Steven adalah seorang CEO perusahaan besar dipaksa menikah dengan gadis desa karena Stevan menabrak calon suami wanita tersebut.
Apa yang akan dilakukannya? padahal dia sudah mempunyai tunangan dan dalam waktu dekat dia akan menikah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon umi ayi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makan Bersama
Semenjak hari itu sifat stevan sangat berbeda, ia lebih lembut dan perhatian kepada ana. Bahkan ia juga sering mengantar dan menjemput ana ke kampus.
Ting, notif pesan di ponsel ana.
Ting..
Ting...
ponsel ana kembali ber denting. Karena ia masih dalam pembelajaran maka ia abaikan ponselnya, namun ponselnya kembali berbunyi.
"Siapa sih na? rame banget hape lho.!" tanya via merasa terganggu mendengar denting ponsel ana.
"Gak tau, gak penting juga." jawab ana santai.
Sementara disisi lain Stevan sedang uring uring_an karena pesannya tidak dibalas oleh ana.
"Ck...kemana sih ni anak." gumamnya kesal. Kemudian ia menyambar kunci mobilnya yang diatas meja dan segera pergi keluar dari ruangannya.
Andre yang melihat Stevan yang terburu buru merasa heran. "Woy, stev. Mau kemana lo?" teriaknya dan langsung ia reflek melihat sekitar takut ada yang mendengar ia teriak memanggil sang boss seperti itu. Ya Stevan dan Andre bersikap formal sebagai atasan dan bawahan jika sedang berada dilingkungan kantor namun mereka akan jadi seperti sahabat jika sedang berdua saja.
"Aneh banget tu anak, sudah beberapa hari ini dia aneh. Apa mendekati pernikahan memang seperti itu yah?" monolog nya seorang diri.
Stevan melajukan mobilnya menuju kampus ana. Ia merasa gemas dengan ana yang mengabaikan pesan nya.
*
Selesai jam kampus ana membuka ponselnya, dan betapa kagetnya ia melihat betapa banyaknya pesan dari Stevan.
Setelah kejadian ana pingsan waktu itu, Stevan meminta nomer ana.
"Kamu sudah pulang?"
"Nanti jangan naik ojol, saya akan jemput kamu."
"Kok gak dibalas?"
"Kamu sedang apa?"
"Hey kenapa gak bales?"
"Kamu mau dihukum?"
"Hey ana."
"Kamu mengabaikan ku?"
"Dasar bocil, cepat balas pesanku."
Ana tersenyum membaca pesan Stevan, menurutnya Stevan sangat lucu. "Pasti dia kesel aku gak balas pesannya, ah biarin, masa bodoh." Batin ana. Baru selesai ia bicara dalam hati, eh nama Stevan langsung muncul dilayar ponselnya.
"Kamu sedang apa? kenapa gak jawab pesan ku? keluarlah, saya tunggu didepan kampus mu." belum sempat ana bicara Stevan langsung mematikan ponselnya. Ana mengernyit melihat ponselnya.
"Aneh banget nih orang. Kenapa dia jadi posesif gini? korslet kayaknya otaknya." gumam ana, kemudian menyimpan buku bukunya kedalam tas.
"Na, bareng aja yuk, sekalian kak Rama ngajak makan diluar ." ajak via, sebenarnya ia ingin mendekatkan ana dan kakak nya, namun ana selalu menjaga jarak, cukup sering Rama ngajakin ana jalan, namun ana selalu menolak, dan hanya satu itu alasannya, jika ia hanyalah seorang pembantu dan ia mempunyai banyak tugas di rumah. Kalau sudah seperti itu via dan Rama tak bisa berkata.
"Maaf ya via, ojol ku Uda nunggu didepan, aku harus cepat pulang, tadi majikan ku Uda ngasih kabar suruh cepat pulang." elak ana.
"Ya uda deh." balas via lesu.
"Jangan cemberut gitu dong. Ada waktunya nanti kita bisa sering jalan." Ana menepuk bahu via.
"Iya, iya.. udah sana pulang, ntar kamu dipecat lagi karena lama pulang."
"Ya udah, aku duluan yah!" ana langsung pergi meninggalkan via.
Sesampainya didepan gerbang ia mengedarkan pandangannya mencari Stevan, bibirnya tersenyum melihat mobil Stevan dan ia langsung menghampiri.
