Ini kisah Riana , gadis muda yang memiliki kekasih bernama Nathan . Dan mereka sudah menjalin hubungan cukup lama , dan ingin melangkah ke jenjang yang lebih serius yaitu pernikahan .
Namun kejadian tak terduga pun terjadi , Riana memelihat Nathan sedang bermesraan dengan teman masa kecilnya sendiri. Riana yang marah pun memutuskan untuk pergi ke salah satu klub yang ada di kotanya .Naasnya ada salah satu pengunjung yang tertarik hanya dengan melihat Riana dan memberikannya obat perangsang dalam minumannya .
Dan Riana yang tidak tahu apa-apa pun meminum minuman itu dan membuatnya hilang kendali atas tubuhnya. Dan saat laki - laki tadi yang memasukan obat akan beraksi , tiba-tiba ada seorang pria dewasa yang menolongnya. Namun sayangnya obat yang di kasi memiliki dosis yang tinggi sehingga harus membuat Riana dan laki - laki yang menolongnya itu terkena imbasnya .
Dan saat sudah sadar , betapa terkejutnya Riana saat tahu kalau laki-laki yang menidurinya adalah calon ayah mertuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rodiah Karpiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Janji di Pelaminan
Pagi itu datang perlahan, seolah bumi pun mengerti bahwa hari ini adalah hari yang akan mengubah hidup Rania selamanya. Udara masih sejuk, embun membasahi dedaunan di halaman. Burung-burung kecil berkicau pelan, seakan ikut menyambut hari yang istimewa.
Di dalam rumah, mereka mulai sibuk sejak fajar. Para ibu-ibu sibuk di dapur, menyiapkan hidangan untuk tamu yang akan datang. Wangi harum ketan kukus, opor ayam, dan sambal goreng hati menyebar ke seluruh penjuru rumah.
Rania duduk di kamar, di depan cermin besar yang telah dihias renda putih dan taburan kelopak mawar. Seorang perias memoles wajahnya dengan lembut, menghias matanya yang sudah indah, menambahkan rona lembut di pipi, dan membingkai bibir mungilnya dengan warna pink lembut.
Karena orang tua Rania tidak ingin menggunakan jasa wedding organizer, Bagaskara memutuskan untuk menyewa make-up artist terkenal di Indonesia untuk merias wajah Rania. Meskipun ini bukan pernikahan pertama untuk Bagaskara, namun ini pernikahan pertama Rania. Bagaskara ingin pernikahan ini berkesan untuk Rania.
Kebaya putih gading khas pengantin Sunda terbentang anggun, berkilau di bawah cahaya pagi yang lembut. Sulaman benang emas menghias leher dan lengan, memancarkan kemewahan dalam balutan tradisi. Kain batik bermotif megamendung dan parang, simbol kekuatan dan keluhuran, telah siap melingkari tubuh sang pengantin. Di samping meja rias, siger Sunda berlapis emas berdiri megah, ditemani untaian melati yang harum, menjanjikan keanggunan tak tergantikan. Semua tertata dengan sempurna, menanti saat ketika Rania melangkah sebagai ratu dalam hari sucinya, diselimuti kemuliaan budaya dan restu leluhur.
"Ya ampun. Ini beneran Nia, adik ipar aku ?" Ucap Mbak Yuni yang baru saja masuk kedalam kamar dan mendapati Rania yang sudah selesai menggunakan make-up dan gaun pengantinnya. Dan Rania yang mendengar pekikan kakak iparnya itu pun tersenyum malu.
Reaksi Rania saat pertama kali melihat wajahnya juga sama, ia pangling melihat wajahnya sendiri. Apalagi Siska, kalau saja tidak diperingati oleh sang perias. Rania tidak akan lepas dari kamera, karena sahabatanya itu ingin terus berfoto dengannya.
"Siapa lagi atuh, Mbak!" Ucap Rania dengan senyumannya, dan mbak Yuni yang mendengar itu pun memeluk Rania sebentar.
