Married To Fierce Boss

Sudah satu minggu ini Loralei mendiamkan Agathias. Dia malas diganggu pria itu terus. Juga terbayang-bayang sepuluh ribu euro yang melayang. Rasanya amat sulit merelakan begitu saja karena sebentar lagi harus membayar biaya rumah sakit.

Loralei tidak pernah menceritakan tentang keluarganya pada Agathias. Merasa bahwa hubungan mereka tak sedekat itu sampai harus memberi tahu tentang orang tuanya yang sakit. Walau sekarang status adalah istri si bos galak, otoriter, dan menyebalkan, tapi tetap saja hati belum milik manusia satu itu.

Sudah sengaja tidak mengajak suaminya bicara, tapi pria itu tetap saja tak memiliki inisiatif untuk mengganti uangnya. Padahal, jelas ia sudah menggerutu akan hal itu.

Loralei melengos begitu saja ketika di dalam apartemen dan mereka tengah berdua. Masih di tempat tinggal miliknya karena belum mau pindah ke apartemen Agathias. Lain kekuasaan jika diaset suaminya.

“Tak ada niatan untuk mengganti uang sepuluh ribu euro yang dirampas sepupumu?” sindir Loralei sembari mengambil air mineral dingin di dalam kulkas.

Sementara Agathias tengah duduk di kursi bar dengan MacBook di depan mata. “Untuk apa? Itu kesalahanmu sendiri yang terlalu mudah mencari pria bayaran untuk menghindari pernikahan kita. Jadi, anggap saja uangmu yang hilang adalah balasan karena berpikir untuk mengakhiri ikatan.” Dia tetap memunggungi istrinya ketika berbicara. Entah bagaimana reaksi Loralei, tapi sudah dipastikan sedang marah.

“Ck! Jadi, apa keuntungan menjadi istri seorang bos dari keluarga Dominique?” Nampaknya Loralei mulai pusing untuk mendapatkan uangnya kembali, sehingga ia terus menyindir suami. “Sepertinya tidak ada karena aku hanya dijadikan objek penjajahan, penindahan, dan pencabulan.”

Loralei sengaja menutup pintu kulkas dengan kasar. Kaki terayun menuju sofa dan menghempaskan tubuh di sana. “Bukankah lebih baik kita bercerai saja? Tidak ada untungnya bagiku, justru rugi terus.” Tatapannya jatuh pada punggung Agathias yang tak tahu sedang mengerjakan apa, mungkin disertasi.

Agathias memutar stool bar hingga kini bisa menatap istrinya yang mulai mengeluarkan kata-kata yang ia tidak suka. Dia masih membiarkan wanita itu mengoceh dan mengeluarkan sumpah serapah padanya. Asal masih batas wajar, tak akan membuatnya marah. Mungkin kata cerai bukan hal yang akan ia anggap serius juga, dia melihat Loralei sedang kesal dengannya sehingga mengucapkan itu.

“Pelacurr saja dibayar setelah dipakai. Aku? Mana ada mendapatkan uang. Padahal virgin diambil suami sendiri.” Loralei menyunggingkan senyum sinis penuh rasa penyesalan. Andai setelah kejadian di Badan Kependudukan itu ia tidak mabuk berat, pasti tak akan hilang mahkotanya. Dia melipat kedua tangan di dada dan memalingkan wajah dengan gerakan cepat supaya tidak dipelototi suaminya terus.

Loralei tak melihat Agathias, tapi bisa mendengar bahwa ada suara langkah kaki masuk ke dalam kamar. Barulah memastikan, ternyata memang benar kalau manusia menyebalkan itu tak ada di bar lagi.

“Dasar suami pelit, tidak berguna,” gerutu Loralei. Tangan meraih remot dan menyalakan televisi. Sudahlah, cari hiburan lain saja daripada cepat tua akibat marah-marah terus.

Mungkin gara-gara sudah pernah bersetubuh dengan Agathias, jadi menular kebiasaan marah-marah pria itu. Kalau suaminya tidak membuatnya sebal pun sudah pasti dirinya akan lemah lembut bagaikan seorang putri penurut penuh kasih sayang.

“Jangan mengharap lebih pada pernikahan dadakan yang tak jelas ini, Loralei! Bosmu juga pasti tak cinta, dia hanya kesepian setelah mantannya menikah. Kau sepertinya korban Agathias saja.” Walau televisi memutarkan sebuah film, tapi tetap pikirannya masih menyayangkan nasib hidup yang buruk dan sangat mengenaskan, jauh dari kata bahagia.