Boleh tidak aku kembali ke masa 5 tahun yang lalu? saat aku masih gadis, tak akan aku membantah nasehat ibu tentang Mas Akbar, suamiku. Dengan ikhlas aku akan menurut beliau tanpa protes sedikit pun, meski harus melepas lelaki yang aku cintai. Karena sekarang aku tahu maksud Ibu tak memberi restu dulu, karena Mas Akbar penganut suami patriaki.
Urusan rumah, anak, bahkan menjadi tulang punggung keluarga pun aku lakukan sendiri tanpa bantuan dari Mas Akbar. Aku sudah tidak menuntut Mas Akbar untuk berubah, rasanya sudah mati rasa, dan berharap tiap hari diberikan kesabaran tanpa batas, agar bisikan setan tak kuturuti untuk meracuninya. Astaghfirullah.
Selain tabiat Mas Akbar, yang membuatku ingin mengakhiri pernikahan ini adalah sikap mertua padaku. Beliau selalu menganggap aku sebagai istri pembawa sial, yang menyebabkan Mas Akbar terkena PHK massal. Beliau selalu mengatakan andai aku tak menikah dengan Mas Akbar, mungkin putra kesayangannya itu akan naik jabatan. Sialan memang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DRAMA
"Kamu mau dijodohkan, Mir?" tanya Mbak Pinkan padaku setelah aku bercerita siapa yang memberi nasi box bebek bumbu hitam itu. Aku hanya cerita tentang perjodohan tidak dengan kebiasaan Fabian. Aku tak mau mengumbar aibnya. Toh setiap orang punya keputusan dalam hidupnya untuk mengambil jalan hidup yang lurus atau berkelok.
"Aku tolak, Mbak. Cuma ibu sama ibunya dia yang ngotot banget buat jodohin kita."
"Terus dia juga mau gak?"
"Dia mau, aku yang enggak."
"Lah kenapa kamu gak mau? jelek?" aku menggeleng.
"Botak?" aku mengendus saja.
"Buncit?" aku memejamkan mata, kesal saja, tebakan rekan kerjaku kok sejelek itu sih. Apa mungkin mereka berpikir aku menolak karena fisiknya.
"Ya terus kenapa kamu tolak?"
"Ya karena menurutku dia aneh. Di pertemuan pertama langsung suka, dan tidak mempermasalahkan status jandaku."
"Ya bisa saja dia sudah pasrah tak segera dapat pasangan, makanya setelah bertemu kamu langsung klik," ujar Mbak Pinkan, namun Melda menggeleng. Bagi dia tidak ada ceritanya jatuh cinta pada pandangan pertama, mungkin kagum iya, tapi perlu dikhawatirkan kalau sampai dilanjutkan tidak menutup kemungkinan dia bisa jatuh cinta pada perempuan lain suatu saat nanti, pada pertemuan pertama juga. Kan bahaya. Bisa-bisa setiap tikungan.
Aku sendiri tak percaya akan konsep jatuh cinta pada pandangan pertama karena aneh saja, belum kenal kok langsung suka. Tapi apa yang terjadi di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin sih. Hanya saja untuk saat ini aku menolak perjodohan itu.
Namun siapa sangka, setelah nekad mengirim nasi box. Saat pulang kantor, Aku dibuat melotot tak terkira, Akbar yang selama ini sudah aku anggap tidak akan mengintaiku tiba-tiba datang dan berdiri di area pintu keluar kantor. Sumpah, badanku gemetar seketika, takut sekali kalau dia nekad dan membuatku celaka.
Yah, aku sudah memutuskan untuk berangkat sendiri, karena aku pikir Akbar sudah tidak mengintaiku, namun ternyata dugaanku salah. Sore ini dia muncul dengan wajah yang tertuju pada pintu keluar. Jelas dia sudah melihatku dan aku sudah melihat dia. Tak mungkin bisa menghindar juga. Aku berusaha tenang dan dia berjalan ke arahku.
Sumpah aku tidak punya pikiran apa yang akan dilakukannya di sini, Melda dan Mbak Pinkan langsung melipir karena ia tahu aku bakal dihampiri oleh Akbar. Tak sampai di situ, Fabian juga datang malah melambikan tangan ke arahku. Akbar berjalan ke arahku, Fabian malah memanggil namaku, Namira, dengan begitu lantang sambil tersenyum.
Akbar berhenti seketika dan menoleh ke sumber suara. Dia diam dengan mengepalkan tangan erat, tanda tak terima mantannya bisa dekat dengan lelaki lain kurang dari satu tahun.
Aku harus bagaimana ini? Akbar terdiam saja, ternyata Fabian lebih to the point ke aku, dan bodohnya aku langsung menjawab panggilannya tanpa menghiraukan Akbar lagi. Aku tak mau berkomunikasi lagi dengan Akbar, pikirku. Jadi untuk kali ini aku pilih Fabian saja.