"Selamat ya, sayangku! Meskipun kamu sudah menikah, kamu tetap adik kecilnya kak Rendra dan Mbak Yuni. Jadi, kalau ada apa-apa nggak usah sungkan bicara pada kita, ya!" Ucap Mbak Yuni sambil menatap adiknya iparnya itu, dan Rania yang mendengar itu pun mengangguk-anggukkan.
Dulu Rania ingin sekali memiliki kakak wanita, karena kakak laki-lakinya itu sangat jahil padanya. Dan kini ia sudah mendapatkannya dari Mbak Yuni, kakak iparnya itu.
"Terimakasih, Mbak.... Mbak sudah mau menikah dengan kakak aku yang ngeselin itu!" Ucap Rania yang sedikit bercanda agar ia tidak menangis. Dan Mbak Yuni pun tertawa kecil mendengar perkataan Rania, setelah itu ia pun menepuk pelan lengan atas Rania.
" Dasar!" Ucap Mbak Yuni sambil menggelengkan kepalanya.
"Suami kamu sebentar lagi sampai... Ehh, maksud mbak calon suami!" Ucap Mbak Yuni yang membalas candaan adik iparnya itu, dan Rania yang mendengarnya pun tersenyum malu dan menundukkan kepalanya.
Sementara itu, tenda besar sudah dipenuhi tamu undangan yang mulai berdatangan. Para kerabat duduk bersisian, berbincang dengan suara pelan, sambil menikmati teh manis hangat dan jajanan pasar yang disajikan. Anak-anak berlarian, memegang kipas kertas, tertawa riang di bawah langit cerah.
Pelaminan dari kayu jati tampak megah. Janur kuning yang menjuntai anggun di sisi pelaminan bergerak perlahan tertiup angin. Dua vas besar berisi bunga anggrek yang baru ditambahkan tadi kini mampu membuat semua orang memandangnya. Lampu gantung klasik menyala temaram, menambah kehangatan suasana.
Di depan rumah, mobil-mobil mulai terparkir rapi. Beberapa kerabat dari luar kota baru saja tiba, membawa bingkisan dan buah tangan. Semua orang menyambut dengan hangat. Tidak ada lagi bisik-bisik atau tatapan penuh tanya — hanya senyum tulus dan doa yang mengalir dalam bisikan-bisikan lembut.
Tak lama, Bagaskara dan keluarganya pun datang. Melihat itu, pak Rudi langsung meminta salah satu tetangganya yang bertugas menyalakan petasan saat keluarga Anthony datang pun langsung memintanya melakukan tugasnya.
Bagaskara turun dari mobil, Ia mengenakan baju pangsi Sunda berwarna cokelat tua, dilengkapi dengan iket Sunda bermotif kawung yang melingkar rapi di kepalanya, menambah kewibawaan pada sosoknya. Hiasan sulaman emas di kerah dan lengan pangsinya berkilau lembut, menyatu dengan pesona tradisi. Meskipun usianya jauh lebih matang dibanding Rania, pagi itu ia tampak muda — bukan karena raut wajah, melainkan dari sorot matanya yang teduh, penuh ketulusan, dan siap memikul tanggung jawab besar di hadapan keluarga dan adat.
Disamping Bagaskara ada Nathan yang setia menemani. Namun, raut wajahnya tidak dapat berbohong. Kalau saja ia tidak janji ingin menemani ayahnya itu, pasti saat ini ia tidak akan datang.
Bagaskara menyalimi tangan pak Rudi dan beberapa tetua yang lainnya, setelah itu mereka pun dipersilahkan untuk masuk.
"Bapak… saya akan jaga Rania. Seumur hidup saya." Ucap Bagaskara begitu mereka duduk di kursi yang sudah disediakan, dan Pak Rudi yang mendengar perkataan Bagaskara itu pun menepuk pundaknya pelan.
