NovelToon NovelToon
Sang Raja Asura

Sang Raja Asura

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Kelahiran kembali menjadi kuat / Budidaya dan Peningkatan / Perperangan / Balas dendam dan Kelahiran Kembali / Penyelamat
Popularitas:6.6k
Nilai: 5
Nama Author: Anonim

Bercerita seorang yang dahulu di beri julukan sebagai Dewa Pengetahuan dimana di suatu saat dirinya dihianati oleh muridnya dan akhirnya harus berinkarnasi, ini merupakan cerita perjalanan Feng Nan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anonim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 20:Di Balik Bayangan Pelelangan

Suasana pagi di Penginapan Teratai Hitam terasa hangat meskipun angin musim gugur terus menyelinap dari celah-celah jendela. Aroma kayu bakar dari dapur menyatu dengan wangi teh melati yang mengepul di atas meja, menciptakan atmosfer tenang dan menenangkan. Beberapa tamu tampak menikmati sarapan mereka, berbicara pelan, seolah tempat ini adalah surga kecil yang tak terganggu hiruk pikuk Kota Xing.

Feng Nan duduk di sudut ruang makan, dekat jendela yang menghadap ke halaman kecil tempat bunga teratai mulai mekar meski sinar matahari masih malu-malu muncul di balik awan. Ia mengenakan pakaian sederhana, kain hitam tanpa bordir, tanpa lambang kebesaran. Tapi meski demikian, aura yang terpancar dari tubuhnya tetap menarik perhatian—tenang namun tajam, seperti pedang tua yang telah diasah ribuan kali.

Ia menyesap teh perlahan, membiarkan kehangatan meresap ke dalam tubuhnya yang telah terbiasa dengan dinginnya malam dan kerasnya perjalanan. Matanya setengah tertutup, namun telinganya tajam menangkap suara-suara di sekelilingnya. Khususnya dari meja dua kursi di sebelah kanan, tempat dua pria paruh baya berpakaian pedagang tengah berbincang dengan suara tertahan.

“Lelang itu akan jadi yang terbesar tahun ini,” bisik salah satu pria, suaranya serak namun penuh semangat. “Kudengar dari kenalanku yang bekerja di dalam balai pelelangan, bahkan ada fragmen jiwa roh tingkat menengah yang akan dijual.”

Yang lain terkejut. “Itu… itu barang langka! Di daratan rendah seperti ini?”

“Entahlah. Tapi sumbernya bisa dipercaya. Dan bukan itu saja, kabarnya ada pula gulungan teknik kultivasi kuno yang ditemukan di reruntuhan selatan. Sayangnya, belum bisa dipastikan keasliannya.”

Feng Nan menahan senyum di balik cangkir tehnya. Fragmen jiwa roh? Gulungan kuno? Di matanya, barang-barang itu masih tergolong biasa. Dunia bawah terlalu sering membesar-besarkan hal kecil. Namun, bukan barangnya yang menarik—melainkan orang-orang yang akan berkumpul untuk barang-barang itu.

Pelelangan besar selalu menyatukan dua hal: kekayaan dan ambisi. Dan di dunia seperti ini, dua hal itu sering kali berujung pada pertumpahan darah.

Langkah ringan menuruni tangga memecah lamunannya. Liu Shi muncul dengan pakaian bersih warna hijau tua, rambutnya disisir rapi ke belakang, dibiarkan jatuh tanpa hiasan. Meski wajahnya masih menunjukkan kelelahan perjalanan, namun sorot matanya lebih tenang dibanding hari-hari sebelumnya.

Ia menghampiri meja dan hendak membuka mulut untuk menyapa, namun Feng Nan mengangkat tangannya perlahan.

“Cukup panggil Feng Nan saja,” ujarnya tenang tanpa menoleh.

Liu Shi tersenyum kecil. “Baik… Feng Nan.”

Ia duduk, dan tak lama kemudian pelayan datang membawa makanan—semangkuk bubur hangat, potongan daging asin, dan dua bakpao yang masih mengepul. Rupanya Feng Nan sudah memesan sebelumnya, seperti sudah tahu Liu Shi akan datang tepat waktu.

Mereka makan dalam diam. Tapi diam itu bukan ketegangan, melainkan ketenangan dua orang yang mulai terbiasa dengan kehadiran satu sama lain. Hingga kemudian, tatapan Feng Nan sedikit berubah, matanya masih menatap lurus namun bibirnya mengulas senyum tipis.

Liu Shi memperhatikannya, merasa ada sesuatu yang berbeda dari ekspresinya.

“Ada apa?” tanyanya pelan.

Feng Nan menoleh sedikit, matanya kembali seperti lautan dalam yang tak bisa diterka kedalamannya.

“Aku tertarik dengan pelelangan itu,” jawabnya singkat.

Liu Shi mengangkat alis. “Pelelangan?”

Feng Nan mengangguk ringan. “Dua hari lagi. Di pusat kota. Aku ingin melihatnya… dan mungkin, menjual beberapa barang.”

“Barang?” tanya Liu Shi penasaran. Tapi Feng Nan tidak menjawab. Ia hanya menyesap tehnya lagi, pandangannya kembali menerawang ke luar jendela, seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu yang tak bisa dikatakan sembarangan.

Namun ketenangan itu tidak berlangsung lama.

Dari arah pintu utama, suara derap sepatu keras memecah suasana damai ruang makan. Lima pria berpakaian mewah dengan bordiran emas masuk tanpa mengucap salam. Mereka tidak seperti tamu biasa—postur tubuh mereka tegap, wajah-wajah mereka penuh keangkuhan. Mereka membawa bau kekuasaan dan kekerasan bersamaan, dan langkah mereka membuat para tamu yang sedang makan mendadak bungkam.