"Tuan, maaf. tadi aku lagi belajar makanya tidak membalas pesan tuan." jelas ana sebelum ditanya Stevan. Stevan tak menjawab omongan ana, ia menghidupkan mesin mobilnya dan melajukannya.
Hening
Tak ada satu pun bersuara, ana melirik Stevan yang fokus menyetir. Ia menyunggingkan bibirnya tersenyum.
"Kenapa senyum senyum liatin saya?" tanya Stevan tanpa menoleh.
"Ha? siapa yang senyum." Elak ana.
"Benarkah? trus kenapa kamu liatin saya dari tadi?"
"Tuan ganteng." ceplos ana kemudian ia membekap mulutnya merasa salah bicara. Stevan yang dari tadi fokus menatap jalanan lurus menjadi tertawa mendengar pengakuan ana.
"Hahaha...saya tau saya memang ganteng." ucapnya tertawa.
"Ih pede banget" ana memukul lengan Stevan.
"Eh, berani ya sekarang kamu mukul mukul saya" Stevan menoleh singkat.
"Eh, maaf tuan." Jawab ana sesal, ia memang berasa nyaman bersama Stevan akhir akhir ini. Ia sampai melupakan jika ia hanya pembantu Stevan.
Stevan mengacak rambut ana, kemudian menarik kepala ana agar bersandar di bahunya.
Deg
Jantung ana sungguh tidak sehat dibuat Stevan. Ia hanya diam menikmati nyamannya saat bersama Stevan.
"Kamu belum makan kan? bagaimana kalo kita makan siang dulu." ucap Stevan.
"Boleh."
Ana ingin menikmati masa masa bersama Stevan sebelum Stevan menikah, seminggu lagi suaminya itu akan menikah, mungkin inilah kesempatan terakhirnya bersama Stevan.
Stevan memarkirkan mobilnya di parkiran areal cafe.
"Sudah sampai, ayo turun."
Stevan menggandeng tangan ana memasuki cafe, "duduk lah" stevan menarik kursi untuk ana. Ana sungguh bahagia diperlakukan manis oleh stevan.
Mereka memesan makanan kesukaan mereka, dan memakannya dengan lahap, kebetulan perut mereka lapar, jadi sangat cepat masuk ke perut, mereka makan dibarengi dengan pembicaraan kecil, juga sesekali diselingi dengan canda tawa.
"Makan kok belepotan gini" Stevan menyapu tepi bibir ana dengan jarinya, dan itu membuat jantung ana benar benar tidak sehat, jantungnya berpacu sangat cepat seolah ingin melompat keluar.
"Ya Tuhan, kenapa jantung aku begini? Tuan..jangan seperti ini, kenapa tuan perlakukan aku begini? jika seperti ini aku gak bisa ikhlas berpisah dari tuan." batin ana sedih.
"Tanpa mereka sadari ada dua pasang mata yang memperhatikan mereka.
"Ana dengan siapa? inikah alasan ia tidak mau jalan sama kita tadi?" ucapnya kecewa.
"Kita mau langsung pulang atau ada tempat yang mau kamu kunjungi dulu?" tanya Stevan sambil mengedipkan mesin mobilnya.
Ana menggigit bibir nya bingung mau menyampaikannya.
"Ada apa?" tanya Stevan tau kalau ana ragu untuk mengatakannya.
"Tuan, bolehkah aku meminta sesuatu?"
"Apa? katakanlah."
Ana menghela nafas, "Aku ingin pergi ke taman bermain dan nonton bersama tuan, untuk pertama kali dan terakhir, sebelum tuan menikah." Ana menelan saliva nya merasa ia salah bicara, ia takut Stevan akan marah dengan permintaannya.
Hening, Stevan tak menjawab, kemudian Stevan menarik kepala ana agar bersandar di bahu Stevan. " Baiklah, kita akan pergi ke taman bermain." ucap Stevan.
Ana memejamkan matanya menikmati rasa nyaman bersandar di bahu Stevan, ia akan menikmati hari ini bersama Stevan.
.
.
Bersambung.
Makasih ya para reader setiaku 🥰🥰 semoga kalian suka dengan ceritanya. Jangan lupa juga tinggalkan jejaknya ya. Karena itu bisa membuat ku jadi semangat untuk lanjutin nulisnya😊
Makasih🙏
Happy reading 😊🥰