Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.
Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat ketika mendekati acara pernikahan akan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.
Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.
Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.
Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 34 - Obat Mencurigakan
“Ini benar-benar aneh. Kenapa nama itu begitu asing dalam ingatanku? Yang artinya, rupamu—yang kulihat sejak awal, ternyata adalah Nerissa. Lantas, bagaimana wajah Soraya yang seharusnya kuingat?” Darius bertanya kemudian.
Aku menunduk, merogoh ponsel dalam saku baju, lantas menggulir beberapa foto yang langsung ditunjukkan padanya. “Kamu sudah ingat sekarang?”
Darius mengambil alih benda pipih itu dari tanganku. Menatapnya dengan mata memicing, alisnya tampak berkedut-kedut, bertaut seolah-olah sedang memindai ingatan yang berada dalam kepala.
“Dia Soraya, tunangan kamu, Mas. Seharusnya dia yang menikah denganmu, tapi karena dia telah meninggal dunia karena kecelakaan itu, akhirnya sandiwara pernikahan ini harus terjadi tanpa bisa aku tolak,” ungkapku demikian.
Wajahnya yang mengeras itu disapu oleh angin yang berembus lembut, Darius belum berkomentar apa-apa. Aku memeluk diri, mengusap-usap tangan, menunggu jawaban di tengah ketegangan yang merangkak.
“Aku sama sekali tak mengingat wajah ini, Nerissa,” kata Darius yang membuatku kembali menoleh padanya.
Kami saling bertatapan sesaat. Tatapan Darius tertumbuk padaku. Di matanya, bukan hanya amarah atau kecewa. Ada luka, ada bingung, ada ... kehilangan.
Tapi di atas semuanya, ada kengerian yang mengendap: bahwa memorinya, yang selama ini dia pegang erat, ternyata penuh ilusi. Ini mungkin pahit, tapi lebih pahit lagi jika aku terus membawanya semakin jauh pada sandiwara ini.
Toh, semuanya telah hancur lebur sekarang.
“Selama ini ... aku bersikap egois, kadang keras kepala bahkan kasar padamu. Ternyata...” Tatapannya itu menyuarakan penyesalan terdalam.
Dan saat dia berkata begitu, aku bisa lihat tubuhnya gemetar. Ia menunduk, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Lalu diam.
Aku membentang senyum kecut. “Mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa menyalahkanmu dalam kondisi seperti ini. Aku dituntut untuk menerima itu semua, tapi sekarang sudah tidak lagi.”
Aku tak bergerak. Karena untuk pertama kalinya, kami sama-sama bingung, sama-sama tersesat dalam drama yang bukan kami tulis sendiri.
“Agh!”desahannya terdengar berat dan menyesakkan.
Kepalanya tertunduk, tangan kanannya mencengkeram sisi pelipis sementara tubuhnya sedikit membungkuk. Aku terkejut saat melihatnya limbung.
“Mas?!” Tanganku menggapai udara, tak berhasil menahan. Tapi untungnya Darius masih bisa men-stabilkan keseimbangan tubuhnya lagi, tangannya mencengkram pembatas balkon.
Lalu dia terduduk tiba-tiba di lantai balkon, punggungnya bersandar pada dinding. Nafasnya tersengal, matanya terpejam rapat, rahangnya mengeras menahan rasa sakit. Aku langsung berjongkok di sampingnya.
“Jangan paksa dirimu, Mas. Jangan paksa ingatannya sekarang,” ucapku dengan panik.
Tanganku mencoba menyentuh lengan Darius, mencari cara untuk mengalirkan sedikit ketenangan. Tapi tubuhnya terasa kaku dan dingin.
“Nerissa,” panggilnya dengan tatapan putus asa, “Aku tahu ini salah. Tapi di sisi lain, aku merasa ini ada benarnya juga.”
“Maksud kamu, Mas?” Alisku bertaut meminta penjelasan.
Darius mengusap wajahnya frustasi. “Aku tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan apa yang aku rasakan dan lihat selama ini. Tapi aku ingin bilang, maaf untuk semuanya, Nerissa. Aku sekarang paham saat kamu bilang, bahwa kamu telah mengorbankan dan kehilangan segalanya. Sungguh, aku...”
“Mas, dengarkan aku!” Aku membelai pundaknya, memaksa diri untuk tetap tenang. “Kamu tidak harus mengerti semuanya sekarang. Kamu baru tahu kebenarannya. Kamu juga masih dalam pemulihan, aku yakin, perlahan-lahan kamu pasti akan mengingat dan mencoba menerima keadaan ini.”
Aku menarik napas panjang, lalu berdiri, berusaha menyokong tubuhnya yang mulai kehilangan daya.
“Ayo masuk, Mas. Kita jangan berlama-lama di sini,” ajakku sembari menggandeng tangannya, menuntun tubuhnya yang tampak kehilangan semangat itu.
