Seorang gadis muda bernama Alya dikhianati oleh kekasihnya, Raka, dan sahabat dekatnya, Mira, yang menjalin hubungan di belakangnya. Dunia Alya runtuh. Namun, tanpa diduga, dia justru dinikahi oleh Davin, om dari Raka , seorang pria dewasa, mapan, dan berwibawa. Hidup Alya berubah drastis. Dia bukan hanya menjadi istri sah seorang pengusaha kaya, tapi juga tante dari Mira dan mantan pacarnya. Dari situ, kisah balas dendam elegan dan kisah cinta tak terduga pun dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 Menghilang dari Dunia Mereka
Setelah beberapa kunjungan ke kafe itu, Alya dan pria tersebut mulai saling menyapa. Namanya Davin. Ia tidak banyak bicara. Tapi cara bicaranya tenang dan berwibawa. Awalnya, Alya hanya menganggapnya sebagai pelanggan tetap seperti dirinya. Namun perlahan, ada yang berbeda dari pria itu.
Mereka mulai berbincang ringan—tentang cuaca, buku, bahkan soal kopi.
“Anak kuliah?” tanya Davin suatu sore.
Alya mengangguk. “Semester akhir.”
“Kamu terlihat seperti seseorang yang menyimpan banyak luka,” ujar Davin tiba-tiba.
Alya menoleh, terkejut. Ia tertawa kecil, pahit. “Kelihatan ya?”
“Tidak semua orang bisa menyembunyikannya. Tapi kamu cukup kuat untuk tetap berdiri.”
Alya tak menjawab. Tapi dalam hatinya, ia merasa kalimat itu adalah pelukan yang sangat ia butuhkan.
Hari-hari berikutnya, mereka semakin sering bertemu. Bukan karena sengaja janjian, tapi karena kebiasaan yang membawa mereka ke tempat yang sama. Davin tak pernah bertanya terlalu dalam. Ia hanya mendengarkan saat Alya sesekali membuka cerita.
Tanpa disadari, Alya mulai merasa nyaman. Untuk pertama kalinya setelah pengkhianatan itu, ia bisa tertawa. Bukan tawa penuh kepura-puraan, tapi tawa yang tulus.
Hingga suatu malam, Alya bertanya dengan hati-hati, “Boleh tahu... Bapak kerja di mana?”
Davin tersenyum tipis. “Aku memiliki beberapa perusahaan. Tapi aku lebih suka hidup tenang, jauh dari keramaian.”
“Wah... Keren juga ya,” ujar Alya, mencoba bercanda.
Davin hanya mengangkat bahu. Tapi kalimat berikutnya membuat Alya terdiam.
“Kadang yang terlihat tenang, justru menyimpan badai paling besar.” ujar pria yang bernama
Malam itu, setelah berpisah dengan Davin, Alya duduk termenung di kamarnya.
Ia baru Alya menyadari satu hal, perlahan, seseorang sedang menambal luka di hatinya.
Dan orang itu bukan teman, bukan sahabat, apalagi mantan kekasih. Tapi hanya seorang pria asing,
...----------------...
Dua minggu telah berlalu sejak Alya memutuskan semua kontak dengan Raka dan Mira. Ponselnya kini sepi dari pesan-pesan basa-basi, panggilan tak penting, dan drama buatan. Ia menonaktifkan akun media sosialnya, memblokir banyak nomor, dan mulai menjalani hari-hari dalam diam yang penuh luka.
Dunia Alya menjadi sunyi. Tapi justru dari sunyi itulah ia mulai menemukan ketenangan.
Tidak ada lagi sandiwara, tidak ada lagi kepura-puraan bahwa semuanya baik-baik saja. Ia tidak perlu tersenyum palsu, tidak perlu menahan tangis di kamar mandi kampus. Ia hanya perlu jujur pada satu orang, dirinya sendiri.
Saat Alya memutuskan untuk pindah bimbingan ternyata tidak semudah itu, karena bimbingan skripsi bukan perkara mudah.
Dosen pembimbing sebelumnya sempat menolak keinginan Alya, menganggap alasannya tidak profesional.
Tapi dengan usaha keras dan sedikit campur tangan dari kepala jurusan yang kebetulan menyukai kerja keras Alya selama ini, permohonan itu disetujui.
Kini Alya berada di bawah bimbingan seorang dosen wanita, tegas dan teliti, tapi tidak suka mencampuri urusan pribadi mahasiswa. Persis seperti yang ia butuhkan.
Di lingkungan kampus, nama Alya memang tidak sebesar Mira. Mira dikenal aktif, populer, dan punya banyak koneksi. Tapi Alya tahu satu hal yang tidak dimiliki Mira, yaitu ketulusan dan ia tak akan menukar itu dengan popularitas semu.
Suatu siang, Alya sedang duduk di taman kampus, membaca jurnal untuk tugas akhir. Suasana cukup tenang hingga suara tawa yang sangat familiar menyusup ke telinganya. Ia menoleh sekilas.