"Saya percaya, Bagas. Hari ini… kamu bukan cuma menikahi anak saya. Tapi juga mengambil tanggung jawab yang besar. Semoga semua yang kalian mulai hari ini… menjadi berkah." Uacp Pak Rudi, ia sudah berdamai dengan keadaan. Dan lebih memilih untuk mendukung kebahagiaan mereka berdua.
Tak lama kemudian, penghulu datang, diiringi beberapa perangkat desa dan tokoh masyarakat. Mereka duduk di kursi yang sudah disiapkan di bawah tenda tak jauh dari tempat duduk Bagaskara. Suasana berubah hening perlahan, hanya suara angin yang berhembus pelan di antara tirai-tirai putih yang bergoyang lembut.
Dari dalam kamar, Rania memandang ke arah jendela, matanya berkaca-kaca. Mira menggenggam tangannya erat, lalu membisikkan, "Saatnya, Nia… saatnya kamu melangkah."
Perias memasangkan kerudung tipis berbordir emas di kepala Rania, lalu menempatkan cunduk mentul di atas sanggulnya. Kembang goyang bergetar pelan seiring langkahnya yang mulai diayun.
Jantung Rania berdegup kencang. Setiap langkah terasa berat dan ringan dalam waktu bersamaan. Saat melewati ruang tamu, ia melihat ayahnya tersenyum bangga — ada air mata di sudut mata Pak Rudi.
Begitu ia melangkah keluar ke halaman depan, semua mata tertuju padanya. Bisikan-bisikan kekaguman terdengar lirih. Mata Rania sedikit berembun, tapi bibirnya tersenyum pelan. Ia melihat ke arah meja akad yang sudah disediakan, ada Bagaskara yang sudah menunggunya dengan tenang.
Ia duduk di kursi yang sudah disiapkan, di samping Bagaskara. Tangannya dingin. Rania memegang tangannya dengan erat, sambil berdoa didalam hati agar ia tidak gugup.
Penghulu mulai membuka acara dengan salam, diikuti pembacaan ayat suci Al-Qur'an yang begitu merdu hingga membuat suasana terasa sakral.
"Bagaskara Wijaya bin Bambang Wijaya… saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan Rania Anindita binti Rudi Ardiansyah, dengan maskawin seperangkat alat salat dan emas 50 gram tunai dan tiga hektar sawah dibayar tunai."
Hening. Semua menunggu.
"Saya terima nikah dan kawinnya Rania Anindita binti Rudi Ardiansyah dengan mas kawin tersebut di bayar tunai!" Ucap Bagaskara tegas, jelas, tanpa ragu.
Sontak semua orang yang menyaksikan akad mereka pun mengucap hamdalah, dan tangis haru pecah pelan dari barisan keluarga. Rania menunduk, air matanya jatuh membasahi pipinya. Mira menggenggam bahunya dari belakang, ikut menangis perlahan. Setelah itu pak penghulu pun mulai membacakan doa, Rania menutup wajah dengan kedua tangan, berdoa dalam diam.
"Ya Allah… ini jalanku. Terima kasih… telah menguatkan aku hingga di sini. Aku serahkan semua masa depanku… hanya pada-Mu."
Setelah itu Bagaskara dan Rania saling bertukar cincin dan menanda tangani buku nikah mereka. Setelah selesai Bagaskara menoleh ke arah Rania, menatapnya dalam diam. Lalu, ia berbisik pelan, "Terima kasih sudah mempercayakan hidupmu padaku." Ucapnya sambil tersenyum kecil.
Dan Rania yang mendengar itu lun tersenyum kecil, menahan getar di dadanya. Hari itu… ia resmi menjadi istri seorang Bagaskara. Pria yang merupakan bosnya dan paling ia hormati itu.
.
.
Bersambung...
.
Dimohon untuk tidak menjadi silent reader ya , aku menunggu keritik dan saran dari kalian 🤭🤗😍