Aurelia Nayla, tumbuh sebagai gadis lugu yang patuh pada satu-satunya keluarga yang ia miliki: Dario Estrallo. Pria yang dingin dan penuh perhitungan itu memintanya melakukan misi berbahaya—mendekati seorang dosen muda di universitas elit demi mencari sebuah harta rahasia.
Leonardo Venturi. Dosen baru, jenius, dingin, dan tak tersentuh. Tak ada yang tahu siapa dia sebenarnya, kecuali Dario—musuh lama keluarganya.
Yang tak diketahui Dario, kode untuk membuka brankas warisan sang raja mafia justru tersembunyi di tubuh Leo sendiri, dalam bentuk yang bahkan Leo belum ketahui.
Sementara Aurelia menjalankan misinya, Leo juga bergerak diam-diam. Ia tengah menyelidiki kematian misterius ayahnya, Alessandro Venturi, sang raja mafia besar. Dan satu-satunya jejak yang ia temukan, perlahan menuntunnya ke gadis itu.
Dalam labirin rahasia, warisan berdarah, dan kebohongan, keduanya terseret dalam permainan berbahaya.
Cinta mungkin tumbuh di antara mereka,
tapi tidak semua cinta bisa menyelamatka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diantara hasrat dan misi
Setelah perjuangan panjang melawan sensasi panas yang menjalar di seluruh tubuh mereka, Leo akhirnya berhasil membantu Lia merasa lebih tenang. Obat itu memang mematikan… merusak kesadaran dan kendali. Tapi Leo bukan pria biasa. Terbukti, ia tahu cara mengatasinya—untuk dirinya dan untuk Lia.
Gadis itu kini terlelap di atas ranjang, napasnya mulai teratur. Helaan nafasnya yang lembut membuat dada kecilnya naik-turun perlahan, menunjukkan bahwa efek obat itu mulai menghilang. Wajahnya masih tampak lelah, dengan alis yang sedikit berkerut seolah tubuhnya masih berjuang melawan sisa-sisa racun.
Leo mendekat perlahan, menatapnya dengan diam. Ia membungkuk, lalu dengan hati-hati membetulkan posisi tidur Lia yang terlihat menggeliat kecil dalam tidurnya. Tangannya menyentuh pundak gadis itu, dan untuk sesaat, ia terpaku. Ada sesuatu dalam sentuhan itu yang membuat dadanya terasa hangat—atau justru lebih panas.
Namun tanpa sengaja, kemeja yang Lia kenakan tersibak sedikit, memperlihatkan sebagian kulit pahanya yang putih dan mulus.
Leo menegang. Tatapannya jatuh ke sana, dan naluri lelakinya berdesir. Obat itu belum sepenuhnya hilang dari sistem tubuhnya, dan pemandangan itu... memancing sisi liar yang selama ini berusaha ia redam.
Ia memejamkan mata keras-keras. Giginya tergertak. “Tidak… ini bukan saatnya,” gumamnya pelan namun tegas, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Dengan cepat, ia bangkit dari sisi ranjang dan melangkah masuk ke kamar mandi. Langkahnya berat, napasnya tertahan, dan tangan kirinya mengepal. Suara air shower menyambutnya, dan tanpa berpikir panjang, ia memutar keran ke arah air dingin.
Air mengguyur tubuhnya deras, menghantam kulit panasnya seperti cambukan kesadaran. Leo berdiri di bawah siraman itu, membiarkan dingin menenangkan otaknya. Tetesan air menelusuri kontur tubuhnya, membasahi rambutnya yang sudah acak-acakan sejak tadi.
Beberapa waktu kemudian, ketika suhu tubuhnya sudah terasa normal, Leo keluar dari kamar mandi. Ia hanya mengenakan handuk putih yang dililitkan di pinggang. Setetes air masih jatuh dari ujung rambutnya, menelusuri garis rahang tegasnya dan menghilang di dadanya yang bidang.
Ceklek.
Suara pintu yang terbuka membuat Lia membuka matanya perlahan. Pandangannya masih buram, kelopak matanya berat. Tapi ketika ia menoleh sedikit dan melihat sosok Leo berdiri di ambang kamar mandi, matanya langsung membulat.
Leo... dengan tubuh basah dan hanya dibalut handuk. Dan… tato itu. Samar terlihat di pinggang bawah pria itu, sebagian tertutup handuk, tapi cukup jelas untuk dikenali.
Leo, yang menyadari tatapan Lia, langsung menatapnya balik. Matanya tajam, tapi juga tenang.
“Tidur lagi, Lia,” ucapnya dengan suara rendah dan pelan, nada suaranya dalam dan sedikit serak, seolah tahu betul arah pikiran gadis itu.
Lia buru-buru memejamkan mata lagi. Tapi detak jantungnya memburu. Tubuhnya masih lemas, namun pikirannya mulai sadar sepenuhnya.
---
Pagi harinya.
Cahaya matahari sudah menyinari ruangan itu, menembus celah gorden yang sedikit terbuka. Udara masih dingin, tapi hangat cahaya pagi mulai mengusir hawa malam. Lia membuka matanya perlahan, menyesuaikan diri dengan terang. Tubuhnya masih terasa pegal—efek dari obat semalam, dan mungkin juga akibat ketegangan yang tak pernah berhenti.