"Kak, tolong aku!" saat sudah di sampingnya dan kita berjalan bersama menuju mobil Fabian, terpaksa aku meminta bantuan dari dia.
"Kenapa?"
"Jangan menoleh, ada laki-laki yang melihat kita sekarang, itu adalah mantan suamiku."
Dasar si Fabian, begitu aku selesai bicara dia langsung menoleh. Asyem, batinku. Jelas Akbar masih melihat kita, dan makin parah lagi Fabian dengan seenaknya langsung merangkul pundakku begitu saja. Sial.
"Kenapa harus pegang sih," omelku ketika kita sudah masuk mobilnya. Duh, sumpah aku tidak suka dengan kondisi ini. Ingin menjadi single saja gitu gak bisa kah? Mana Akbar juga ngapain ke sini? Kemarin-kemarin sudah tidak pernah nongol juga.
"Kalau mantan masih ingin bertemu tandanya dia masih ingin rujuk. Yakin kamu mau rujuk sama dia, dan menolak pesonaku?" aku memutar bola mata malas, terlihat sekali kalau dia seorang playboy handal.
"Kamu playboy banget ya," ujarku dengan nada tak suka. Dia hanya tertawa. Namun tawanya hilang karena kaca jendela mobil diketuk oleh seseorang dan itu adalah Akbar. Aku meminta Fabian untuk tancap gas, eh dia malah menurunkan kaca jendela di sisiku.
"Iya, Mas?" tanya Fabian, sedangkan aku menatap wajah Fabian saja. Aku tak mau melihat Akbar lagi. Trauma kalau dipukul lagi.
"Bisa saya bicara dengan Namira?" ucapnya lembut, tapi yakin sekali dia sedang menahan cemburu luar biasa.
"Baik, di cafe depan saja!" ujar Fabian menyetujui, dan langsung aku geplak lengannya. Sebelum aku ngomel, kaca langsung dinaikkan.
"Kenapa kamu malah meladeni dia sih. Bikin ribet saja."
Dia tertawa sembari menyalakan mesin mobil, entah apa yang sedang ia rencanakan. "Masalah datang itu untuk dihadapi, bukan dihindari. Mantan kamu datang berarti mau memunculkan masalah, sebelum bikin riweh harus distop lebih dulu."
"Ck, aku malas ngomomg sama dia."
"Ya udah dengarkan saja. Biar aku yang ngomong!"
"Gak usah ngomong aneh-aneh, aku juga gak kenal sama kamu!"
"Kita lihat saja nanti!" ujar Fabian dengan senyuman tak jelas, dan aku semakin deg-deg an kalau terjadi pertengkaran. Aku paham bagaimana Akbar kalau sudah marah, apalagi melihatku bersama pria lain.
Aku dan Fabian duduk berdampingan, di depanku sudah ada Akbar yang melihatku intens. Mungkin dia tak terima kalau Fabian ikut semeja dengan kita. "Saya mau bicara sama Namira berdua," ucapnya tegas menatap Fabian.
"Masalahnya Namira cewek saya, Mas. Saya gak mungkin dong membiarkan cewek saya berdua bersama mantannya," jawab Fabian santai. Aku memejamkan mata. Baru juga ada suara sudah penuh drama begini. Menyebalkan sekali.
"Kamu kok bisa kenal dia dan langsung pacaran sama cowok lain. Cepat banget?"
"Gak usah sesewot itu, Mas. Namanya move on cepat atau lambat kan tergantung level cowok penggantinya," aku langsung menoleh pada Fabian. Apa maksudnya ini?
"Maksudnya?" tanya Akbar tak terima..
"Ya maaf ya, Mas. Saya kan cowok lembut, ganteng, punya uang. Ya saya merasa lebih dari Mas, mohon maaf nih. Saya juga gak tega kalau menghajar Namira, dan saya juga sangat sanggup menghidupinya."
"Brengsek! Tahu apa kamu tentang aku," waduh Akbar mulai ngamuk, beberapa orang sudah melihat ke arah meja kita. Aku juga heran, Fabian kok tahu latar belakangku. Apa mungkin dari mamanya? Terus ibu cerita ke mamanya?
"Widih, santai dong!"
"Kamu juga jadi perempuan kok suka buka aib mantan suami kamu. Kamu sendiri kalau melayani suami kamu juga gak pecus."
Aku melongo, dan rasanya ingin kutampar saja wajah songong Akbar. "Sudah cukup, biar aku saja yang ngomong." Aku menahan lengan Fabian untuk tidak menimpali omongan Akbar lagi, dan yakin Akbar semakin marah saat aku menyentuh lengan Fabian. Biar saja. Sepertinya akting dengan Fabian adalah solusi terbaik untuk membungkam mulut si mokondo satu ini.
"Kamu," ucapku sembari menatap sinis pada Akbar.
berasa gantung terus tau gak kak. ampun dah candu sama karyanya akak.
tapi makin kesini kok makin kesana..
selalu serrruu sih..
Always bintang 5 yak.