"Nikah Dadakan"
Itulah yang tengah di alami oleh seorang gadis yang kerap di sapa Murni itu. Hanya karena terjebak dalam sebuah kesalahpahaman yang tak bisa dibantah, membuat Murni terpaksa menikah dengan seorang pria asing, tanpa tahu identitas bahkan nama pria yang berakhir menjadi suaminya itu.
Apakah ini takdir yang terselip berkah? Atau justru awal dari serangkaian luka?
Bagaimana kehidupan pernikahan yang tanpa diminta itu? Mampukan pasangan tersebut mempertahankan pernikahan mereka atau justru malah mengakhiri ikatan hubungan tersebut?
Cerita ini lahir dari rasa penasaran sang penulis tentang pernikahan yang hadir bukan dari cinta, tapi karena keadaan. Happy reading dan semoga para readers suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imelda Savitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tertangkap II
Langkah kaki pelan terdengar dari dalam unit apartemen. Tak lama kemudian, sosok Aria keluar dari dalam apartement nya, sembari menyunggingkan senyuman puas yang terpahat di wajahnya.
Ia menatap tubuh Murni yang tergeletak tak sadarkan diri dalam pelukan seorang pria bertubuh jangkung berpakaian hitam kasual. Pria itu menoleh ke arahnya, seolah menunggu perintah lanjutan darinya. Lampu lorong yang temaram, membuat bayangannya tampak lebih panjang dan mengintimidasi.
Aria melipat tangan di depan dada. Bibirnya membentuk sebuah senyum kecil yang jauh dari senyum ramah yang selalu ia tunjukkan dihadapan Murni.
“Kerja bagus,” katanya dengan nada lembut. “Bawa dia. Tutupi dengan sesuatu. Jangan sampai keberadaannya menarik perhatian orang-orang.” Perintahnya dengan suara tegas.
“Siap nona,” sahut pria itu cepat.
Tanpa banyak bicara, pria tersebut mengeluarkan sebuah kursi roda lipat dari lorong unit. Kursi itu tampak seperti milik pasien atau lansia yang memang dipersiapkan pihak apartement tersebut.
Dengan cekatan dan sangat terlatih, ia mengangkat kemudian membaringkan tubuh Murni di kursi roda itu, lalu menutupinya dengan selimut besar dan selendang panjang yang seolah membungkus tubuh Murni seperti seorang pasien yang sedang tidur. Tidak lupa ia memasangkan masker besar dan syal tebal di bagian atas hidung Murni untuk menyamarkan wajahnya.
Aria mendekat, memperbaiki posisi topi rajut di kepala Murni agar lebih menutupi wajahnya. Sekilas, Murni tampak seperti seorang lansia yang sedang sakit, dan dengan itu, maka tak ada yang akan mencurigai rencana mereka.
Setelah memastikan tak ada orang yang mengintip dari unit lain, mereka berdua segera bergegas masuk ke dalam lift. Dan turun ke bawah menuju parkiran. Saking mulusnya rencana yang telah mereka persiapkan, tidak ada satu orang pun yang bertanya maupun curiga dengan gerak-gerik kedua orang itu.
Pada saat yang sama, di ruang kerja yang sunyi, Kaan duduk di meja kerjanya. Tubuhnya sedikit condong ke depan, sementara tangannya menggenggam erat selembar kertas yang tepinya telah kusut karena genggaman itu.
Tatapannya menusuk menelusuri setiap baris tulisan di dokumen itu. Dahinya yang mengernyit dalam menegaskan kekalutan yang tak mampu ia sembunyikan.
Nama 'Aria' yang selama ini ia kenal ternyata bukanlah nama asli wanita muda yang belakangan tampak akrab dengan istrinya. Perempuan itu sebenarnya bernama Merina Anastasia, seorang mantan selebgram yang pernah menjadi sorotan hangat dua tahun lalu.
Namun, popularitasnya runtuh seketika setelah ia terjerat kasus penyalahgunaan narkoba dan skandal besar, hingga akhirnya menghilang dari dunia maya tanpa jejak.
Namun yang paling mengganggu pikirannya bukanlah hal itu.
“Cynergeon Corp…?” Desis Kaan, nyaris seperti kutukan.
Tatapannya mengeras saat membaca satu informasi, di mana dituliskan jika wanita bernama Merina itu pernah menjalin hubungan dengan CEO Cynergeon Corp.
Cynergeon Corp. Perusahaan rival berat Nexora Tech. Perusahaan yang tak hanya bersaing di pasar, tetapi juga memiliki sejarah kelam penuh sabotase teknologi, pencurian data, dan percobaan penggulingan investor.
Kaan menarik napas panjang, mencoba meredam riuh pikirannya. Tapi sebelum ia sempat mencerna semuanya, suara pria yang berdiri di dekat meja kerjanya kembali terdengar.
“Pak, mereka memang sudah tidak memiliki hubungan resmi. Tapi kalau saya boleh berpendapat, bisa saja mereka diam-diam bekerja sama… untuk sesuatu yang tidak kita duga.”
Kaan tak langsung merespons. Tatapannya kosong, pikirannya bergerak liar, menghubungkan titik-titik samar antara Merina, Cynergeon dan Murni.
"Kenapa wanita itu menyembunyikan identitas aslinya? Apa tujuannya mendekati Murni?" Kaan mencoba menelisik maksud kemunculan Aria.
Deg!
"Murni."
Kaan sontak duduk tegak. Raut wajahnya berubah menjadi cemas.
