Xavier, dokter obgyn yang dingin, dan Luna, pelukis dengan sifat cerianya. Terjebak dalam hubungan sahabat dengan kesepakatan tanpa ikatan. Namun, ketika batas-batas itu mulai memudar, keduanya harus menghadapi pertanyaan besar: apakah mereka akan tetap nyaman dalam zona abu-abu atau berani melangkah ke arah yang penuh risiko?
Tinggal dibawah atap yang sama, keduanya tak punya batasan dalam segala hal. Bagi Xavier, Luna adalah tempat untuk dia pulang. Lalu, sampai kapan Xavier bisa menyembunyikan hubungan persahabatannya yang tak wajar dari kekasihnya, Zora!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 : Between Us
Ruang tunggu rumah sakit itu sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki perawat dan detak detik jam dinding. Luna duduk di sudut ruangan dengan jaket oversized dan masker menutupi sebagian besar wajahnya. Ia berharap tak ada yang mengenalinya.
Setelah beberapa hari mengalami muntah hebat, sensitivitas bau, dan rasa lemas tak tertahankan, ia akhirnya menyerah dan pergi memeriksakan diri.
Saat namanya dipanggil, Luna bangkit dengan lesu, memasuki ruang periksa dengan langkah pelan. Ia tak tahu apa yang lebih menakutkan: kemungkinan penyakit serius atau kenyataan bahwa ia harus menghadapinya sendirian.
Setelah serangkaian pertanyaan dan pemeriksaan dasar, dokter perempuan di hadapannya tersenyum lembut namun mantap.
“Nona Luna, dari gejala dan hasil tes cepat ini, kemungkinan besar Anda hamil. Tapi untuk memastikannya, kami akan lakukan pemeriksaan lanjutan, termasuk USG,” ucap dokter itu.
“H-hamil?” suara Luna tercekat. Kata itu terasa begitu asing, sekaligus berat di dada.
“Ya. Silakan baring di ranjang periksa, kami akan mulai USG-nya sekarang.”
Tangan Luna bergetar saat ia melepas jaket dan berbaring. Matanya menatap langit-langit ruangan yang dingin dan putih, sementara perawat menyiapkan alat. Dokter mengoleskan gel dingin ke perut bawahnya, lalu mulai menggerakkan transduser USG.
Beberapa detik berlalu tanpa suara, hanya bunyi lembut dari mesin. Lalu tiba-tiba, layar menunjukkan sebuah bentuk kecil... dan suara samar mulai terdengar.
Dug dug... dug dug... dug dug...
Detak itu cepat. Nyaring. Hidup.
“Ini...” suara dokter melembut, “...adalah detak jantung bayinya.”
Luna menoleh ke layar, dan saat itu pula air mata jatuh begitu saja. Ia tak pernah membayangkan akan mendengar suara itu—detak yang kini bergema sampai ke tulang hatinya. Detak itu begitu nyata. Begitu hidup. Dan begitu... mengikat.
Tak ada satu pun kata yang sanggup ia keluarkan.
“Usia kehamilan sekitar lima hingga enam minggu. Sangat awal, tapi janin tampak sehat,” lanjut sang dokter pelan.
Luna mengangguk, meski seluruh tubuhnya nyaris tak merespon. Saat pemeriksaan selesai, ia membersihkan sisa gel dari perutnya, memakai kembali jaket, dan melangkah keluar dari ruangan seperti tubuh tanpa jiwa.
Di koridor rumah sakit yang lengang, langkah Aaron terdengar ringan, beradu dengan lantai marmer. Ia baru saja keluar dari ruang seminar saat pandangannya tak sengaja terangkat dari layar ponsel dan terhenti pada sosok yang berdiri beberapa meter di depannya.
“Luna?”
Gadis itu menoleh pelan, nyaris enggan. Bahunya refleks tegak, seperti baru saja dipanggil dari mimpi buruk yang belum usai.
“Aaron?”
Aaron segera menghampiri. Wajahnya memuat keterkejutan yang samar, berubah cepat menjadi kekhawatiran yang nyata. “Kamu kenapa? Kamu kelihatan... nggak baik-baik aja.”
Luna mencoba tersenyum, sekilas dan tipis, lebih mirip upaya menyembunyikan luka yang belum sembuh. “Cuma kontrol kesehatan. Nggak serius.”
Aaron memperhatikan raut wajahnya. Mata yang redup, bibir yang pucat, dan napas yang tampak berat. Tapi ia tak bertanya lebih jauh. Ada batas yang tak ingin ia langkahi.
“Kalau begitu, biar aku antar pulang,” katanya akhirnya.
Luna sempat terdiam, menimbang. Tapi tubuhnya sudah terlalu lelah untuk berdebat.
“Boleh,” ucapnya pelan.
Langit sore tampak kelabu saat mobil meluncur tenang di tengah lalu lintas kota yang lengang. Aroma citrus dari pewangi mobil bercampur samar dengan sisa bau tanah basah setelah hujan.
Luna duduk diam di kursi penumpang. Kepalanya bersandar pada jendela, matanya memandangi jalanan yang berlari mundur. Tangan kecilnya memeluk tas di pangkuan seolah mencari pegangan.
Di balik kemudi, Aaron membiarkan hening melingkupi mereka beberapa saat. Baru ketika suasana mulai mereda, ia membuka percakapan.