Mira dan Raka.
Mereka berjalan beriringan, tertawa, seperti pasangan paling bahagia di dunia.
Beberapa teman kampus melirik mereka, sebagian bergosip, sebagian pura-pura tidak peduli. Tapi Alya tahu, semua mata sedang menilai.
Hatinya tidak sekosong dulu. Ada sakit, masih. Tapi kini lebih seperti goresan lama yang mulai mengering, tidak lagi berdarah, tapi tetap meninggalkan bekas.
Mira sempat melirik ke arah Alya. Pandangannya kosong, tapi bibirnya menyunggingkan senyum sinis seolah berkata, “Lihat, aku yang menang.”
Alya menunduk dan tersenyum tipis. 'Kalau kamu pikir kamu menang hanya karena mengambil apa yang kubuang, itu berarti kamu bahkan tak tahu nilainya" ujar Alya dalam hatin
Sore itu, Alya kembali ke kafe langganannya, seperti biasa, sudut ruangan itu menantinya dan begitu pula pria bernama Davin.
Davin sudah ada di sana lebih dulu, sedang membaca koran sambil menyeruput kopi hitamnya.
Tanpa banyak basa-basi, Alya duduk di kursi seberang. Mereka sudah cukup dekat untuk tidak perlu mengucapkan salam pembuka.
“Bertemu lagi, Alya,” sapa Davin singkat, matanya tetap tertuju pada koran.
“Sepertinya semesta memang sedang menjodohkan kita terus,” jawab Alya, mencoba santai.
Davin menutup korannya dan menatap Alya. “Kamu terlihat lebih tenang hari ini.”
“Aku... mulai menerima,” kata Alya pelan.
“Menerima kenyataan bahwa tidak semua orang layak diberi kesempatan kedua.” lanjut Alya
Davin mengangguk. “Itu kemajuan besar.”
Keduanya terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya Davin bertanya, “Kalau kamu bisa memutar waktu, apa kamu akan tetap mencintai pria itu?”
Alya terkejut dengan pertanyaan itu. Ia berpikir sejenak, lalu menjawab, “Aku akan tetap mencintainya. Karena kalau aku tidak pernah mencintainya, aku tidak akan pernah tahu seberapa kuat diriku saat kehilangan.”
Davin tersenyum. “Jawaban yang sangat dewasa untuk seorang gadis muda.”
Alya menatap pria itu dengan penasaran. “Kak Davin... boleh aku tanya sesuatu yang agak pribadi?”
“Tentu.” jawab Davin,
“Kenapa kamu selalu sendiri? Maksudku... kamu tidak pernah cerita tentang keluarga atau pasangan.” tanya Alya pelan
Davin menyesap kopinya pelan sebelum menjawab, “Karena aku pernah percaya pada seseorang, dan itu membuatku kehilangan segalanya, sejak itu, aku lebih memilih sendiri dan tidak terlalu rumit, tidak terlalu menyakitkan.”
Alya terdiam. Untuk pertama kalinya, ia melihat luka yang sama di mata Davin. Luka yang tidak jauh berbeda dari miliknya.
Beberapa hari kemudian, Davin tiba-tiba mengajak Alya keluar dari kota.
“Anggap saja ini penyegaran pikiran. Kamu butuh udara segar,” katanya.
Mereka berkendara menuju sebuah vila di dataran tinggi. Tempat itu milik pribadi Davin, dikelilingi hutan pinus dan pemandangan danau yang menenangkan. Tidak ada sinyal, tidak ada kebisingan kota. Hanya ketenangan dan suara alam.
Alya awalnya ragu, tapi begitu sampai di sana, ia merasa seperti bisa bernapas kembali.
Di teras vila itu, sambil memandangi matahari terbenam, Davin berkata pelan, “Alya... kamu tahu kenapa aku terus mendekatimu?”
Alya menoleh, hatinya berdebar.
“Karena aku melihat diriku di dirimu. Sama-sama dikhianati, sama-sama belajar berdiri sendiri. Tapi yang paling penting... karena kamu kuat. Dan aku... mungkin butuh seseorang yang mengingatkanku tentang kekuatan itu.” jelas Davin,
Alya tak mampu menjawab. Matanya mulai berkaca-kaca.
Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang melihatnya bukan sebagai gadis yang hancur. Tapi sebagai perempuan yang bertahan.
Dan saat itulah, di dalam hati yang masih remuk, Alya tahu satu hal, "Ia tidak sendirian lagi."
Bersambung
kn ksel kl trs ngusik alya sm davin....
raka bnrn tlus atwcma modus????
kya'nya dia pduli sm alya,tkut d skiti ktanya....
aku udh mmpir lg...tp gmes pgn getok kplanya tu orng,gila bgt smp ftnah plus neror sgla sm alya....pdhl kn mreka yg udh jht....