“Jangan … repot-repot … aku yakin, kamu sudah lama menunggu momen ini. Jadi, pergilah, lakukan apapun yang kamu mau tanpa perlu terikat dengan pernikahan sandiwara ini lagi, Nerissa,” gumamnya lemah.
Aku menoleh. “Aku memang akan pergi. Tapi aku tak mungkin tega meninggalkan kamu dalam kondisi seperti ini, Mas.”
Kulihat Darius menyunggingkan senyum kecil. “Kamu tetap konsisten, ya. Sejak awal ternyata aku tidak salah menilai. Karena kalau itu memang Soraya, dia tidak mungkin memiliki sikap dan hati seperti kamu.”
Aku hanya balas dengan tersenyum singkat. Tak menanggapi. Menuntunnya masuk ke dalam, kami melewati ruang tamu yang sunyi, membawanya ke tempat tidur.
Dia duduk di tepi ranjang, masih menggenggam kepalanya. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Aku mengambil tisu dari meja samping, menyeka wajahnya pelan.
Entah, aku tidak bermaksud apa-apa. Itu hanya spontan. Maksudku, soal perhatian ataupun setiap kalimat menenangkan yang kuucapkan tadi. Ada perasaan bersalah yang muncul dalam kepala, seakan ikut sedih melihatnya harus mengalami ini.
“Bisa tolong ambilkan obatku, Nerissa?”
Aku mengangguk. “Obat yang belakangan ini sering kamu minum?”
“Iya, ada di laci meja.”
Kakiku berderap ke tempat yang dimaksud, menarik laci dan menemukan beberapa butir obat yang tampak mencurigakan—tanpa resep, hanya dibungkus asal oleh plastik bening.
“Ini obat yang diberikan Ibumu, Mas?”
Darius mengangguk. Menerima obat itu. Aku bergegas mengambil air minum, di sela langkah mulai bermunculan beberapa praduga dalam kepala. Teringat kecurigaanku pada obat itu.
“Kamu masih ingin mengonsumsi obat itu setelah semua ini terjadi, Mas?” tanyaku seraya menyerahkan segelas air minum padanya.
Perlahan Darius duduk, punggungnya bersandar ke belakang. “Ibu bilang ini bisa membantu pemulihan ingatanku. Justru setelah ini terjadi, aku butuh obat ini. Aku ingin sekali cepat-cepat mengingat semuanya.”
Bahuku merosot seiring embusan napas pelan. “Baiklah, kalau begitu lebih baik aku panggilkan dokter terapis kamu ke sini ya, Mas? Kamu sudah beberapa kali melewatkan jadwal, hari ini kan ada jadwal tapi karena tidak memungkinkan datang ke sana, maka lebih baik dia yang datang ke sini.”
Darius manggut-manggut setuju. “Iya, terima kasih banyak, Nerissa.”
Segera aku menghubungi dokter yang bersangkutan, Pak Alvin. Beliau bilang, akan datang malam nanti. Dan aku tak pernah menyangka, bahwa ketika waktu berlalu sampai beranjak malam tiba, mendadak Darius demam tinggi.
Dan saat itu, dia hanya memejamkan mata—seolah menyerahkan dirinya pada gelap sambil merasakan rasa sakit. Aku duduk di sisi ranjang, memandanginya diam-diam, dengan perasaan kacau. Sesekali aku pun mengompres dahinya dengan lap basah, Darius juga menggigil.
“Sebentar lagi dokter akan sampai, Mas,” kataku memberitahu, Darius tak memberi jawaban apapun.
Aku menatap Darius yang terbaring lemah di kasur, napasnya berat, kulitnya pucat, dan keringat dingin terus mengucur dari pelipisnya. Ujung-ujung jariku gemetar. Dalam kepalaku berputar ratusan kemungkinan, apakah ini efek dari kejadian barusan, atau ada sesuatu yang lebih buruk?
Dokter Alvin datang dua puluh lima menit kemudian. Ia masih muda, tapi tatapannya tajam dan penuh analisis. Setelah menyentuh dahi Darius dan memeriksa kondisi fisiknya dengan alat sederhana yang dibawanya, wajahnya mengerut.
“Ada yang aneh,” gumamnya lirih.
Aku menelan ludah, lalu memberanikan diri membuka fakta yang selama ini kutahan.
“Dok ... belakangan ini Mas Darius diberi obat oleh ibunya.”
Dokter Alvin menoleh padaku. “Obat apa yang kamu maksud?”
“Katanya vitamin, untuk membantu pemulihan ingatannya ... Tapi setiap kali dia minum itu, entah kenapa, dia malah makin bingung. Lebih gampang kelelahan. Dan sekarang ... seperti ini. Karena sebelumnya pun Mas Darius mengalami demam tinggi.”
Ekspresi dokter Alvin berubah serius. “Kamu masih simpan obatnya?”
***
aku mampir ..