Tapi rasa tidak nyaman itu langsung ia abaikan saat melihat seseorang tengah tertidur di sofa.
Leo.
Kepalanya menyamping, satu tangan menggantung dari sisi sofa, napasnya teratur. Wajahnya terlihat damai, kontras dengan aura dingin yang biasa terpancar dari pria itu. Lia menatapnya cukup lama, memperhatikan lekuk rahangnya, garis alisnya yang kokoh, dan... bekas luka samar di bahu kirinya.
Lia bangkit perlahan, menahan nafas agar tidak menimbulkan suara. Ia menarik tali tas miliknya yang berada di nakas pinggir tempat tidur. Lalu mengeluarkan benda pipih berwarna hitam—ponsel.
Layar menyala begitu jari telunjuknya menyentuh sisi kanan. Notifikasi langsung muncul.
Papa
"Ingat tujuan awalmu. Kali ini saya tidak mau dengar kata gagal. LAGI."
Napas Lia tercekat. Kata-kata itu seperti cambuk yang menghantam dadanya. Otaknya langsung bekerja. Ini kesempatan. Mungkin satu-satunya.
Ia harus segera keluar dari tugas gila ini. Ia harus membuktikan bahwa Leo adalah target yang dimaksud. Dan satu-satunya petunjuk… adalah tato itu.
Dengan hati-hati, sambil menggenggam ponselnya erat-erat, Lia melangkah mendekati Leo. Jantungnya berdetak kencang. Tangannya gemetar. Ia berjongkok di samping sofa. Napasnya tercekat saat melihat betapa dekatnya ia sekarang.
Perlahan, tangannya meraih pinggiran celana Leo. Tapi celana itu terlalu rapat. Lia menggigit bibir. Pilihan terakhir: membuka resleting.
Tangannya gemetar saat menariknya. Butuh waktu beberapa detik untuk benar-benar melihatnya.
Tato itu… simbol aneh, kombinasi huruf dan angka. Seperti kode. Seperti identitas.
Cekrek!
Lia berhasil memotret. Tapi...
Beep!
Ponselnya berbunyi lirih. Lalu layar padam. Lowbat.
Lia terdiam. Kaku. Mulutnya sedikit terbuka. Ponsel di tangannya mati total.
Suara gerakan kecil terdengar. Leo mengerjap, matanya terbuka. Wajahnya mengantuk, tapi begitu menoleh dan melihat Lia berjongkok di sampingnya—hanya beberapa sentimeter darinya—ia langsung waspada.
Mata mereka bertemu.
Diam.
Udara terasa membeku.
“Lia?” suara Leo rendah dan datar, tapi ada nada tajam di dalamnya. Matanya mempersempit, memperhatikan ekspresi wajah Lia.
Lia menelan ludah. Tangannya mulai berkeringat. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar.
Leo duduk. Satu tangan langsung menangkap pergelangan tangannya. Tidak kasar, tapi cukup kuat.
“Kamu ngapain?” tanyanya, suara itu lebih menusuk ketimbang marah. Ia tak perlu membentak—hanya tatapan Leo sudah cukup untuk membuat tubuh Lia membeku.
Lia benar-benar buntu. Otaknya kosong. Tapi ia harus mengalihkan.
Tanpa pikir panjang, Lia condongkan tubuhnya dan—mencium pipi Leo.
Seketika, dunia terasa diam. Leo menegang. Tapi detik berikutnya, ia membalas. Tangannya melepas pergelangan Lia, lalu menelusup ke pinggang gadis itu, menariknya mendekat.
Ciuman itu berkembang. Awalnya gugup dan terburu-buru, lalu berubah menjadi dalam dan lembut. Bibir mereka bersatu, menciptakan irama yang hanya mereka pahami. Sentuhan Leo bukan sekadar hasrat, ada keterikatan... semacam ketergantungan yang rumit.
Lia sempat ingin menjauh. Tapi tangannya justru bergerak naik ke belakang leher Leo, dan jari-jarinya menekan rambut basah itu dengan gemetar.
Leo menarik wajahnya sedikit, mata mereka masih bertaut.
“Kamu… masih terpengaruh obat itu?” bisiknya.
Lia menggeleng pelan. “Enggak…” jawabnya dengan suara hampir tak terdengar, tapi mantap.
Leo menatapnya sejenak, lalu mengangkat tubuh gadis itu dalam gendongannya. Lia memejamkan mata, menyerah pada kehangatan Leo. Ia tahu, logikanya salah. Tapi rasanya benar.
Kasur menjadi saksi bisu dari kerumitan dua jiwa. Sentuhan mereka adalah pernyataan tak bersuara, bahwa mereka berdua sedang tenggelam dalam kekacauan yang tak bisa mereka hindari.
Tidak ada misi. Tidak ada balas dendam.
Hanya malam itu…
Hanya mereka berdua…
Dan segala yang tak sempat mereka pahami tentang perasaan masing-masing.
.........
Bagaimana para saksi, next jangan adegannya?
Jangan lupa tinggalkan jejak dulu, ya.
Like, koment, vote, gift. Terimakasih