Ia segera meraih ponselnya, menekan nama Murni di daftar kontaknya.
Tut… tut…
"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan."
Dahinya mengernyit. Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol panggilan sekali lagi.
Tut... tut...
Namun lagi-lagi berakhir dengan jawaban yang sama.
Tidak biasanya Murni seperti ini. Ia selalu menjawab telepon darinya, bahkan saat sedang sibuk sekalipun.
Tanpa pikir panjang, Kaan bangkit dari kursi. Ia meraih jaket dan kunci mobil, lalu melangkah cepat keluar ruangan. Dentum sepatu kulitnya bergema ringan, selaras dengan detak jantung yang mulai tak teratur.
Di dadanya, firasat buruk mulai tumbuh seperti gulma liar yang menjalar cepat, mencengkeram, dan menggerogoti sisa ketenangan yang ada.
Dan di luar sana, sesuatu yang tak ia duga... mungkin saja sedang terjadi.
.
.
.
Aria atau lebih dikenal dengan nama Merina itu dengan cepat melangkah di parkiran menuju mobilnya berada. Di belakangnya, pria bertubuh jangkung mendorong kursi roda dengan tubuh Murni yang terkulai lemas di atasnya.
Parkiran bawah tanah apartemen itu lengang. Hanya lampu-lampu neon berpendar lemah, menciptakan bayangan panjang dan suasana yang mengintimidasi. Suara langkah sepatu mereka menggema, menyatu dengan aroma lembab semen dan oli mesin.
Tidak ada satu pun orang yang memperhatikan. Kesunyian parkiran itu, menjadikan tameng sempurna untuk pelarian mereka.
Maria merogoh saku celananya dengan gerakan cepat, lalu melemparkan kunci mobilnya ke arah pria itu.
“Kau yang menyetir. Cepat.”
Tanpa berkata apa-apa, pria itu menangkap kunci itu dan segera berlari kecil ke arah mobil hitam yang terparkir tak jauh dari lokasi mereka. Sementara itu, Maria menggenggam gagang kursi roda dan menyeretnya menuju sisi mobil, dengan pandangan matanya yang awas menelisik tiap sudut gelap di sekitarnya.
Namun, langkah pria itu mendadak terhenti. Alisnya berkerut dalam ketika sadar jika pintu mobil itu... tidak terkunci.
Ia melirik sekeliling dengan curiga, lalu perlahan membuka pintu pengemudi. Tapi belum sempat ia membukanya sepenuhnya-
Bruk!
Sebuah tendangan menghantam dadanya dengan keras. Membuat tubuhnya terhempas ke samping, dan menghantam sisi mobil yang terparkir di sebelah.
Seketika, sosok wanita muda berambut pirang, melangkah keluar dengan santai dari dalam mobil, seolah ia sudah tahu rencana mereka dan menunggu kehadiran mereka sejak awal.
Merina membelalakkan mata.
“Apa-apaan ini?!” desisnya, nyaris tak percaya.
Wanita berambut pirang itu tersenyum ramah, tapi ada sesuatu yang mengganggu di balik ketenangannya.
“Good afternoon,” sapanya ringan, seolah ini hanya pertemuan santai di tengah hari.
Refleks, Maria menarik kursi roda Murni menjauh.
“S-Siapa kau?!”
“Panggil aku Elda,” jawab wanita itu dengan nada terlalu tenang, untuk situasi yang seharusnya mencekam.
Maria menajamkan tatapannya. “Apa maumu? Bagaimana kau bisa masuk ke dalam mobilku?!”
Sementara itu, pria jangkung di belakang Elda sudah bersiap dalam posisi bertahan. Matanya memantau gerak-gerik wanita itu, menunggu aba-aba untuk menyerang.
Parkiran itu masih sepi. Sangat sepi. Seolah dunia di luar telah dibisukan.
Elda tidak menjawab pertanyaan Maria, melainkan menurunkan pandangannya ke arah kursi roda di mana Murni terbungkus oleh kain di sana. Senyumnya tetap ramah, terlalu ramah untuk situasi seperti ini.
“Itu… ibumu?” tanyanya datar.
“Ya! Dan itu bukan urusanmu! Pergilah sebelum aku panggil keamanan!” bentak Maria, lalu mendorong tubuh Elda menjauh dan menarik kursi roda mendekati mobil.
Pria jangkung itu ikut turun tangan. Tanpa memperdulikan Elda, ia membungkuk untuk mengangkat tubuh Murni ke dalam mobil.
Namun tiba-tiba—
Tap.
Sepasang tangan dingin menyentuh bahunya.
Ia sontak menoleh dan menepis kasar sentuhan itu. “Apa maumu, hah?!”
Merina pun melangkah mundur. “Jangan sentuh aku!”
Tatapan Elda berubah. Senyum itu lenyap, digantikan dengan ekspresi datar, tapi menyiratkan bahaya yang nyata.
“Padahal kalian bisa memilih untuk jujur,” bisiknya lirih. “Tapi kalian lebih memilih berbohong. Dan aku... membenci kebohongan.”
Dengan gerakan halus, Elda menekan pundak mereka berdua. Sentuhan itu seharusnya ringan, namun justru terasa menghentak, seolah kekuatan tubuh kurusnya menyimpan sesuatu yang tidak wajar.
ga cocok msk ke circle kaan. 😅😅😅
aq plg ga suka sm tokoh pajangan yg bermodal baik hati & cantik aja tp ga pny kontribusi apa2 di alur cerita. 🤣🤣🤣