak pernah tahu mana cinta yang sungguhan dan mana sekadar pencitraan. Mana teman, mana penjilat. Mana keluarga, mana aktor drama keluarga.

Semua penuh lapisan topeng. Semua menyapa dengan senyum manis, tapi menusuk ketika ia menolak wawancara atau tak menghadiri acara politik keluarga.

Saat ibunya meninggal—ibunya yang dulu bintang film terkenal—hanya sedikit yang benar-benar menangis. Sisanya sibuk bertanya apakah Lily akan meneruskan nama besar sang ibu atau mengikuti jejak kakeknya.

Tak ada yang benar-benar peduli padanya. Bahkan ayahnya pun lebih sibuk dengan istri-istri barunya dan bisnis politiknya yang berlumur tipu daya.

Lily tumbuh dewasa dengan satu prinsip: jangan jatuh hati, karena semua orang hanya akan mencintai nama belakangmu.

Sampai Andre datang. Dan tak memedulikan semua itu.

Andre, yang awalnya asing. Yang juga anak dari keluarga kacau. Yang seharusnya bukan siapa-siapa dalam struktur kekuasaan Suthajningrat.

Tapi justru dia yang pertama kali melihat Lily… sebagai manusia.

Dan sekarang, dia juga pergi.

...****************...

Lily melangkah pelan ke dalam rumahnya. Rumah bata merah itu biasanya hangat. Tapi malam ini, rasanya dingin seperti makam.

Ia membuka botol wine merah dari lemari. Tanpa gelas. Tanpa teman bicara.

Seteguk demi seteguk, tubuhnya mulai mengendur. Tapi hatinya tetap kaku.

Ia menyalakan ponsel lagi, membuka pesan terakhirnya untuk Andre. Teks itu masih menggantung di layar:

“Aku takut kehilangan kamu.”

Ia menyesal. Menyesal karena membiarkan egonya menguasai. Karena diam saat Andre disudutkan di gala. Karena terlalu sering melindungi harga dirinya, dan lupa bahwa di balik semua itu, ada seseorang yang juga ingin dimiliki… dicintai.

...----------------...

1
Yulia Dhanty
menarik
Wirda Wati
👏👏👏
Wirda Wati
ceritamu sebenarnya kereeen thor.penuh bahasa majas...
Wirda Wati
👍👍👍💪
Wirda Wati
Rumit
Wirda Wati
😇😇😇😇😇
Wirda Wati
😇😇😇😇👏
Wirda Wati
Jangan bego Lo Andre...
Wirda Wati
tentu Andre bertanggung jawab.karena ia pria yg baik.
Ari Arie
kata2nya puitis banget./CoolGuy/
Wirda Wati
kapan dekatnya
Wirda Wati
makin lama makin asyik bacanya
Wirda Wati
kereeen
Wirda Wati
semoga mrk bahagia.
Wirda Wati
👍👍👍
Wirda Wati
mampir
Ana Rusliana
Luar biasa
Tictac stick
baru nemu thor bagus ceritanya g menye2
R Melda
menyimak,aku suka
Suci Dava
nyimak dulu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!