Salah satu dari mereka, seorang pria muda dengan pakaian biru gelap dan ikat pinggang berhias batu giok, segera menatap sekeliling dengan tatapan angkuh, lalu menunjuk ke arah sudut ruangan.

“Itu dia!” teriaknya lantang.

Beberapa tamu langsung menoleh. Tak salah lagi, pemuda itu adalah orang yang kemarin malam dipermalukan oleh Feng Nan—putra ketiga dari keluarga Hua, Hua Lian.

Kelima pria langsung bergerak, membentuk setengah lingkaran mengelilingi Feng Nan yang masih duduk tenang di tempatnya. Liu Shi refleks hendak berdiri, namun Feng Nan menahan gerakannya dengan satu sentuhan ringan di pergelangan tangannya.

“Duduklah,” ujarnya pelan.

Salah satu pria berbadan besar—kemungkinan pengawal pribadi Hua Lian—melangkah ke depan, suara sepatunya menghantam lantai kayu seperti palu godam.

“Atas nama keluarga Hua, kau telah melakukan penghinaan berat pada putra bangsawan! Menyerang di tempat umum, mempermalukan anak tuan besar! Hari ini, kau harus memberi penjelasan… atau menanggung akibatnya.”

Beberapa tamu mulai berbisik, sebagian lainnya dengan cepat meninggalkan ruangan, menyadari bahwa yang akan terjadi bukanlah sekadar adu mulut.

Feng Nan berdiri perlahan, gerakannya begitu tenang hingga terasa mengancam. Ia berdiri di tengah lingkaran para pengawal, tapi tubuhnya seolah menjadi pusat gravitasi ruangan itu—diam, namun memaksa semua pandangan mengarah padanya.

Ia menatap langsung ke mata Hua Lian.

“Jadi kau membawa lima orang hanya untuk membalas satu tamparan yang tak sempat mendarat?” tanyanya datar, suaranya tak meninggi tapi menggema seperti gaung dalam gua.

Hua Lian menggertakkan gigi. “Kau pikir bisa lolos dari tangan keluarga Hua hanya karena aksi teatrikalmu kemarin?”

Feng Nan menghela napas pelan, lalu mengangkat tangannya. Dalam sekejap, sebuah batu giok merah tua muncul dari cincin ruangnya—batu kecil, tapi memancarkan aura panas dan energi spiritual pekat.

“Aku akan menjual ini di pelelangan,” ucapnya tiba-tiba. “Dan aku tidak ingin barang ini ternoda oleh darah orang rendahan.”

Para pengawal sempat ragu. Aura yang dipancarkan batu itu bukan main-main. Bahkan salah satu dari mereka yang pernah bertugas di perbatasan mengenalinya—Giok Api Langit, bahan utama untuk membuat pedang roh kelas menengah.

Hua Lian, meski marah, mulai menyadari bahwa pria di hadapannya bukan orang biasa.

“K-Kau…” Ia kehilangan kata-kata.

Namun Feng Nan belum selesai. Ia melangkah maju satu langkah, jarak tubuhnya kini hanya beberapa jengkal dari dada Hua Lian. Sorot matanya berubah—bukan lagi sekadar tenang, tapi menyimpan amarah dingin yang terpendam lama.

“Kalau kau menggangguku sekali lagi sebelum pelelangan… aku tidak akan sekadar membelah atap.”

Ucapannya seperti petir yang membelah langit. Bahkan suara burung dari luar penginapan seolah ikut terdiam.

Feng Nan berbalik, kembali ke kursinya, lalu duduk seperti sebelumnya—tenang, tak terganggu. Seolah peristiwa barusan hanyalah percakapan biasa di pagi hari.

Hua Lian mundur pelan, wajahnya berubah pucat, sebelum akhirnya melambaikan tangan kepada pengawalnya dan keluar dengan langkah cepat tanpa berkata apa pun lagi.

Feng Nan kembali menyesap tehnya.

Liu Shi, yang dari tadi menahan napas, akhirnya bicara dengan suara pelan, “Apa sebenarnya yang kau simpan di dalam cincin itu?”

Feng Nan menoleh sedikit, bibirnya terangkat tipis.

“Cukup untuk membuat para bangsawan saling membunuh,” ucapnya singkat. Lalu ia menambahkan, “Dan cukup untuk menarik perhatian orang-orang yang seharusnya tetap berada dalam bayang-bayang.”

Liu Shi menggigit bibir bawahnya. Ia tidak sepenuhnya mengerti, namun firasatnya mengatakan bahwa hari-hari ke depan… akan lebih berbahaya daripada sebelumnya.

Dan dua hari lagi, saat pelelangan dimulai—semua akan berubah.

1
Saipul Bachri
lanjutkan terus Thor
Rinaldi Sigar
lanjut
Ibad Moulay
Lonceng Besar
Ibad Moulay
Lanjutkan 🔥🔥🔥🔥
Rinaldi Sigar
lanjut
Ibad Moulay
Lelang
Ibad Moulay
Lanjutkan 🔥🔥🔥🔥
Rinaldi Sigar
lanjut thor
Abi
up
Abi
Biasa
Abi
Kecewa
Ibad Moulay
Uraaa 🔥🔥🔥
Ibad Moulay
Lanjutkan 🔥🔥🔥🔥
Ibad Moulay
Uraaa 🐎🐎🐎🐎
Ibad Moulay
Lanjutkan 🔥🔥🔥🔥
Ibad Moulay
Uraaa 🐎🐎🐎🐎
Ibad Moulay
Lanjutkan 🔥🔥🔥🔥
Ibad Moulay
Uraaa 🐎🐎🐎
Ibad Moulay
Lanjutkan 🔥🔥🔥🔥
Ibad Moulay
Uraa 🐎🐎🐎
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!