“By the way, aku sempat datang ke pameran kamu, lho,” ucapnya ringan, seperti tak ingin mengejutkan.
Luna menoleh, sedikit terkejut. “Serius?”
Aaron mengangguk. “Datang pas detik-detik terakhir, setelah jam pulang kerja. Antrenya panjang banget. Aku sampai nyaris batal masuk.”
Luna terkekeh kecil. “Kenapa nggak bilang? Aku bisa kasih akses belakang.”
Aaron mengangkat bahu. “Nggak apa-apa. Rasanya seru juga jadi pengunjung biasa. Bisa lihat langsung ekspresi orang-orang waktu lihat lukisan kamu.”
“Jangan bilang kamu nangis lihat lukisan Anatomi Sunyi,” ujar Luna, setengah menggoda.
Aaron mengerucutkan bibir. “Nggak nangis. Tapi jujur, ada bagian yang bikin sesak. Karya kamu... seperti ngomong sesuatu yang nggak bisa dijelasin pakai kata-kata.”
Luna tersenyum. Tapi kali ini, senyum itu datang dari tempat yang lebih dalam.
“Mungkin karena aku juga nggak bisa jelasin waktu melukisnya.”
Keheningan kembali mengisi kabin. Gerimis tipis mulai turun, menari di atas kaca depan seperti kenangan yang tak ingin pergi.
Aaron kembali bersuara. “Aku lihat story-nya Zora. Kayaknya Xavier lagi liburan, ya? Sama ibunya?”
Luna mengangguk. “Iya. Kelihatannya begitu.”
Aaron melirik sekilas ke arahnya, lalu kembali menatap jalan. “Mereka... balikan?”
Luna tak langsung menjawab. Matanya kembali ke luar jendela, seolah mencari jawaban di balik kabut hujan.
“Iya.”
Sesaat tak ada yang berbicara. Lalu Aaron menambahkan, nadanya nyaris seperti bisikan, “Padahal aku kira kalian bakal bareng. Soalnya waktu kamu kecelakaan itu... dia panik banget.”
Luna tersenyum kecil, entah karena kenangan itu menyakitkan atau karena akhirnya tak menyisakan apa-apa.
“Xavier... baik. Tapi kami punya cara masing-masing untuk menjaga jarak. Dan mungkin, memang begitu seharusnya. Hanya sahabat.”
Angin tipis menyelinap lewat sela jendela yang sedikit terbuka. Hujan kini turun lebih rapat, mengaburkan lampu jalan dan membasahi aspal.
Aaron berbicara lagi, pelan. Suaranya terdengar seperti renungan yang tertinggal.
“Kadang... kita terlalu sibuk menekan ego. Menjaga semua tetap tenang di permukaan. Tapi lama-lama, yang tersiksa justru diri sendiri.”
Luna tak menjawab. Tapi ada perubahan kecil di wajahnya. Seperti seseorang yang baru saja mengerti sesuatu, tapi belum tahu harus menyikapinya bagaimana.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu memejamkan mata. Di dadanya, ada rahasia yang belum terucap. Tapi untuk sekarang, ia memilih menyimpannya sendiri.
Mobil melaju perlahan menembus hujan dan malam yang belum sempurna gelap.
*
Pintu apartemen tertutup dengan bunyi klik pelan. Suara yang biasanya sepele itu malam ini terdengar seperti lonceng yang menandai kesunyian. Luna berdiri mematung di baliknya, punggungnya bersandar pada kayu dingin, sementara kedua bahunya perlahan-lahan turun... seolah dunia akhirnya terlalu berat untuk ditopang.
Lalu, tubuhnya runtuh.
Ia terjatuh perlahan ke lantai, duduk dengan kaki terlipat dan tangan menutup wajah. Dan untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu berusaha kuat, tangisnya pecah—liar, tanpa suara pada awalnya, lalu berubah menjadi sesenggukan yang tak tertahan.
Air matanya mengalir deras, menghapus sisa riasan yang masih menempel samar di sudut matanya. Tangannya bergetar saat mencoba meraih dadanya sendiri, seolah ingin menenangkan jantung yang berdetak terlalu cepat, terlalu sakit.
Ia ingin marah, tapi kepada siapa?
Xavier? Dirinya sendiri? Tuhan?
Ia tak tahu. Yang ia tahu hanyalah: dirinya hamil. Dan tak seorang pun tahu tentang itu.
Luna memejamkan mata, mencoba menahan rasa mual yang mulai menyergap. Bukan karena hormon. Tapi karena kenyataan yang memburu tanpa ampun.
Ini bukan bagian dari rencana, batinnya. Aku bahkan nggak pernah ingin punya anak. Bukan sekarang. Bukan begini.
Ia menyandarkan kepalanya ke dinding, mendongak, menatap langit-langit putih yang sunyi dan tak menjawab. Sesaat ia ingin berteriak, menghancurkan semua lukisan yang ada di ruang tamu, membakar semua kenangan yang pernah ia ciptakan bersama Xavier. Tapi tubuhnya terlalu lelah untuk amarah. Ia bahkan terlalu letih untuk berpikir jernih.
To Be Continued >>>
semangaaattt ya thor
Aku dukung 🥰